YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Kamis, 20 Juli 2017

Saya pilih masuk surga dengan amalan....

Saat mengaji usai salat Duha di masjid Polres Jombang Kamis  (13/7/2017), Pengasuh Pesantren Al Madienah Denanyar, KH Najib Muhammad menjelaskan pentingnya ibadah sosial. "Sebelas orang terbaik yang disebut Rosulullah seluruhnya terkait dengan hubungan sesama manusia," tuturnya.

Diantaranya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.

Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya dan baik amalnya.

Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya dengan sesama.

Sebaik-baiknya kamu  adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya. "Misalnya dibayar sebelum jatuh tempo. Atau membayar hutang dengan dilebihkan. Atau pinjam jagung jelek, dilunasi dengan jagung baik," jelasnya.

Sebaik-baiknya kamu dalam berteman adalah yang paling baik kepada temannya.

Sebaik-baiknya kamu dalam bertetangga adalah yang paling baik kepada tetangga.

’’Bahkan dalam salat pun, yang paling baik adalah yang berkaitan dengan manusia. Yang paling baik dalam salat adalah yang melemaskan pundaknya. Tidak kaku. Sehingga orang masih bisa lewat," bebernya.

Imam Jalaludin Al Mahalli, penulis Tafsir Jalalain yang banyak dikaji di pesantren, contoh ulama yang memiliki kepedulian sosial tinggi.

Sebanyak 217 santrinya,  semuanya jadi tokoh besar.

Setiap beliau ngaji, selalu datang orang yang meminta makan. Sehingga beliau menghentikan sementara pengajian untuk masak. "Pengajiannya selalu jeda satu jam karena ditinggal masak untuk pengemis. Selalu seperti itu sehingga santrinya protes," tuturnya.

Para santri bertanya kenapa Imam Mahalli masih meladeni pengemis seperti itu. Padahal beliau adalah imam besar yang santrinya banyak dan karya-karyanya dikaji di seluruh negeri.

Imam Mahalli menjawab, sepanjang dia ngaji, belum pernah menemukan wali yang wafat. Lalu muridnya yang juga wali melihat kiainya dalam mimpi masuk surga karena mengajarnya atau karena ilmunya.

Imam Ghozali yang karyanya ribuan mendapat ridlo Allah karena berbelas kasih pada lalat. Dia membiarkan lalat yang hinggap dan minum di tempat tintanya.

Imam Rifai pendiri toriqoh Rifaiyah yang pengikutnya ribuan mendapat ridlo Allah karena welas asih pada kucing.

Sahabat Umar bin Khottob diridoi Allah karena membeli burung yang kesakitan karena dibuat mainan anak kecil kemudian melepaskannya.

Seorang pelacur masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan.

Seorang wanita ahli ibadah masuk neraka karena mengurung kucing hingga mati kelaparan.

Lalu amal kita yang mana yang akan memasukkan kita ke surga?

Menyakiti kucing saja bisa memasukkan ke neraka. Apalagi menyakiti manusia.

Bukankah tanda muttaqin itu afina aninnnas (QS Ali Imron 134). Memaafkan manusia.

Dalam kitab Busrol Kaib biliqoil habib yang diajarkan KH Taufiqurahman Muchid di Pesantren Tebuireng Ramadhan 2017 disebutkan, salah satu penyebab suul khotimah adalah menyakiti manusia..

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang khusnul khotimah

Biografii KH. Tb. M. Falak Bogor

KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan seorang ulama besar nan kharismatik yang lahir di Srabi, Pandeglang, Banten pada tahun 1842. Nama kecilnya yaitu Abdul Halim, lalu berganti menjadi Abdul Haris, dan ketika dewasa berganti lagi menjadi Tubagus Muhammad. Adapun gelar "Falak" di belakangnya beliau peroleh dari Syaikh Sayyid Afandi Turuqi, karena beliau dikenal sebagai seorang ulama besar khususnya di bidang ilmu falak. Ayahnya sendiri bernama Kyai Tubagus Abbas yang merupakan seorang pengasuh pondok pesantren dan seorang petani yang sangat giat bekerja. Apabila diruntut silsilah dari Kyai Tubagus Abbas ini, maka bisa sampai kepada Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Sedangkan Ibu dari KH. Tubagus Muhammad Falak bernama Ratu Quraisin yang merupakan seorang keturunan kerajaan Banten.

Melihat sosok kedua orang tuanya ini tidak mengherankan apabila sejak kecil KH. Tubagus Muhammad Falak sudah merasakan lingkungan agamis dan mendapatkan asupan ilmu agama yang mendalam baik dari ayahnya sendiri maupun dari para ulama lain baik di Banten maupun Cirebon. Sedari kecil misalnya, beliau sudah terbiasa belajar ilmu aqidah, ilmu fiqh, hingga bahasa Arab sampai pada umur 15 tahun. Kecerdasan beliau sudah sangat nampak dan membuat kagum masyarakat sekitar. Selain mengenyam pendidikan pesantren, beliau juga membekali diri dengan ilmu beladiri. Untuk masalah satu ini beliau mempercayakan pendidikannya kepada KH. Abdul Halim Kadu Peusing.

Untuk memuaskan dahaganya terhadap ilmu keagamaan, KH. Tubagus Muhammad Falak kemudian berangkat ke Makkah untuk menimba ilmu kepada para masyayikh di sana sekaligus melaksanakan rukun islam yang ke lima, yaitu haji ke baitullah. Kepergian beliau ke Makkah ditemani oleh gurunya, Syaikh Abdul Karim Banten. Di Makkah beliau nyantri selama kurang lebih 21 tahun dan berkesempatan pula untuk berziarah ke Makamna Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. 

KH. Falak Bogor: Waliyullah Besar di Masanya
Di Makkah ini beliau berkesempatan untuk thalabul ilmi kepada para ulama besar di masanya sebagai misal kepada Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, ulama besar nan kharismatik asal Tanara, Banten. Selain itu beliau juga menimba ilmu kepada Syaikh Manshur al-Madany, kepada Sayyid Amin Quthbi khusus untuk memperdalam ilmu hadits, kepada Sayyid Abdullah Jawawi khusus untuk ilmu tasawuf, kepada Sayyid Afandi Turuqi khusus untuk ilmu falak, Sayyid Ahmad Habasy dan Sayyid Umar Baarum untuk memperdalam ilmu fiqih, dan para ulama besar nan kharismatik lainnya.

21 tahun tinggal di Makkah tak membuat KH. Tubagus Muhammad Falak melupakan tanah kelahirannya, Nusantara. Akhirnya setelah dirasa cukup dalam thalabul ilmi, beliau kembali ulang ke Jawa dan ternyata sesampainya di sana beliau melihat para penjajah telah banyak menguasai setiap sudut wilayah dan membuat masyarakat hidup dalam kesengsaraan. Akhirnya beliau pun mengadakan perlawanan dengan memimpin dan menggerakkan kelompok petani dan masyarakat lainnya. Setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada tahun 1892 dan baru kembali lagi ke nusantara pada awal abad ke dua puluh.

Sekembalinya dari Makkah lagi, beliau kemudian memilih untuk berjuang melalui dakwah islamiyah. Akhirnya beliau pun mulai menjalankan dakwah beliau hingga ke pelosok negeri, hingga ke kota Bogor. Di Desa Pagentongan tepatnya, beliau pun membangun pondok pesantren Al-Falak. Desa Pagentongan itu sendiri terletak di sebelah Barat kota Bogor, urang lebih sekitar lima kilo meter dari Balai Kota Bogor. Desa Pagentongan terletak di kelurahan Loci, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Di sanalah pondok pesantren Al-Falak berada di di sana pula masjid al-Falak berdiri megah dan menjadi salah satu kebanggaan masyarakat muslim Bogor dan salah satu masjid tertua di sana yang menurut sejarah dibangun pada awal abad 20 masehi, tepatnya pada tahun 1901 masehi.

Selain konsen dalam pengembangan pesantren, KH. Tubagus Muhammad Falak juga mendirikan Nahdlatul Ulama cabang Bogor (PCNU Bogor). Di Bogor inilah kemudian beliau mulai membangun rumah tangga bersama seorang muslimah shalihah bernama Siti Fatimah. Dari pernikahannya ini beliau mendapatkan karunia seorang putra yang kelak meneruskan tugas dakwah beliau, yaitu KH. Tubagus Muhammad Thohir yang dikemudian hari dikenal sebagai ulama Bogor.

Lukisan KH. Tubagus Muhammad Falak
Sebagai ulama besar dan waliyullah besar KH. Tubagus Muhammad Falak dikenal pula memiliki karamah atau sesuatu hal yang diluar adat kebiasaan. Salah satu karomah beliau adalah beliau seringkali melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan-Banten yang jaraknya sangat jauh.

