YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Selasa, 28 Februari 2017

Islam Nusantara

Keputusan Bahtsul Masail Maudhu'iyah
PWNU Jawa Timur Tentang Islam Nusantara

Universitas Negeri Malang
13 Februari 2016

A. Mukadimah

B. Pembahasan

1. Maksud Islam Nusantara

2. Metode Dakwah Islam Nusantara

3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya
a. Ayat al-Qur'an dan hadits yang Redaksinya Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat
b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam
c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya
d. Melestarikan Tradisi/Budaya Yang Menjadi Media Dakwah

4. Sikap dan Toleransi Terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan
a. Sikap Terhadap Pluralitas Agama
b. Toleransi Terhadap Agama Lain
c. Toleransi Terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama'ah

5. Konsistensi Menjaga Persatuan Bangsa untuk Memperkokoh Integritas NKRI

Musahih:

KH. Syafruddin Syarif
KH. Romadlon Khotib
KH. Marzuki Mustamar
KH. Farihin Muhson
KH. Muhibbul Aman Ali

Perumus:

H. Ahmad Asyhar Shofwan, M.Pd.I.
H. Azizi Hasbulloh
H. MB. Firjhaun Barlaman
H. Athoillah Anwar
H. M. Mujab, Ph.D

Moderator:
Ahmad Muntaha AM

Notulen:
H. Ali Maghfur Syadzili, S.Pd.I.
H. Syihabuddin Sholeh
H. Muhammad Mughits
Ali Romzi

ISLAM NUSANTARA

A. Mukadimah

Pakar sejarah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dalam karyanya, Muqaddimah (37-38) mengatakan:

أَنَّ أَحْوَالَ الْعَالَمِ وَالْأُمَمِ وَعَوَائِدَهُمْ وَنِحَلَهُمْ لَا تَدُومُ عَلىٰ وَتِيرَةٍ وَاحِدَةٍ وَمِنْهَاجٍ مُسْتَقِرٍّ، إِنَّمَا هُوَ اخْتِلَافٌ عَلىٰ الْأَيَّامِ وَالْأَزْمِنَةِ، وَانْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلىٰ حَالٍ. وَكَمَا يَكُونُ ذٰلِكَ فِي الْأَشْخَاصِ وَالْأَوْقَاتِ وَالْأَمْصَارِ، فَكَذٰلِكَ يَقَعُ فِي الْآفَاقِ وَالْأَقْطَارِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالدُّوَلِ سُنَّةُ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ.
“Sungguh keadaan dunia, bangsa-bangsa, adat-istiadat dan keyakinan mereka tidak selalu mengikuti satu model dan sistem yang tetap, melainkan selalu berbeda-beda (berubah) seiring perjalanan hari dan masa, berpindah dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Sebagaimana hal itu terjadi pada manusia, waktu, dan kota, di berbagai kawasan, zaman, dan negeri juga terjadi/berlangsung sunnah Allah (sunnatullah) yang telah terjadi pada hamba-hambaNya.”

Di bumi Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI) terdapat tradisi dan budaya dalam sistem pengimplementasian ajaran agama, sehingga hal itu menjadi ciri khas Islam di Nusantara yang tidak dimililiki dan tidak ada di negeri lain. Perbedaan tersebut sangat tampak dan dapat dilihat secara  riil  dalam  beberapa hal, antara lain:
1. Dalam implementasi amalan Islam di Nusantara ada tradisi halal bihalal setiap tahun, haul, silaturrahim setiap hari raya (Idul Fitri), hari raya ketupat, baca solawat diiringi terbangan, sedekahan yang diistilahkan selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, tingkepan, sepasaran bayi, sepasaran pengantin, arak-arak pengantin yang meliputi undang mantu, ngunduh mantu, sekaligus diadakan Walimatul 'Urs baik oleh keluarhga wanita maupun keluarga laki-laki,dan  tradisi lainnya.

2. Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, berkopyah, pakaian adat Betawi, Jawa, Papua, Bali, Madura, dan masih banyak model pakian adat lain, terutama telihat dalam pakian pernikahan dimana pengantin dirias dan dipajang di pelaminan, dan lain sebagainya.

3. Dalam hal toleransi pengamalan ajaran Islam, ada yang solat Id di lapangan, di masjid, musalla, bahkan ada hari raya dua kali. Ada yang shalat tarawih 20 rakaat, ada pula yang delapan rakaat. Di antara pelaksanaan tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat al-Khulafa' ar-Rasyidin, dengan shalawat, dan ada yang memisahnya dengan doa. Dalam acara akikah ada yang diisi dengan shalawatan, dan ada yang diisi tahlilan, dan selainnya.

