Oleh Nadirsyah Hosen
Prof
Ahmad Chatib (Allah yarham) pernah bercerita beliau baru saja membeli
sebuah buku dalam perjalanan di luar negeri. Kemudian beliau berpapasan
di pintu dengan Gus Dur yang segera melihat buku bagus di tangan Prof
Ahmad Chatib. Gus Dur bergegas ke dalam toko buku hendak membeli buku
yang sama, tapi ternyata itu stok buku terakhir yang ada. Gus Dur
kemudian cepat-cepat mengejar Prof Ahmad Chatib dan meminta beliau untuk
meminjamkan buku tersebut.
Prof Ahmad Chatib, yang menceritakan
kisah ini di kelas mata kuliah Filsafat Hukum Islam tahun 1994 di IAIN
Jakarta, berkata: "Terpaksa saya sodorkan buku itu kepada Gus Dur yang
ingin sekali membaca buku tersebut". Selang beberapa lama setiap bertemu
di Jakarta, Prof Ahmad Chatib selalu menanyakan nasib bukunya yang
dipinjam Gus Dur itu. Akhirnya Gus Dur mengembalikan buku itu. Prof
Ahmad Chatib terkejut setelah membukanya, "Wah buku saya sudah penuh
dengan catatan Gus Dur di sana-sini". Rupanya begitulah kesungguhan Gus
Dur dalam menelaah sebuah kitab: sampai buku pinjaman pun
dicoret-coreti.
Kisah kedua yang hendak saya ceritakan ini
mengenai Kiai Abbas dari Buntet Pesantren. Saat Abah saya hendak mengaji
kepada Kiai Abbas dengan membawa kitab Jam'ul Jawami', Kiai Abbas
mengaku belum terlalu menguasai kitab itu, dan meminta Abah saya datang
kembali membawa kitab tersebut beberapa hari ke depan. Rupanya Kiai
Abbas menyimak dulu isi kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Subki
tersebut, dan kemudian setelah itu Abah saya dipanggil kembali dan Kiai
Abbas dengan lancar mengajarkan isi kitab tersebut.
Dua kisah di
atas saya ceritakan untuk menunjukkan kesungguhan para kiai itu menuntut
ilmu. Para kiai itu membaca, menyimak dan memberi catatan isi kitab.
Mereka menjadi alim bukan terjadi begitu saja. Sengaja diambil kisah dua
kiai, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kiai Abbas. Kedua tokoh
hebat pada masanya masing-masing ini lebih sering dibahas karomah beliau
berdua ketimbang dikisahkan kesungguhan beliau berdua belajar menuntut
ilmu.
Kiai Abbas, menurut penuturan Abah saya yang menjadi
santri khususnya, sangat menguasai ushul al-fiqh dan ilmu fiqh
perbandingan mazhab. Pengakuan Abah: "Kuliah saya di al-Azhar Cairo
terasa mudah dengan bekal ilmu yang sudah diajarkan Kiai Abbas". Yang
terkenal kemana-mana itu adalah peristiwa heroik 10 November dimana Kiai
Abbas merontokkan pesawat sekutu dengan lemparan biji tasbih dan
bakiaknya. Tentu saja Abah saya juga menceritakan berbagai karomah
gurunya ini, namun setiap saya tanya apa wiridnya, Abah cuma berpesan:
"Belajar yang rajin saja Nak, belum waktunya membaca wirid macam-macam,
nanti kalau kamu sudah jadi kiai, kamu akan mengerti sendiri hal-hal
gaib dan ajaib yang kamu tanyakan itu. Sekarang baca buku lagi!"
Dan
kini kalau saya ceritakan kepada para santri bahwa saya meraih dua
gelar PhD di dua bidang berbeda, di dua negara berbeda, dan saya
selesaikan pada waktu yang bersamaan, spontan yang mereka tanya:
"Wiridnya apa sehingga bisa seperti itu?" Jarang yang tertarik bertanya
bagaimana kesungguhan saya belajar sehingga bisa menyelesaikan dua
program PhD tersebut. Lebih menarik bertanya doa dan wiridnya. Mungkin
disangkanya lebih mudah wiridan ketimbang membaca buku.
Pesantren
itu sejatinya lembaga pendidikan, bukan semata tempat orang belajar
mistik apalagi klenik. Ini yang harus ditegaskan karena banyak
kesalahpahaman. Selain kesannya ndeso,
pesantren itu dikesankan tempat untuk belajar ilmu gaib. Orang tua
menjadi takut mengirim anaknya ke pondok. Pulang dari pondok hobinya
nanti menangkap jin. Sementara para santri ada sebagian yang bukannya
belajar dengan tekun tapi malah sibuk mau jadi waliyullah dengan
berharap mendapat ilmu laduni. Bahwa Gus Dur dan Kiai Abbas memiliki
karomah, tentu kita yakini itu. Tetapi karomah itu hanya bonus saja,
hasil dari istiqamah para kiai yang luar biasa. Istiqamah menuntut ilmu
dengan terus rajin belajar, membaca, berdiskusi, dan menulis --ini yang
harus kita warisi dari para masyayikh dan guru-guru kita.
Ceritakanlah
kepada khalayak bagaimana Mbah Sahal Mahfud membaca dengan tekun dan
karenanya menulis berbagai kitab yang luar biasa. Di ruang tamu beliau
berjejer kitab fiqh dari mazhab selain mazhab Syafi'i. Kitab dari mazhab
Syafi'i malah ditaruh di bagian belakang. "Kenapa?" tanya Prof Martin
van Bruinessen. Jawab Mbah Sahal kalem, "karena kitab dari mazhab
Syafi'i sudah saya hafal semua."
Kisahkanlah di medsos bagaimana
Kiai Ihsan Jampes mengarang kitab yang kemudian dijadikan rujukan di
mancanegara. Atau tolong mintakan kepada KH Ahmad Mustofa Bisri untuk
berkenan bercerita proses kreatif beliau sehingga tercipta berbagai
tulisan dan barisan puisi yang menyentuh jiwa dan mengundang kita untuk
merenunginya.
Jikalau ini yang kita ceritakan, tidak semata soal
karomah para kiai, baru kemudian umat akan memahami bahwa pesantren itu
juga gudangnya dunia ilmu pengetahuan. Dan mereka akan lebih apresiatif
saat mengetahui bahwa zikir dan pikir telah menjadi satu tarikan nafas
keseharian para kiai.
Penulis adalah Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School