KH. Tubagus Muhammad Falak juga dikenal memiliki akhlak dan budi pekerti yang amat luhur. Menurut  penuturan KH. Zein Falak, KH. Falak merupakan seorang ulama besar, 'alim dalam ilmu agama, seorang wali yang dikasihi Allah, yang mana perawakannya kecil, namun kulitnya putih bersih berseri-seri memancarkan nur. Beliau juga dikenal sangat ramah dan senantiasa menampakkan senyuman khas kepada siapapun yang menyapa beliau.

Masih menurut KH Zein Falak, KH. Tubagus Muhammad Falak memiliki tinggi badan sekitar 150 cm, dan ciri khas beliau selalu memakai udeng atau surban yang dililitkan di kepala. Tutur kata beliau sangat lembut namun sangat jelas. Beliau sangat dikagumi oleh para ulama besar lainnya, demikian para habaib yang merupakan para dzuriyah Rasulullah juga menaruh hormat kepada beliau, demikian pula dengan sahabat-sahabat beliau lainnya. Selain itu beliau senantiasa berbicara dalam bahasa Arab yang sangat fasih, sedangkan kalau kepada para santrinya dan tamunya beliau menggunakan bahasa Sunda atau bahasa Indonesia. Beliau juga dikenal sangat ketat dalam menjaga kebersihan dan dan kesehatan tubuh. Kebiasaan beliau diantaranya setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil mengecek keadaan pondok pesantren, madrasah, majlis ta'im, masjid dan lingkungan sekitar.

Menurut KH. Zein Falak lagi, sebenarnya KH. Tubagus Muhammad Falak lebih tepat apabila dikatakan sebagai seorang sufi atau seorang ahli dzikir dan tarekat dibandingkan sebagai seorang ahli falak. Sebab setiap hari beliau tidak pernah lepas dari tasbih. Selain itu beliau juga senantiasa tak pernah lelah untuk mengingatkan para santri agar jangan sampai kering dari membaca dzikir, istighfar dan shalawat nabi. Selain itu beliau juga dikenal sangat dermawan kepada setiap orang dan memuliakan serta membantu tamunya yang datang membutuhkan pertolongan beliau. Namun begitu, apabila beliau kedatangan tamu yang memiliki niat tidak baik, maka beliau seolah-olah seperti orang yang tuli. Pernah suatu ketika beliau kedatangan tamu yang berniat meminta nomor togel kepada beliau. Pada saat orang tersebut mengutarakan maksud buruknya itu, KH. Falak bertanya berkali-kali kepadanya, seolah-olah seperti orang tuli, dan secara tiba-tiba beliau pun menyuruh orang tersebut pulang.

Lukisan KH. Falak
Demikianlah sekelumit peri kehidupan dari KH. Tubagus Muhammad Falak. Walaupun KH. Tubagus Muhammad Falak telah menjadi seorang pengasuh pesantren dan ulama besar di masanya, namun hal itu tidak menyurutkan perjuangan beliau dalam mengusir penjajah dan membangun nusantara tercinta ini. Selain menghabiskan usianya untuk dakwah, beliau juga terlibat langsung dalam perjuangan nasional. Selain itu beliau turut serta dalam pergerakan nasional. Hingga usia beliau mencapai 130 tahun tetap semangat dan tidak pernah menunjukkan kerapuhannya dalam berjuang. Bahkan perjuangan beliau semakin kuat dan gigih, baik sebelum kemerdekaan Indonesia maupun setelah kemerdekaan.

Namun apa daya, manusia hanyalah makhluk Allah yang fana dan suatu hari pasti akan mendapatkan ketetapan untuk merasakan ajal. Demikian pula halnya dengan KH. Tubagus Muhammad Falak, beliau akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 130 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 19 Juli tahun 1972 Masehi atau bertepatan pula dengan tanggal 8 Jumadal Akhir tahun 1392 Hijriyah. Semoga amal ibadah serta perjuangan beliau mendapatkan penerimaan dan ridha di sisi Allah, dan beliau mendapatkan balasan kebaikan berupa derajat kemuliaan di sisiNya dan surga yang kekal di dalamnya. aamiin aamiin Allaahumma aamiin.

Senin, 17 Juli 2017

Perppu Dan Ormas Radikal

Perppu No.2 Tahun 2017 dan Ormas Radikal

Publik kita kembali ramai, antara yang pro dan kontra terkait dengan telah ditandatanganinya Perppu No.2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Inti dari Perppu ini sangat jelas, melarang Ormas apapun yang tidak setia pada Pancasila. Untuk memperkuat carapandang, bisa kita baca tulisan berjudul 'Perppu No.2 Tahun 2017, Ancaman Demokrasi?' yang ditulis oleh Dr. Rumadi Ahmad, salah seorang dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Bagi saya sebetulnya Perppu ini sederhana, pemerintah bersama 14 Ormas (terutama Nahdlatul Ulama) sadar betul bahwa banyak--terutama Ormas Islam--yang berhaluan radikal dan anti-Pancasila. Jadi siapapun dan Ormas apapun tidak perlu marah dan apalagi akan menggelar aksi lagi untuk menyatakan protes dibalut dengan ritual keagamaan karena Perppu ini.

Persoalannya sederhana, buat apa marah dan menolak Perppu ini kalau Ormas tersebut setia pada Pancasila, selain juga NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945. Maka persoalannya sudah sangat jelas, siapapun yang menolak secara mentah Perppu ini, mereka dan Ormas itulah yang memang anti-Pancasila. Ormas yang ideologinya tidak mencantumkan Pancasila.

Masyarakat Muslim dan umumnya masyarakat bangsa tidak usah khawatir dengan dinamika ini. Pancasila bukan barang baru. Ia warisan leluhur kita yang paling berharga. Pancasila digagas oleh para ulama dan pahlawan bangsa. Pancasila sesuai dengan Islam dan agama apapun. Pancasila senafas dengan Islam, berkesuaian dengan Al-Qur'an dan hadits, spiritnya sama dengan Piagam Madinah yang digagas dahulu oleh Nabi saw.

Maka saran saya, terutama kepada teman-teman yang menolak Perppu ini, dasar penolakan kalian terhadap Perppu ini apa? Kalian mengatakan Perppu ini kemunduran bagi demokrasi? Bukan, bukan sama sekali. Agar lebih mudah, saya ambil contoh kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di banyak negara HT dilarang beredar. Di Indonesia justru terlambat. Saya tahu betul siapa HTI dan apa saja propagandanya. HTI adalah Ormas yang jelas anti demokrasi, anti Pancasila. HTI hendak mengganti dan merusak NKRI dengan Khilafah Islamiyah atau Negara Islam. HTI mengobarkan semangat kebencian dan makar bahwa demokrasi itu sistem kufur, nasionalisme itu haram dan penganutnya adalah thagut. Nauzubillah.

Untuk memperjelas Ormas radikal itu seperti apa, berikut saya beberkan indikasinya: selain anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, adalah mereka yang mengujar kebencian, melancarkan hoax dan fitnah, memprovokasi masyarakat dengan isu PKI dan China, mengharamkan hormat kepada bendera merah putih, melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya, melarang upacara bendera, anti tradisi (tahlil, zikir, istighatsah, manaqib, ngupati, tarian, gamelan dlsj), menggencarkan politik identitas (jenggot panjang, jubah, celana cingkrang, jidat hitam, shalat dengan shaf menempel kaki, dlsj). Untuk memperjelas, keputusan memakai jubah antara misalnya saya dengan mereka (para aktivis ormas radikal) motifnya berbeda. Saya kerap memakai jubah, tentu selain melestarikan batik, tetapi saya memakai jubah bukan untuk motif politik identitas.

Ormas radikal biasanya dihuni oleh mereka yang baru belajar Islam dan tidak punya genealogi keilmuan dari pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Mereka yang sebetulnya spiritnya bagus ingin berhijrah dan tobat, tetapi dengan jalan yang instan, tidak sabar dan tidak tekun. Mereka belajar Islam hanya dari tayangan video, majelis taklim, buku-buku. Para ustadz-nya pun bukan berlatar belakang pesantren, mereka para ustadz yang punya akar keilmuan dari Arab Saudi yang sering kita sebut Wahabi.

Saya sendiri masih bersama Presiden Joko Widodo, karena Presiden menggandeng para kiai pesantren se-Nusantara. Belum lama ini, misalnya Presiden menginisiasi majelis zikir Hubbul Wathan yang diketuai oleh KH. Mustofa Aqil Siroj, Pengasuh Pesantren Khas Kempek, Gempol, Kabupaten Cirebon. Jadi jangan khawatir dengan pemerintah kita sekarang karena masih takdim kepada para ulama dan kiai pesantren.

Wallaahu a'lam.

Mamang M Haerudin (Aa)

Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 17 Juli 2017, 18.40 WIB.