4. Dalam hal toleransi dengan budaya yang mengandung sejarah atau ajaran, ada di sebagian daerah dilarang menyembelih sapi seperti di Kudus Jawa tengah yang konon merupakan bentuk toleransi Sunan Kudus pada ajaran Hindu yang menyucikannya, adat pengantin dengan menggunakan janur kuning, kembang mayang, dan selainnya.

5. Dalam toleransi dengan agama lain ada hari libur nasional karena hari raya Islam, hari raya Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan ada hari libur lainnya.

Kemudian Islam Nusantara menjadi tema utama pada Muktamar NU ke 33 di Jombang. Munculnya istilah Islam Nusantara mengundang reaksi yang beragam, baik yang pro maupun yang kontra sejak sebelum muktamar digelar sampai sekarang. Karena itu, PW LBM NU Jawa Timur memandang sangat perlu membuat rumusan tentang Islam Nusantara secara objektif dan komprehensif dalam rangka menyatukan persepsi tentang Islam Nusantara.

B. Pembahasan

1. Maksud Islam Nusantara

Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah Saw, sedangkan kata “Nusantara” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebutan atau nama bagi seluruh kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia.

Ketika penggunaan nama “Indonesia” (berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.

Sebenarnya belum ada pengertian definitif bagi Islam Nusantara. Namun demikian Islam Nusantara yang dimaksud NU adalah: a) Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan di bumi Nusantara oleh para pendakwahnya, yang di antara tujuannya untuk mengantisipasi dan membentengi umat dari paham radikalisme, liberalisme, Syi’ah, Wahabi, dan paham-paham lain yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jamaah, sebagaimana tersirat dalam penjelasan Rais Akbar Nahdlatul Ulama Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah (h. 9):

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالجَمَاعَةِ، وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ البِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِي أَرْضِ جَاوَى، وَبَيَانِ أَنْوَاعِ المُبْتَدِعِيْنَ فِي هَذَا الزَّمَانِ. قَدْ كَانَ مُسْلِمُوْا الأَقْطَارِ الجَاوِيَّةِ فِي الأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الآرَاءِ وَالمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي المَأْخَذِ وَالمَشْرَبِ، فَكُلُّهُمْ فِي الفِقْهِ عَلَى المَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْس، وَفِي أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الأَشْعَرِي، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الغَزالِي وَالإِمَامِ أَبِي الحَسَنِ الشَّاذِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.

Selain itu, Islam Nusantara menurut NU juga dimaksudkan sebagai b) metode (manhaj) dakwah Islam di bumi Nusantara di tengah penduduknya yang multi etnis, multi budaya, dan multi agama yang dilakukan secara santun dan damai, seperti tersirat dalam pernyataan Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori Tuban dalam Ahla al-Musamarah fi Hikayah al-Aulia' al-'Asyrah, (h. 23-24) saat menghikayatkan dakwah santun Sayyid Rahmad (Sunan Ampel):

ثم قال السيد رحمة أنه لم يوجد في هذه الجزيرة مسلم إلا أنا وأخي السيد رجا فنديتا وصاحبي أبو هريرة. فنحن أول مسلم في جريرة جاوه ... فلم يزل السيد رحمة يدعون الناس إلى دين الله تعالى وإلى عبادته حتى أتبعه في الإسلام جميع أهل عمفيل وما حوله وأكثر أهل سوربايا. وما ذلك إلا بحسن موعظته وحكمته في الدعوة وحسن خلقه مع الناس وحسن مجادلتهم إياهم امتثالا لقوله تعالى: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ الآية (النحل: 125) وقوله تعالى: وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ (الحجر: 88)،  وقوله تعالى: وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (لقمان: 17). وهكذا ينبغي أن يكون أئمة المسلمين ومشايخهم على هذه الطريقة حتى يكون الناس يدخلون في دين الله أفواجا.

Dalam kitab yang sama, Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori juga memaparkan dakwah Maulana Ishaq (paman Sunan Ampel) yang didahului dengan khalwat untuk riyadhah (tirakat) menjaga konsistensi mengamalkan syariat, baik ibadah fardhu maupun sunnah. Kemudian dengan karamahnya mampu menyembuhkan Dewi Sekardadu putri Minak Sembayu Raja Blambangan Banyuwangi yang sedang sakit dan tidak dapat disembuhkan para Tabib saat itu, sehingga dinikahkan dengannya dan diberi hadiah separuh wilayah Blambangan. Jasa besar, posisi strategis, dan keistikamahan dakwahnya menjadi sebab keberhasilan dakwahnya mengislamkan banyak penduduk Blambangan, Banyuwangi (Ahla al-Musamarah, h. 24-26).