Sabtu, 15 Juli 2017

Ikhtiar pemerintah menghadang bughot

Rizza Ali Faizin

Ketua GP Ansor Kab. Sidoarjo

Indonesia sebagai Negara Kesatuan merupakan realitas yang tak lagi bisa dikompromikan dan perdebatkan. Karena bentuk Negara ini telah final melalui kesepakatan antara elemen bangsa yang terdiri dari berbagai representasi kesukuan, agama dan golongan. Upaya meruntuhkan Negara kesatuan, sama halnya menghianati para pendiri bangsa yang telah bertaruh nyawa dan darah untuk merebut kemerdekaan, jangankan menggantinya dengan bentuk Negara lain, fakta sejarahpun menunjukkan “pemberontakan” bahwa konstitusi Negara pasca kemerdekaan tahun 1949-1950 melalui bentuk federalnya tak cocok tumbuh di Nusantara. Sehingga, saat ini dan yang akan datang, hanya ada satu seruan pertahanan: Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dewasa ini, suhu politik bangsa Indonesia benar-benar terkuras oleh ulah segolongan kelompok kecil masyarakat yang menginkan perubahan bentuk Negara. Adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinegara kelahirnnya Palestina menjadi organisasi terlarang, ingin melakukan “perlawanan hukum” sebagai akibat sikap pemerintah yang dengan tegas membubarkan organisasi trans-nasional ini. Alasan mendasarnya, karena organisasi politik ini menyerukan satu bentuk Negara khilafah agar diterapkan di Indonesia. Sehingga, alasan teologispun menjadi sandarannya, bahwa usaha ini dalam rangka menegakkan agama Tuhan. Maka, wajar jika terjadi penolakan pada organisasi akan di cap sebagai penindas dan penghalang agama dakwah islam.

Khilafah: antara dakwah dan bughot

Dalam tradisi islam, konsep khilafah merupakan salah satu diskursus yang terdapat dalam kajian fiqh. Karena termasuk dalam bidang fiqh, maka ide tentang khilafah merupakan ranah pemikiran (ijtihadi), bukan sesuatu yang nilai perjuangannya sama dengan mempertahankan keyakinan/ aqidah. Karena, konsep kepemimpinan (imamah) yang menjadi aspek terpenting dalam khilafah bersegmentasi sebagaimana hukum islam yang ijtihadi, yaitu sangat kental pertimbangan temporal dan kondisionalnya. Apapun bentuk negaranya, republik, kekaisaran, kerajaan atau federal selama menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan di mata hukum, kesamaan derajat dan kebebasan melaksanakan ibadah semua agama, merupakan hal yang dilegitimasi oleh islam sebagai mana kaidah yang menyatakan bahwa ukuran seorang pemimpin Negara/ masyarakat adalah jika membawa kebaikan publik (maslahah ammah)

Kekhalifahan yang selama ini di usung oleh HTI dan beberapa organisasi trans-nasional yang lain, berkeinginan untuk menyatukan umat islam seluruh dalam naungan satu kepemimpinan (imam). Tentu saja, cita-cita ini sangat delutif dan bersifat inkonstitusional jika dihadapkan pada Negara. upaya mendirikan khilafah bukan masuk dalam ranah dakwah, karena telah merangsek pada gerakan politik. Sehingga, mendirikan khilafah di tengah-tengah Negara yang telah berdaulat, merupakan satu bentuk upaya pemberontakan (bughot) pada pemerintahan yang sah. Dan dalam diskursus kajian hukum islam, upaya bughot merupakan hal yang sangat dikecam. Baik secara syar’i maupun konstitusi. Sehingga, bukan hal yang aneh jika keberadaan Hizbut Tahrir ditolak oleh sekitar 20 negara di dunia, termasuk Negara dimana ia didirikan, Palestina.

Untuk itu, respon kalangan aktivis HTI yang mengecam pemerintah menghalangi dakwah islam merupakan anggapan yang keliru, bahkan tidak salah sasaran. Karena, sikap pemerintah yang membubarkan HTI merupakan sikap politik untuk menghadang gerakan politik yang mengancam eksistensi kedaulatan sebuah Negara.

Karena sudah sangat jelas, bahwa HTI dalam situs resminya menyatakan bahwa organisasinya bukan organisasi dakwah, organisasi sosial atau lembaga pendidikan, namun secara tegas melalui media virtualnya HTI menyatakan diri sebagai organisasi politik. Realitas ini sangat masuk akal karena jamak dalam kajian, demonstrasi dan selebaran-selebaran yang dikeluarkan secara resmi oleh organisasi ini, menuduh pemerintah sebagai penguasa setan (thogut),kafir serta pengharamannya terhadap demokrasi. Walaupun sangat lucu, mengharamkan deokrasi namun hidup di Negara demokratis. Namun ketika dilakukan pelarangan, malah mengeluarkan umpatan-umpatan dengan tuduhan pemerintah bersikap dzalim dan arogan. Sebuah organisasi yang punya cita-cita dan sikap yang genit sekaligus lucu.

Perppu sebagai Payung Kedaulatan

Akhirnya pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2017. Perppu ini sengata diterbitkan untuk mengganti Undang Undang No 17 Tahun 2013 tentang organsasi Kemasyarakatan. Dalam UU sebelumnya, pemerintah tidak bisa menindak secara tegas sehingga penerbitan perppu merupakan upaya eksekutif untuk menindak seklaligus menertibkan ormas-ormas yang alergi terhadap NKRI dan Pancasila sebagai pilar kebangsaan di Indonesia.

Sejatinya, Perppu ini digunakan sebagai upaya pemerintah untuk melakukan pemberdayaan dan pembinaan kepada ormas agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan tidak kontra produktif terhadap pancasila dan UUD 1945. Karena, UU no 17 tahhun 2013 yang sebelumnya berlaku tidak memadai untuk mencegah ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Dalam Perppu yang baru diterbitkan ini, mengatur tentang sanksi bagi ormas anti Pancasila yang terdiri dari tiga tahapan teknis. Tepatnya pada pasal 61 Perppu ormas mengatur sanksi administratif dengan tahapan peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/ atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Di satu sisi, pelarangan memang bukan pilihan yang efektif dan harus berani menelan pil pahit dibenci warga Negara sendiri, namun pada sisi yang lain, penerbitan peraturan ini juga agar Indonesia tidak menjadi Negara yang sakit akibat dari penggulingan konstitusi yang tak sesuai dengan kebhenikaan bangsa. Sehingga, menelan pil pahit menjadi sebuah pilihan agar bangsa Indonesia tetap menjadi Negara yang sehat dan terhindar dari penyakit disintegrasi dan konflik horizontal sebagaimana yang terjadi di Negara-negara Timur Tengah. Kesimpulannya bahwa Perppu ini justru dalam rangka merawat persatuan dan kesatuan Indonesia sebagai Negara kesatu

KH. MUNAWIR Krapyak

KH. Moenawwir (Ahli Al-Qur'an & Pendiri Pon.Pes. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta)

==========================================

Siapa yang tak kenal dengan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta yang telah banyak melahirkan 'ulama'-'ulama' ahli Al-Qur'an terkemuka. Semula pesantren yang didirikan sekitar tahun 1909 oleh kh Moenawwir hanya dihuni 10 santri , kini pesantren krapyak berkembang pesat dengan jumlah santri yang mencapai ratusan. Sosok Hadlrotus Syeikh KH Moenawwir atau yang akrab dipanggil Mbah Moenawwir merupakan sosok 'ulama' yang oleh Rosululloh SAW disebut Sebagai “Keluarga Alloh” atau “waliyulloh”, karena kemampuannya sebagai Ahlul Qur’an ( penghafal Al-Qur’an dan mengamalkan kandungan Al-Qur’an).

 

Sejak usia 10 tahun Hadlrotus Syeikh KH Moenawwir telah Hafal Quran 30 Juz dan Beliau gemar sekali menghatamkan al-Qur'an , beliau dikirim ayahnya KH.Abdul Rosyad untuk belajar kepada seorang 'Ulama' terkemuka di Bangkalan Madura Hadlrotus Syeikh Syaikhona KH.Muhammad Kholil, Bakat kefasihan Mbah Moenawwir dalam Pembacaan Al-Qur'an memberikan kesan tersendiri dihati Gurunya (Hadlrotus Syeikh Syaikhona KH.Muhammad Kholil ) dan suatu ketika gurunya menyuruh KH Moenawwir untuk menjadi imam Sholat sedangkan Gurunya Hadlrotus Syeikh Syaikhona  KH.  Kholil menjadi Mak’mum.

 

Tahun 1888 KH Moenawwir bermukim di Mekkah dan memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur'an kurang lebih 20 tahun, kesempatan tersebut Beliau gunakan untuk mempelajari Ilmu Tahfizul Qur'an , qira’at sab’ah dengan 'Ulama' -'ulama' setempat. Hingga Hadlrotus Syeikh KH Moenawwir memperoleh Ijazah Sanad Qira’at yang bersambung ke urutan 35 sampai ke Rosululloh SAW dari Seorang ' Ulama' Mekkah yang termashur yaitu: Al-Syeich Abdul Karim bin 'Umar Al-Badri Addimyati .