2. Metode Dakwah Islam Nusantara

Sampai kini masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang masuknya Islam di Nusantara. Di antara yang menjelaskannya adalah Ulama Nusantara Syaikh Abu al-Fadhl as-Senori dalam Ahla al-Musamarah, Islam masuk ke Nusantara (Jawa secara lebih khusus) pada akhir abad keenam Hijriyyah, bersamaan dengan kedatangan Sayyid Rahmat dan Sayyid Raja Pandita dari Negeri Campa (Vietnam sekarang) ke Majapahit untuk menjenguk Bibinya Martanigrum yang menjadi istri Raja Brawijaya. Sementara menurut Sayyid Muhammad Dhiya' Syahab, dalam ta'liqatnya atas kitab Syams azh-Zhahirah, Sayyid Ali Rahmat datang ke Jawa pada 751 H (1351 M). Meskipun demikian, semua sepakat bahwa Islam masuk ke Nusantara dengan dakwah santun dan penuh hikmah.

Metode dakwah Islam Nusantara yang ramah, santun dan penuh hikmah, setidaknya meliputi metode dakwah Islam Nusantara masa Walisongo dan masa kekinian. Pertama, metode dakwah Islam Nusantara pada masa Walisongo sebagaimana tergambar dalam Ahla al-Musamarah fi al-Auliya' al-'Asyrah yang antara lain dengan:
a. Pendidikan: pendidikan agama Islam yang kokoh meliputi syariat, tarekat, dan hakikat sebagaimana pendidikan yang dilangsungkan oleh Sunan Ampel.
b. Kaderisasi: menghasilkan generasi penerus yang konsisten menjalankan syariat, riyadhah, dan menjauhi segala kemungkaran, sehingga mampu menjadi pimpinan yang mengayomi sekaligus disegani di tengah masyarakatnya dan mampu mengajaknya untuk memeluk agama Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Ampel dan Pamannya, Maulana Ishaq dalam mendidik anak-anak dan murid-muridnya.
c. Dakwah: konsistensi menjalankan dakwah yang ramah dan penuh kesantunan sebagaimana dakwah Walisongo sehingga menarik simpati dan relatif diterima masyarakat luas.
d. Jaringan: jaringan dakwah yang kokoh, sistematis, dan terorganisir, penyebaran murid-murid Sunan Ampel. Sunan Bonang di Lasem dan Tuban, Sunan Gunungjati di Cirebon, Sunan Giri di Tandes, Raden Fatah di Bintoro, Sunan Drajat di Lamongan dan Sedayu, dan selainnya.
e. Budaya: seperti pendirian masjid sebagai pusat peradaban Islam, seperti masjid Ampel, Masjid Demak.
f. Politik: politik li i'lai kalimatillah yang bersentral pada musyawarah ulama.

Referensi:
a. Ahla al-Musamarah, h. 14-48
b. Syams azh-Zhahirah, I/525

Kedua, metode dakwah Islam Nusantara di masa kini secara prinsip sama dengan metode dakwah di masa Walisongo, meskipun dalam strateginya perlu dilakukan dinamisasi sesuai tantangan zaman, dengan tetap berpijak pada aturan syar’i. Secara terperinci metode tersebut dapat dilakukan dengan:

a. Berdakwah dengan hikmah, mau'izhah hasanah, dan berdialog dengan penuh kesantunan.
b. Toleran terhadap budaya lokal tidak bertentangan dengan agama.
c. Memberi teladan dengan al-akhlak al-karimah.
d. Memprioritaskan mashlahah 'ammah daripada mashlahah khasshah.
e. Berprinsip irtikab akhaff ad-dhararain.
f. Berprinsip dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih.

Ulama sepakat mashlahah yang dijadikan dasar adalah mashlahah yang punya pijakan syariat, sehingga mashlahah yang mengikuti hawa nafsu ditolak. Sebab, bila mashlahah dikembalikan kepada manusia maka standarnya akan berbeda-beda sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang melatarbelakangi rumusan fikih dikembalikan pada madzahib mudawwan (mazhab yang terkodifikasi). Allah Swt berfirman:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيما حَكِيمًا. (النساء: 11)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ. (المؤمنون: 71).
اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (آل عمران: 60)

Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa mengatakan, orang menganggap mashlahah tanpa dasar dalil syar'i maka batal. Beliau juga mengatakan, mashlahah yang dilegalkan syara' adalah menjaga al-kulliyah al-khams, yakni:
a. Melindungi agama
b. Melindungi nyawa
c. Melindungi akal
d. Melilndungi keturunan
e. Melindungi harta.