 

Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir (Pendiri Pon.Pes. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta) Mampu menghatamkan Al-Qur'an hanya dalam Satu roka'at sholat, dan sebagai orang awam mungkin itu Mustahil dilakukan tapi bagi KH Moenawwir itu mampu . Bahkan Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwirdalam menjaga hafalannya beliau melakukan Riyadloh dengan membaca al-Qur'an secara terus menerus selama 40 hari 40 malam sampai terlihat oleh beberapa murid-nya Lisan/Mulut KH. Moenawwir terluka dan mengeluarkan darah. Kedisiplinan Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwirdalam mengajar Al-Qur'an kepada murid-muridnya sangat ketat bahkan pernah muridnya membaca Fatihah sampai dua tahun diulang-ulang karena menurut KH Moenawwir belum Tepat bacaannya baik dari segi makhrajnya maupun tajwidnya, maka tak heran bila murid murid beliau menjadi 'Ulama'-'ulama' yang Huffadz ( hafal Al-Qur'an) dan mendirikan Pesantren Tahfizul quran seperti Pon-pes Yanbu’ul Qur’an kudus (KH.Arwani Amin) , Pesantren Al-Muayyad Solo ( KH Ahmad Umar) dll.

 

Peristiwa menarik pernah dialami oleh murid Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir, sewaktu beliau disuruh oleh istri Mbah Moenawwir untuk meminta sejumlah uang kepada Mbah Moenawwir yang akan digunakan sebagai keperluan belanja sehari hari, Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir selalu merogoh sejadahnya dan diserahkan uang tersebut kepada Muridnya, padahal selama ini muruid-muridnya hanya tahu bahwa sepanjang waktu Mbah Moenawwir hanya duduk saja di serambi masjid sambil mengajar alquran. KH.Moenawwir wafat sekitar tahun 1942 dan dimakamkan di sekitar Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta.

Di paruh pertama abad dua puluh, bisa dibilang Krapyak adalah tujuan utama santri-santri yang ingin menghafalkan Al-Qur'an. Dan di Krapyak, sosok Kharismatik Mbah Moenauwir lah yang merupakan inti magnetnya.

Kiai sepuh kelahiran Kauman Yogyakarta itu memang luar biasa. Tanda-tanda akan menjadi ahli Al-Qur'an sudah nampak sejak putra Kiai haji 'Abdullah Rosyad itu masih kecil. Ia telah mengkhatamkan Al-Qur'an sebelum usianya menginjak delapan tahun.

 

Moenawwir kecil, yang merupakan cucu Kiai Hasan Besari (Senopati Pangeran Diponegoro untuk wilayah Kedu), juga pernah ditantang ayahandanya untuk mengkhatamkan pembacaan Al-Qur'an dalam waktu satu minggu. Waktu itu ia dijanjikan akan diberi hadiah Rp. 150,00 bila mampu. Ternyata Moenauwir berhasil memenuhi tantangan tersebut. Bahkan sejak itu ia selalu istiqamah mengKhatamkan Al-Qur'an seminggu sekali, meski tanpa hadiah.

Bermukim di Haramain Selepas dari Bangkalan, Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir mengaji ke beberapa ulama besar seperti Kiai Soleh Darat, Semarang, dan Kiai Abdurahman, Watucongol, Muntilan, Magelang. Usai mengaji di beberapa pesantren, tahun 1888 Moenauwir muda pun bermukim di Al-Haramain selama 21 tahun. Enam belas tahun pertama dihabiskan Moenauwir di Makkah Khusus untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran beserta cabang keilmuannya. Beberapa gurunya yang mengajarkan Tahfizh, Tafsir dan Qiraat Sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa. Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silisilah tersebut, Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga yang mengatakan bahwa sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

 

Untuk memantapkan hafalan Al-Qur'annya, Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir juga melakukan Riyadloh berjenjang. Tiga tahun pertama ia Mengkhatamkan Al-Qur'an setiap tujuh hari sekali. Tiga tahun kedua ia mengkhatamkan Al-Qur'an tiga hari sekali. Dan tigaTahun ketiga Kiai Moenauwir mengkhatamkan Al-Quran setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Qur'an tanpa henti selama 40 hari 40 malam. Riyadloh tersebut, menurut Kiai Nur Kertosono buku Sejarah Perkembangan Krapyak, membuat mulut Kiai Moenauwir sempat terluka dan mengeluarkan darah.

 

Usai tirakat, Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir lalu melanjutkan pengajian ilmu-ilmu syari'at lainnya, seperti Fiqih dan Tauhid, di Madinah selama lima tahun berikutnya. Setelah itu barulah ia pulang ke kampung halamannya di Kauman, Yogyakarta.

Di Kauman Beliau membuka sebuah pengajian kecil di langgarnya, menambah semarak pengajian-pengajian Al-Qur'an di lingkungan keraton tersebut. Tahun 1909, karena jumlah santrinya semakin banyak, Kiai Moenauwir memindahkan pesantrennya ke kampung Krapyak. Menurut beberapa sumber kepindahan tersebut juga dilakukan ayahanda Kiai Haji Ahmad Warson, penyusun kamus Al-Munawwir, itu untuk menghindari kewajiban kepada sultan.

 

Pesantren Krapyak diawali dengan sepuluh orang santri dan mencapai jumlah enam puluh orang pada sepuluh tahun pertama. Setelah tahun 1920 jumlah santri Krapyak berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai ratusan orang.

 

Santri-santri Kiai Moenauwir generasi awal itulah yang kemudian mengembangkan pengajian tahfizhul Qur'an ke seluruh penjuru tanah air. Beberapa pesantren kemudian berkembang pesat. Sebut saja Pesantren Yanbu’ul Qur'an, Kudus (didirikan K.H. Arwani Amin), Pesantren Al-Muayyad, Mangkudan, Solo (didirikan K.H. Ahmad Umar), Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo (K.H. Muntaha), Pesantren Kempek, Cirebon (K.H. Umar Sholeh), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (K.H. Suhaimi) dan lain-lain. Termasuk juga Kiai Moefid Mas’oed pendiri dan pengasuh pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman, yang tidak lain adalah menantu Hadlrotus Syeikh KH. Moenawwir.

 

Dua Tahun Mengaji gaya Krapyak memang tidak mudah. Selain haru memperhatikan benar panjang-pendeknya bacaan, pengucapan huruf (makhorijul huruf) juga diawasi dengan sangat ketat. Tidak jarang untuk mampu membaca Surah Al-Fatihah dengan benar, seorang murid harus menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada masa Kiai Moenauwir, pernah ada santri yang menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk membaca surah Al-Fatihah dengan baik dan benar.Apalagi jika ingin mendapatkan ijazah silsilah sanad Al-Qur'an dariHadlrotus Syeikh KH. Moenawwir. Bukan hanya kemampuan membaca dan menjaga hafalan yang menjadi tolok ukur, tetapi juga perilaku selama nyantri di Krapyak. Ketatnya persyaratan memperoleh ijazah sanad belakangan juga diberlakukan kiai-kiai alumni Krapyak terhadap para santrinya.

 

Meski tidak semuanya mengantongi ijazah sanad, namun pesantren-pesantren alumni Krapyak tetap saja merupakan produsen terbesar Huffazh di tanah air. Pesantren Sunan Pandan Aran Asuhan Mbah KH. Mufid Mas'ud , misalnya, setiap tahunnya mewisuda tidak kurang dari tiga puluh orang santri huffazh. Demikian pula di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, dan Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.Karena bersumber dari satu almamater, program pengajian Al-Quran di Pesantren-Pesantren Tahfizhul Quran di Jawa pun rata-rata sama. Diawali dengan Tahfizh juz 30 atau Juz ‘Amma, kemudian disusul program Bin Nazhar atau membaca 30 juz dengan tartil. Dua program tersebut wajib diikuti seluruh santri. Setelah Khatam bin nazdor, barulah santri dapat mengikuti Program Bil Ghoib atau Tahfizh 30 juz.

 

Semua jenjang pengajian tersebut menggunakan metode pengajaran musyafahah atau sorogan, yakni satu persatu santri menghadap gurunya untuk menyetorkan bacaan atau hafalannya. Untuk program Juz ‘Amma, setoran saat mengaji biasanya per surah. Sedangkan untuk program bin nazhar batas setoran adalah per maqra’. Lain lagi dengan program bil ghaib 30 juz yang setoran mengajinya dihitung per halaman. Sebelum diijinkan meneruskan oleh sang guru, para santri akan terus mengulang-ulang bacaan atau hafalan sebelumnya.

 

Agar seragam, pesantren-pesantren tahfizhul Qur'an alumni Krapyak biasanya menggunakan Al-Qur'an yang sudah ditash-hih Kiai Haji Arwani Amin, Kudus. Al-Qur'an tersebut lazim disebut “Al-Quran Ayat Pojok”, karena setiap halamannya ditutup dengan Akhir ayat, sehingga tidak ada potongan ayat yang berada di halaman berikutnya. Ini untuk memudahkan santri dalam menentukan batas menghafal atau menyetorkan hafalan.  Melihat masih cukup besarnya jumlah para penghafal Al-Qur'an yang diwisuda setiap tahunnya, sepertinya umat Islam di tanah masih bisa bernafas lega. Setidaknya satu atau dua dasawarsa ke depan negeri ini masih akan terus berhias lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang tersimpan dengan baik di dalam dada para huffazh.
Semoga kita semua beserta semua anak cucu dan murid-murid kita wal muslimin senantiasa mendapat barokat, nafahat dan do'a mutajbanya Hadlrotus Syeikh  Mbah KH. Moenawwir Krapyak Yogyakarta, Amiin. AL-FATIHAH...
http://wwwahamid.blogspot.co.id/2012/12/kh-moenawwir-ahli-al-quran-pendiri.html?m=0

Penarik Rezeki

Amalan Shalawat Penarik Rezeki Tak Terduga dari Segala Penjuru

Inilah shalawat yang diijazahkan oleh  KH A Mustofa Bisri Rembang, KH. ABDUL KHANAN MAKSUM kwagean pare Kediri, KH. MAHRUS A’LY LIRBOYO, KH. ABDUL LATIF MUHAMMAD, KH. Abdul Syukur pengasuh PONPES AL ISLAH DLOPO, dan banyak kyai lain.

Baca sholawat:

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد

SHOLLALLOHU A’LA MUHAMMAD

Dibaca dengan bilangan 1000 x / 3333 x/7.000 x/10.000 x tiap hari, atau  sebanyak kita mampu. Bahkan ada yang mengijazahkan sampai15.000x dalam satu majlis. Yang penting untuk amalan tiap hari adalah istiqomahnya.

Setelah selesai bershalawat ini bagus juga di akhiri dengan do’a berikut ;

بسم الله الرحمن الرحيم
الّلهُمَّ اَعْطِنِي ثَوَابَ صَلَّى اللهُ عَلَى محمد أَنْ تَرْزُقَنِي شَيْئًا أَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى الطّاعَةِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الِعزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَي الْمُرْسَلِيْنَ وَالحمْدُ لله ربِّ العَالميْن

“Bismillaahirrohmaanirrohiim Alloohumma a’thinii tsawaaba SHOLLALLOOHU ‘ALAA MUHAMMAD an tarzuqonii syai-an asta ‘iinu bihi ‘alath-thoo ‘ah subhaana robbika robbil ‘izzati ‘ammaa yashifuun wasalaamun ‘alal mursaliin walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin”

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.Ya Allah datangkanlah padaku pahala SHOLLALLOOHU ‘ALAA MUHAMMAD berilah rezeqi padaku, sesuatu yang dapat menolongku untuk ta’at. Maha Suci Tuhanmu, Tuhan yang Maha Mulia dari apa yang mereka sifatkan dan salam sejahtera untuk para Rasul dan segala puji kepada Allah Tuhan semesta alam.”

Dengan mengamalkan amalan shalawat penarik rezeki diatas, Insya Allah masalah keuangan anda beres, dimudahkan dalam setiap usahanya, disenangi para manusia, keselamatan karena semua mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW di dunia dan akhirat berkat rutin mengamalkan sholawat ini.

Itulah amalan shalawat  jalbul arzaq yang berkhasiat menarik rezeki tak terduga dari segala penjuru yang bisa anda amalkan. Meski pendek, insyaAllah mustajab. Shalawat ini sering disebut juga sebagai shalawat  Jibril atau Jabroil, karena menurut riwayat  shalawat  ini diajarkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Adam ketika menikahi Hawa, dan menjadikan shalawat ini sebagai maharnya.

Catatan
Jika sdh mencapai jumlah 1000 atau jumlah yg ditentukan diatas maka diakhiri dgn

وصلي الله علي سيدنا محمد وعلي اله و صحبه وسلم والحمد لله رب العالمين.....

Selasa, 04 Juli 2017

Biografi Kiai Salman Dahlawi

[Mengenal lebih Dekat Mbah Salman Popongan,  Sang Sufi dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari Klaten Jateng.]

۞۞ BIOGRAFI KYAI SALMAN DAHLAWI ۞۞

Oleh: Syamsul Bakri

Kyai Haji Salman Dahlawi, selanjutnya disebut Mbah Salman, adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Pondok Pesantren Al-Manshur merupakan pondok pesantren salafiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Muhammad Manshur, selanjutnya disebut Mbah Manshur. Awalnya nama pondok pesantren tersebut adalah Pondok Pesantren Popongan, diambil dari nama dusun tempat pondok pesantren berdiri. Popongan adalah nama dusun di Kalurahan tegalgondo Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Dusun yang terletak di Jalan Solo-Yogya, KM 8 Delanggu tersebut merupakan dusun kecil yang masyarakatnya kebanyakan bertani.

Pondok Pesantren Popongan didirikan pada tahun 1926. Pada tanggal 21 Juni 1980, namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur, dinisbatkan pada nama pendirinya. Mbah Manshur adalah sufi besar dalam tradisi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Mbah Manshur mendapat ijazah (attunement) mursyid (guru spiritual dalam tarekat) dari Syekh Muhammad Hadi Girikusumo, selanjutnya disebut Mbah Hadi Giri Kusumo. Mbah Hadi adalah khalifah (wakil) Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau spiritual quide Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Makkah al-Mukarramah.

Keberadaan Kyai Manshur telah menciptakan magnet kuat bagi Popongan, kampung kecil yang kemudian menjadi pusat Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jawa Tengah. Dari Popongan inilah beberapa kyai besar belajar Tarekat dari Mbah Manshur. Di antaranya adalah Kyai Arwani Kudus, yang memperoleh ijazah untuk mengajar tarekat tradisi Naqsyabandiyah di Kudus. Putra Kyai Nahrowi, murid Kyai Muhamamd Hadi Girikusumo, juga mendapat ba’iat dari Mbah Manshur. Dalam menjalankan upaya bimbingan spiritual, Mbah Manshur dibantu para badal (pengganti, wakil). Selain Kyai Arwani dan putra Kyai Nahrowi, dalam menyebarkan tarekat dan dakwah, Mbah Manshur juga dibantu oleh Kyai Abdullah Hafidz Rembang dan Kyai Hamam Nashir Grabag Magelang.

Mbah Kyai Manshur juga mengangkat badal dari kaum hawa, yaitu Nyai Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo). Ia mendapat mandat dari Mbah Manshur untuk menghidupkan suluk (laku spiritual) Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah di Kauman Surakarta.

Putra-putri Kyai Manshur sendiri tidak ada yang meneruskan tradisi Tarekat Naqsyabandiyah, dan memilih dunia perdagangan. Mbah Kyai Manshur meninggal pada tahun 1957. Sejak itu, tarekat Naqsyabandiyah dipimpinn oleh Gus Salman, cucunya dari seorang putri. Gus Salman bukan hanya menggantikan Mbah Manshur dalam posisi sebagai mursyid tarekat, tetapi juga menggantikan kakeknya sebagai pengasuh pondok pesantren.

Estafet kepemimpinan pesantren dan tarekat Naqsyabandiyah sebenarnya sudah disiapkan beberapa tahun sebelum Mbah Manshur wafat. Pada 1953, ketika Gus Salman berusia 19 tahun, Mbah Manshur membaiatnya sebagai mursyid tarekat. Kyai Salman dikenal sebagai seorang kyai yang tawadlu’ dan dihormati oleh sejawatnya dari kalangan kyai, baik di Jawa tengah maupun di berbagai wilayah lainnya.[1]

Kyai Salman lahir pada 1 Maret 1936. Kyai Salman adalah anak lelaki tertua dari K.H. Muhammad Muqri bin K.H. Kafrawi dengan Hj. Masfuah Binti  Muhammad Manshur. Mbah Manshur adalah putra Syekh Muhammad Hadi Girikusumo Mranggen Demak, salah seorang khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Makkah.

Salman kecil memiliki sikap bersahaja. Mbah Kyai Muslimin, orang kepercayaan Mbah Manshur dan sekaligus kawan akrab Mbah Salman, menceritakan bahwa Salman kecil memiliki kebiasaan mandi di Sungai Jebol, Tegalduwur, sebelah selatan Dusun Popongan. Di sungai tersebut Salman kecil dan Muslimin bukan hanya mandi dan bermain, tetapi juga mengambil kerikil dan mengangkatnya untuk dibawa ke komplek ndalem Mbah Manshur, yang sekarang menjadi Madrasah tempat pengajian para santri. Kerikil-kerikil itu sampai sekarang menjadi saksi bisu kesahaja-an Mbah Salman yang mau bekerja keras untuk memberikan kenyamanan bagi para santri dan tamu Mbah Manshur.

Sebagai orang paling akrab dengan Salman kecil, Muslimin mendapat tugas untuk menemani Salman kecil, bahkan Mbah Manshur berpesan kepada Muslimin untuk jangan sekali-kali berpisah dengan Salman. Mbah Manshur begitu sayang dengan Salman, dan menjadikan Salman sebagai orang paling dekat, lebih dekat daripada putera-puterinya.

Setelah tamat Sekolah Rakyat di Tegalgondo, Salman kecil tinggal di Kauman Surakarta. Mbah Manshur membeli tanah di Kauman dan meminta Muslimin yang menjadi badalnya untuk merenovasi rumah. Muslimin yang memiliki keahlian di bidang bangunan, menuruti perintah gurunya untuk membangun rumah. Ia sendiri yang menjadi tukang, dan Salman kecil meladeninya (menjadi laden tukang). Selama di Kauman, Salman kecil melanjutkan belajar ke Madrasah Sunniyah Surakarta yang juga menjadi bagian dari lembaga pendidikan Mambaoel Oeloem. Sejak kecil hingga meninggal, Mbah Salman selalu ditemani Mbah Muslimin. Walaupun umur Mbah Muslimin sedikit lebih tua dari Mbah Salman, namun ketika Salman berumur belasan tahun, Mbah Manshur yang waktu itu sakit, berpesan kepada Muslimin untuk selanjutnya memanggil Salman dengan panggilan “Mas”.Hal ini mengisyaratkan akan diangkatnya Salman menjadi guru bagi Muslimin dan kawan-kawannya. Sebelumnya, kawan karib itu memanggil Salman dengan namanya. Ada perhatian khusus Mbah Manshur terhadap Salman kecil.[2]

Ketika remaja, Mbah Manshur meminta Muslimin dan Salman untuk melakukan  suluk. Ritual Naqsyabandiyah Khalidiyah ini dilakukan ketika keduanya berumur belasan tahun. Ketika sedang  suluk, Mbah Manshur memerintahkan keduanya untuk melakukan renovasi Mbah Manshur, sambil melakukan ziarah ke makam para awliya’.

Ketika terjadi bumi hangus Popongan oleh agresor Belanda, seluruh keluarga Mbah Manshur mengungsi ke Kauman Surakarta. Adapun, ayahanda Kyai Salman, Mbah Mukri bersembunyi di atas atap masjid. Salman kecil bersama Muslimin sering melakukan jalan kaki dari Kauman ke Popongan, termasuk mengirim makanan ke Mbah Mukri. Perjalanan dengan jalan kaki dari kauman ke Popongan tersebut hanya berbekal kacang tanah Muslimin lah yang mengatur perjalanan tersebut, serta kapan Salman boleh makan kacang.

Kesahajaan Salman di masa kecil berlanjut huingga Kyai karismatik itu meninggal. Pada masa muda, ia juga menjadi laden (meladeni) tukang, yaitu Muslimin, ketika mendapat mandat untuk membangun Pondok Pesantren Sepuh bagi untuk perempuan. Sebelumnya Mbah Manshur sudah membangun Pondok Sepuh bagi laki-laki.[3]

Kyai Salman menikah pada tahun 1961 dengan Hj. Muainatun Sholihah. Dari pernikahan ini, Kyai Salman dikaruniai tiga putra dan lima putri (Musta’anah, Umi Mu’tamiroh, Munifatul Barroh, Murtafi’ah Mubarokah, Mifathul Hasan, Muhammad Maftuhun Ni’am, Muhammad Multazam Al Makky dan Maliyya Silmi).

Pada tahun 2000, Nyai Muainatun meninggal dunia. Pada tahun 2001, Kyai Salman menikah lagi dengan Hj. Siti Aliyah, asal Purwadadi. Sejak kepergian Nyai Muainatun, Kyai Salman memulai mempersiapkan kaderisasi manajemen pesantren dengan melibatkan putra-putrinya secara lebih aktif dalam pengelolaan pesantren.

Kyai Salman dikenal sebagai figure yang ramah, tawadlu’, sederhana, zuhud, dan tidak materialistik. Ia juga ahli ibadah dan kebajikan. Sikapnya yang ramah terhadap tetangga, tamu, dan para santri, semakin menambah karisma dan kewibawaannya. Dengan orang yang lebih tua, ia menghormati. Dengan yang lebih muda, ia mampu beradaptasi dan ngemong. Tutur katanya halus, sopan, dan tidak emosional.[4]

Kyai Salman juga dikenal serbagai figure yang menghormati sejawatnya sesama kyai sepuh di Klaten, seperti Kyai Siradj (Mbah Siradj) Kadirejo Karanganom, Kyai Muslim Rifa’i Imampuro (Mbah Lim) Sumberejo Karanganom, dan Kyai Masyhudi (Mbah Hudi) Karangnongko. Begitu juga dengan para kyai sepuh di luar Klaten.

Walaupun menjadi seorang mursyid, namun Mbah Salman masih konsisten mengaji kepada kiai lainnya, dengan cara mendengarkan dan menularkan petuah-petuah dari para Kyai, meskipun ia sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai mursyid. Penulis sendiri menyaksikan sikap Mbah Salman dalam menghormati dan mendengar wejangan dari kyai sepuh lain, seperti Mbah Sirodj dan Mbah Lim.

Figur yang amat sederhana, ramah, serta andhap asor (tawadlu’) adalah kesan yang akan didapati para santri, dan tamu yang dating ke ndalem kiai. Ketika tidak ada santri di ndalerm, Mbah Salman sendiri yang menbawa baki air minum untuk disuguhkan kepada para tamunya. Terhadap para santri, Mbah Salman bida ngemong, dan bersikap humoris

Pendidikan

Muhammad Salman Dahlawi menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat di Sekolah Rakyat Tegalgondo Wonosari Klaten.[5] Setelah tamat Sekolah rakyat, Salman kecil melanjutkan belajar agama di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta yang diasuh oleh K H Ahmad Umar Abdul Mannan (Mbah Umar), dan selanjutnya nyantri di Pondok Pesantren pimpinan K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur selama kurang lebih empat tahun (1956-1960).[6]

Ia juga pernah belajar di Madrasah Mamba’oe Oeloem dan Madrasah Soennijah Keprabon Surakarta, dan beberapa kali nyantri pasan (nyantri khusus bulan Ramadhan) kepada K.H. Ahmad Dalhar Watucongol Magelang Jawa Tengah.[7] Salman muda dikenal sebagai sosok yang cinta ilmu, sehingga ia sering ikut program santri kilat di berbagai pesantren lain, selain yang disebutkan di atas.

Selain berguru kepada banyak ulama di Jawa, Kyai Salman ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah, sering menyempatkan diri untuk bertemu dan berguru kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama kharismatik di Saudi Arabia. Keilmuan tasawuf-nya begitu luas dan dalam, sehingga para murid tarekatnya menyebutnya dengan panggilan Hadhratusy Syaikh Kyai Salman Dahlawi, sebuah sebutan bagi ahli ilmu kasepuhan dalam dunia tarekat dan Islam tradisional Indonesia.

Di sela-sela tugasnya sebagai pembimbing spiritual bagi para santri, murid tarekat, dan masyarakat umum, Mbah Salman juga aktif mengajar sebagai guru di Madrasah Aliyah Al-Manshur, dan Madrasah Tsanawiyah Al-Manshur. Mbah Salman merupakan salah satu kyai yang sangat peduli terhadap perkembangan dunia pendidikan Islam.

Perjuangan Mengembangan Institusi Pondok Pesantren

Kyai Salman Dahlawi memimpin pondok pesantren dengan mnanajemen tradisional. Santri yang mengaji di Pondok Pesantren Al-Manshur pada awalnya hanya khusus ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan (sistem pengajian tradisional di pesantren). Untuk dapat mengikuti perkembangan zaman, maka sejak tahun 1963 didirikan beberapa lembaga pendidikan formal, yakni Madrasah Diniyyah Al-Manshur (1964), Madrasah Tsanawiyah Al-Manshur (1963), Madrasah Aliyah Al-Manshur (1966), dan pada tahun 1980, didirikan Taman Kanak-Kanak Al-Manshur.

Selain menjadi pengasuh di pondok pesantren, Kyai Salman juga aktif dalam pengembangan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah. Adapun sanad tarekatnya adalah dari Mbah Muhammad Manshur (kakeknya), dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir (kakek buyutnya), dari Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail Al Barusi, dari Syaikh Sulaiman Al Quraini, dari dari Syaikh Ad Dahlawi, dari Syaikh Habibullah, dari Syaikh Nur Muhammad Al Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari Syaikh Muhammad Ma’sum, dari Syaikh Ahmad Al Faruqi, dari Syaikh Ahmad Al Baqi’ Billah, dari Syaikh Muhammad Al Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari Syaikh Muhammad Az Zuhdi, dari Syaikh Ya’kub Al Jarkhi, dari Syaikh Muhammad Bin Alaudin Al Athour, dari Syaikh Muhammad Bahaudin An Naqsabandy, dari Syaikh Amir Khulal, dari Syaikh Muhammad Baba As-Syamsi, dari Syaikh Ali Ar Rumaitini, dari Syaikh Mahmud Al Injiri Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh Abdul kholiq al Ghajwani, dari Syaikh Yusuf Al Hamadani, dari Syaikh Abi Ali Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan Al Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur Al Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq, dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh Sayyid Salman al Farisi, dari Sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq, dari Sayyidil Mursalin Rasulllah SAW.

Dalam melaksanakan tugas-tugas spiritual sebagai mursyid tarekat, Kyai Salman banyak dibantu para badal  Dari pusat informasi pesantren didapat informasi nama-nama badal  Kyai Salman. Mereka adalah para poutra dan menatunya, yaitu KH. Ahmad Mufrod Teguh Mulyo (Rektor Universitas Nahdlatul Ulama) dan lurah PP. Al-Manshur Popongan Tegalgondo Klaten, Kyai M. Maftuhun Ni’am, Kyai Miftahul Hasan, dan Gus Multazam. Mereka tinggal di Dusun Popongan, dan aktif mengajar di Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Klaten.

Badal lainnya adalah KH. Moch Rodli Ngabean Purwodadi Grobogan, KH. Ahmad Khusnan Gareh Ngabenrejo Grobogan, KH. Ahmad Fathoni Tanggungharjo Grobogan, KH. Moch. Cholil Klambu Grobogan, K. Moh. Cholil Kayen Godong Grobogan,  K. Moh. Ma’at Kluwan Penawangan Grobogan, KH. Muhadi Kluwan Penawangan Grobogan, K. Misbahul Munir Pojok Winong Penawangan Grobogan, K. Solihin Pojok Winong Penawangan Grobogan, K. Danuri Karangpaing Penawangan Grobogan, K. Muhaimin Karangpaing Penawangan Grobogan, KH. Jamalin Wandan Kemiri Klambu Grobogan, KH. Zuhdi Wandan Kemiri Klambu Grobogan, KH. Marzuki Goleng Klambu Grobogan, KH. Ahmad Yasa’ Kec. Tanggungharjo Kab. Grobogan, KH. Hasan Anwar Kec. Tanggungharjo Kab. Groboga, K. Mukmin Sarwi Tunggak Toroh Grobogan, K. Asykuri Jetis Karangrayung Grobogan, KH. Ali Ahmadi Tanggungharjo Grobogan, K. Munawir Gangin Jetaksari Pulokulon Grobogan, K. Muslim Gangin Jetaksari Pulokulon Grobogan, K. Ahmad Sirin Pancan Getasrejo Grobogan, K. Ali Mashud Rejosari Grobogan, K. Rosyidi Nglayapan Purwodadi Grobogan, KH. S. Abdul Latif Selo Tawangharjo Grobogan, KH. Zaenuri Godong Grobogan, K. Imam Taqwa Mojoagung Karangrayung Grobogan, K. Musmin Amin Termas Karangrayung Grobogan, KH. Muhammad Masruri Dukoh Gubug Grobogan, K. M. Nuruddin Busyro Pahesan Godong Grobogan, K. Sonhaji Karanggeneng Godong Grobogan, K. Sudarto Sono Toroh Grobogan, K. M. Habibulloh Ngabean Purwodadi Grobogan, K. Habib Hasyim Hasbulloh Wirosari Grobogan, K. Anwaruz Zaman Nglumpang Rejosari Grobogan, K. Abdur Rosyid dan KH. Ulin Nuha Jono Tawangharjo Grobogan.

Di Demak, Mbah Salman dibantu oleh beberapa badal, yaitu KH Mastur Pasir Mijen Demak, KH. Abdul Halim Menco Wedung Demak, K. Kurdi Muhsin Kendal Doyong Wonosalam Demak, K. Abdul Afif Jungpasir Wedung Demak, K. Abdur Rosyad Jungpasir Wedung Demak, KH. Muhsinin Jogoloyo Wonosalam Demak, KH. Ruba’i Turirejo Demak, KH. A. Chusain Nuri Galan Mangunrejo Demak, dan Kyai Ulil Albab Bakung Bumiharjo Guntur Demak.

Adapun badal Mbah Kyai Salman di Kabupaten Ngawi adalah KH. Imam Rofi’i Jambangan Paron Ngawi, KH. Masduki Teguhan Paron Ngawi, KH. Muqorobin Teguhan Paron Ngawi, KH. Mu’in Mantingan Ngawi, dan K. Ahmad Hamam Mantingan Ngawi.

Mbah Kyai Salman juga memiliki badal di daerah lain, seperti, KH. Masyhuri Mlonggo Jepara, KH. Taufiqul Hakim Bangsri Jepara (pengarang kitab Amtsilati), KH. Hasan Asy’ari Nyatnyono Ungaran Semarang, Drs. H. M. Ali Imron, M.Pd.I Sugihan Andong Boyolali, KH. Daromi Salam Manggis Boyolali, K. Joko Murjito Sambi Boyolali, K. Muslimin Juwiring Klaten, K. Muhadi Karanganom Klaten, KH. Labib Muhammad Talok Woh Mojo Ngawen Blora, K. M. Burdah Mahmudi Sialang Indah Pelalawan Riau, KH. Zaenal Tambi Wonosobo, dan K. Sulaiman Affandi Kediri.[8]

Sebelum meninggal, Mbah Salman sudah menyiapkan kader pengganti, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 tahun). Gus Multazam adalah putra ketujuh, lahir di Mekah Sebelumnya ia tampil sebagai badal sebagai imam shalat dan beberapa pengajian, baik di dalam pondok maupun di masyarakat Menurut informasi dari Kyai Dian Nafi, Gus Multazam juga menggantikan Kyai Salman dalam posisi sebagai mursyid.[9]

Santri-santri Pondok Pesantren Al-Manshur saat ini (tahun 2013) jumlahnya kurang lebih 700-an, sedangkan alumninya sudah mencapai ribuan, namun belum ada data pasti berapa puluh ribu alumni. Santri yang datang mondok kebanyakan dari daerah Grobogan, Purwadadi, Demak, Klaten Beberapa di antaranya dari Cilacap, Jakarta, dan berbagai daerah di Jawa Timur. Beberapa santri asal Sumatera juga tercatat di database sekretarian pesantren.

Sekarang (tahun 2013) Pondok Pesantren Al-Manshur memiliki empat komplek, yaitu Pondok Sepuh (Zawiyah Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah) dan Pondok Pesantren Al-Manshur Putra, yang diasuh oleh Mbah Salman yang diteruskan putranya, Gus Multazam Al-Makki. Adapun Pondok Pesantren Al-Manshur Putri, diasuh oleh Kyai Achmad Djablawi, kakak ipar Kyai Salman, dan Pondok Pesantren Al-MAnshur Putri II, diasuh oleh Kyai Nashrun Minalloh, adik kandung Mbah Salman.

Kepergian Sang Mursyid

Pada tanggal 27  Agustus 2013, pukul 17.45 WIB, Mbah Salman wafat  dalam usia 78 tahun. Sebelumnya kyai yang tawadlu’ tersebut sempat dirawat intensif di Rumah Sakit Islam Surakarta (RSIS) Surakarta selama seminggu. Kyai sepuh ini terkena gangguan pencernaan sejak tanggal 17 Agustus Sebelum dirawat di RSI tanggal 18 AGustus, Mbah Salman sempat dirawat sehari di PKU Muhammadiyah Delanggu Klaten. Mbah Salman meninggalkan seorang istri, delapan anak, dua puluh tiga cucu, dan dua buyut.[10]

Belum ada keterangan tentang risalah atau kitab yang ditulis oleh Kyai Salman Dahlawi, namun wasiatnya yang sempat diingat oleh putera-puteri dan santri-santrinya antara lain adalah : 1) Podo manuto ing pitutur, 2) Iman, taqwa lan syukur marang Allah SWT, 3) Ngemen-ngemenke ngluru ilmu nafi’, 4) Sregep jamaah,  5) Entheng ngamal ibadah, 6) Nrimo ing peparinge kang kuoso, 7) Ojo ngentengake utang, 8) Ngalah ing bab donyo, 9) Sabar, usaha, pasrah, tawakal marang Allah SWT, 10) Birrul walidain lan njogo rukune paseduluran, dan 11) Kabeh perkoro tumuju marang ridhone Allah SWT. Wasiat tersebut diungkapkannya di Popongan, pada 12 Januari 2013.[11] Wasiat lain yang sering disampaikan kepada para santri dan ajama’ah adalah untuk konsisten (istiqomah) mengikuti jama’ah sholat lima waktu.[12]

Ribuan orang hadir dalam pemakaman kyai karismatik ini sejak malam hari sebelum dimakamkan. Mereka adalah para kyai dan pengasuh pondok pesantren di Jawa, kaum nahdliyyin, para alumni Pondok Pesantren Al-Manshur dan lembaga pendidikan di Yayasan Al-Manshur, para pejabat pemerintah, dan masyarakat umum. Mbah Salman dimakamkan di pemakaman keluarga (Keluarga Besar Bani Manshur) di Dusun Popongan Desa Tegalgondo Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten.

Peran Sosial

Mbah Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah yang cukup dikenal kaum nahdlliyyin dan kaum tarekat pada umumnya.[13] Ia juga tercatat menjadi anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Rais Syuriyah dan Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).

Selain di organisasi-organisasi tersebut, Mbah Salman memiliki banyak peran di masyarakat Ia dikenal sebagai da’i yang mau turun gunung, memberikan taushiyah dan pengajian. Ia banyak melakukan islamisai masyarakat terutama di wilayah Klaten. Dakwah yang dipraktekkan adalah dakwah bil hal, dan lebih pada peningkatan kualitas dakwah. Sikap dakwahnya begitu moderat sehingga banyak masyarakat mengaguminya, termasuk kaum abangan.

Islamisasi di Klaten tidak dapat dilepaskan dari peran Mbah Salman. Begitu juga wakil-wakilnya di berbagai daerah juga melakukan islamisasi. Mbah Kyai Salman, secara langsung atau tidak langsung telah berperan dalam proses islamisasi di Jawa Tengah, dan beberapa daerah lainnya. Ia juga dikenal sebagai Kyai yang sering mengunjungi santri dan masyarakat dan memberikan do’a. Tidak jarang mengganti nama-nama santri dan warga masyarakat yang dipandang kurang baik, atau mengganti nama yang baik menjadi lebih baik.

Sepengetahuan penulis yang pernah nyantri selama tiga tahun di Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, setiap santri baru yang namanya kurang “baik” biasanya langsung diganti atau diberi tambahan, menjadi nama yang baik, atau lebih baik. Mbah Salman banyak memberikan nama tambahan “penghambaan” atau ‘abd, seperti Abdullah, Abdul Hadi, Abdul ‘Adzim, Abdur Razaq, Abdul Rahman, dan sebagainya.

Kyai Salman juga sering memberikan pelajaran fikih di berbagai daerah di Kabupaten Klaten dan dearth sekitarnya. Mursyid  Tarekat Naqsyabandiyah ini juga menjadi rujukan dalam masail diniyyah jika terjadi perselisihan pendapat di antara warga masyarakat. Di Pondok Pesantren Al-Manshur, Mbah Salman lebih sering mengajarkan akhlaq dan tauhid, sedangkan di Pondok Sepuh (Zawiyah Tarekat), ia mengajarkan tasawuf dan suluk Naqsyabandiyah-Khalidiyah.

Peran sosial kemasyarakatan dan keagamaan Kyai Salman di luar Klaten banyak dibantu oleh para badal, alumni santri, dan juga para menantunya yang juga mengasuh pondok pesantren, seperti Kyai Najib Abdul Qodir, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta,  Kyai Zubaduz Zaman, pengasuh Pondok Pesantren al-Islah Kediri, dan Kyai Dian Nafi’, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayad Windan Sokoharjo.

Peran social Mbah Salman yang lain adalah upaya yang ulet dalam mengembangkan pertanian di Dusun Popongan bersama dengan para petani di dusun tersebut. Mbah Salman, di mata para petani Popongan dikenal sebagai petani yang tekun.

Peran sosial politik kebangsaan juga diperankan oleh Mbah Salman, yakni dengan memberikan nasihat kepada para pejabat, politisi, birokrat di Kabupaten Klaten maupun di daerah lain, terutama dalam soal menjaga moralitas dan menata masyarakat. Mbah Salman juga aktif dalam memberikan nasihat bagi masyarakat dalam soal-soal amar ma’ruf nahi munkar.
(Ket Photo,  KH. Salman Dahlawi dan KH. Muhammad Manshur.)

Sabtu, 01 Juli 2017

Masjid Namira, seperti Masjid Jogokariyan

NAMIRA OH NAMIRA, MASJIDKU

Sampai detik ini aku masih heran, kok bisa Lamongan punya masjid seperti ini. Lokasinya juga bukan di tengah kota. Malah sudah minggir sekali. Berada di desa Jotosanur, kecamatan Tikung, Lamongan

Namira memang masjid yang beda
Jamaahnya selalu membludak
Kalau Salat Subuh jamaahnya  bisa sampai seribu orang. Paling dikit 500 orang dari banyak penjuru desa

Habis itu jamaah diberi sarapan gratis
Pas puasa menyediakan makanan gratis sampai 2000 pax untuk buka puasa dan sahur siapa saja yang datang.
Masjid ini juga jadi lokasi "kongkow" anak anak muda. Kalau janjian ketemu mereka akan memilih ke Namira lalu mendiskusikan kegiatannya di sana. Anak anak kecil pun disediakan tempat bermain yang aman untuk memberikan ingatan masa kecil bahwa masjid adalah tempat yang asik

.

Prinsipnya dasyat:
Uang sedekah jamaah harus kembali ke jamaah secepatnya
Kami takmir malu kalau uang jamaah menumpuk di kotak infak

Kalau bisa saldo infak itu Nol rupiah. Yang artinya takmir masjidnya kreatif karena berarti selalu punya program untuk jamaah
Masjid kalau punya saldo tidak nol berarti masjid gagal. Takmirnya miskin kreativitas. Jamaah nggak dapat manfaat apa pun dari keberadaan takmir. Jamaah juga belum dapat pahala karena uang sedekahnya belum mengalir, masih mandek di kotak infak.

.

Sebagai putra asli Lamongan aku jadi tertegun dengan konsep masjid ini
Buka 24 jam untuk musafir, boleh rehat dan tiduran di teras, bagi yang iktikaf disediakan kawasan tenda untuk menginap tidur, makanan sahur melimpah, free wifi sepanjang hari, daya tampung parkir mencapai 400 mobil, dan tiap minggu selalu mendatangkan penceramah baru dari berbagai kota...

.

Masih banyak kelebihan kelebihan lainnya yang sulit ketuliskan. Tapi inilah cikal bakal masjid madani itu... Saking banyaknya acara yang bermutu donatur yang datang entah darimana datangnya semakin membanjir. Lagi lagi takmir nya harus berpikir keras bagaimana menghabiskan uang itu. Makin habis makin datang donatur yang lebih besar

"Kami hanya ingin agar sedekah dari jamaah segera berubah jadi pahala. Justru kalau uangnya ngendon saja kami sebagai takmir merasa berdosa. Sedekah mereka terlambat jadi pahala karena belum ada kegiatan yang diwujudkan dari uang yang kita terima. Makanya motto kami: Usahakan saldo bisa nol....

Ya Allah... Terimakasih
Mudik ku benar-benar bermakna

Madrasah Diniyah

Beberapa bulan terakhir, banyak tokoh dan kader NU yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap Madrasah Diniyah. Saya kira fenomena ini sangat bagus, karena Madrasah Diniyah mendapatkan perhatian luas, setelah berabad-abad tidak diperhatikan keberadaannya meski sumbangsihnya besar bagi pendidikan keislaman dan karakter di negeri ini.

Sebenarnya kritik yang semestinya dituju pertama-tama adalah Kementerian Agama yang  selama ini kurang memberikan perhatian terhadap Madrasah Diniyah. Setidak-tidaknya tidak ada anggaran dan program yang serius untuk meningkatkan kapasitas Madrasah Diniyah.

Saya beberapa kali diundang mengisi acara Forum Komunikasi Madrasah Diniyah Takmiliyah, baik pada tingkat daerah maupun tingkat pusat. Mereka menyampaikan kegelisahan dan keprihatinan yang sama. Untungnya beberapa daerah dengan sigap membuat Peraturan Daerah yang secara khusus memberikan insentif pada Madrasah Diniyah, seperti Banten, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain. Tapi, sekali lagi, Kementerian agama tidak menangkap aspirasi ini dengan cepat.

Setahu saya, aspirasi yang sangat bagus justru datang dari Partai Kebangkitan Bangsa yang menginisiasi Rancangan Undang-Undang tentang Madrasah dan Pesantren. Inisiatif ini perlu didukung, khususnya oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang bertanggung penuh terhadap nasib Madrasah Diniyah.

Ada satu ketidakadilan yang cukup akut, ketika pendidikan nasional yang lain mendapatkan anggaran 20 persen, tapi Madrasah Diniyah dan Pesantren justru diterbengkalaikan. Ini membutuhkan pemikiran serius. Menurut saya ada dua solusi: Pertama, kita serius mendukung inisiatif PKB soal RUU Madrasah dan Pesantren. Kedua, momentum menjadikan Madrasah Diniyah sebagai pilar pendidikan karakter di negeri ini. Solusi yang kedua ini sudah dibuka jalannya oleh Presiden Jokowi.

Untuk solusi yang kedua ini, sekali lagi, Kementerian Agama harus serius melakukan kajian yang bersifat komprehensif perihal kebutuhan yang mendasar dalam rangka memberdayakan dan memperkuat Madrasah Diniyah sebagai salah satu pendidikan karakter di Indonesia.

Saatnya ego sektoral dan gerakan marah-marah ditransformasikan menjadi gerakan yang konstruktif. Saat ini adalah momentum yang tepat untuk memberikan perhatian dan keberpihakan yang riil terhadap Madrasah Diniyah. Sekali lagi, bukan hanya marah-marah.

Zuhairi Misrawi