Terkait mashlahah mursalah atau munasib mursal yang diutarakan Imam Malik, maka Fuqaha Syafi'iyyah, Hanafiyah dan bahkan Ashab Imam Malik sendiri telah melarang mencentuskan hukum dengan dalil mashlahah mursalah. Lalu apa maksud maslahah mursalah Imam Malik ini? Jika Imam Malik memang melegalkan mashlahah mursalah, maka ulama menginterpretasikan bahwa yang dimaksud Imam Malik adalah al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath'iyyah, bukan dalam setiap mashlahah. Seperti halnya dalam kondisi perang, tentara kafir menjadikan sejumlah orang Islam sebagai perisai, padahal andaikan mereka berhasil menerobos maka berakibat fatal karena dapat menguasai/menjajah negeri kaum Muslimin, sedangkan bila diserang jelas-jelas akan menjamin keamanan bagi kaum Muslimin yang lebih banyak, namun pasti mengorbankan sejumlah orang Islam yang dijadikan sebagai perisai tersebut. Dalam kasus ini, penyerangan terhadap mereka sangat ideal dan kemaslahatannya sangat nyata (termasuk kategori al-mashlahah ad-dharuriyyah al-kulliyyah al-qath'iyyah), meskipun tidak terdapat penjelasan dari syara' apakah dii'tibar atau diilgha'kan. Dalam kasus ini Imam Malik membolehkan penyerangan dengan dalil mashlahah mursalah, tidak dalam semua mashlahah.

Cara mengaplikasikan kaidah maslahah dalam realitas saat ini adalah dengan:
a. Mengembalikannya pada dalil-dalil syariat.
b. Bemilah-milah antara hukum yang bersifat ta'abbudi (dogmatif) dengan hukum ta'aqquli (yang diketahui maksudnya).
c. Membedakan antara hikmah dan 'illat.

Referensi:
a. Al-Bahr al-Madid, IV/95.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
c. Al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, V/172-175.
d. Al-Mustashfa, VI/48.
e. Al-Ihkam, IV/160.
b. At-Taqrir wa at-Tahbir, III/149.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.
b. Tafsir al-Bahr al-Muhith, VI/48.

3. Landasan dalam Menyikapi Tradisi/Budaya

Islam tidak anti terhadap tradisi/budaya, bahkan sebaliknya Islam akomodatif padanya. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan dua hal, yaitu berbagai ayat al-Qur'an dan hadits yang dalam redaksinya mengakomodir tradisi/budaya; dan beberapa tradisi/budaya jahiliyah menjadi ajaran Islam. Selain itu, dakwah Islam di Nusantara ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan sebagaimana akan dijelaskan.

a. Redaksi Ayat al-Qur'an dan hadits yang Mengakomodir Tradisi/Budaya Masyarakat

Pertama, ayat tentang riba:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران :13)

Jika dipahahami dari makna literalnya, riba yang dilarang dalam ayat ini hanya riba yang berlipat-ganda, bukan riba yang sedikit. Tetapi tidak ada satupun pendapat Imam Mujtahid yang membolehkannya meskipun sedikit. Sebab kata أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً merupakan pengakomodasian budaya kafir jahiliyyah dimana saat itu mereka berlomba-lomba dan bangga dengan riba yang berlipat ganda.

Kedua, ayat tentang menikahi anak tiri:

وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنِ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم (النساء: 23)

Secara literal ayat ini hanya menyebutkan keharaman menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi jika anak tiri tersebut dirawat ayah tirinya. Tapi tidak ada satupun Imam Mujtahid yang menghalalkan orang menikahi anak tiri yang ibunya sudah disetubuhi, baik anak tersebut dirawat ayah tirinya ataupun tidak. Sebab penyebutan kata فِي حُجُورِكُمْ merupakan pengakomodasian budaya jahiliyyah dimana jika ada percerian maka anak perempuan mereka cenderung mengikuti ibunya meskipun harus hidup bersama ayah tiri, daripada mengikuti ayahnya tapi harus hidup bersama ibu tiri, karena biasanya yang kejam adalah ibu tiri bukan ayah tiri.

Ketiga, ayat tentang perempuan dan laki-laki jalang:

اَلْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ. (النور: 26)

Dalam ayat ini pula, secara literal Allah menjelaskan bahwa wanita jalang untuk pria jalang, dan sebaliknya; dan wanita shalihah untuk pria shalih dan sebaliknya. Tapi dalam syariat tidak diharamkan wanita jalang bersuami pria shalih dan sebaliknya. Penjelasan ayat di atas hanya sekedar mengakomodir budaya, yakni orang-orang baik biasanya akan memilih orang-orang baik dan sebaliknya. Selain itu, masih banyak ayat redaksinya mengakomodir budaya, sehingga secara implisit mengajarkan agar melestarikan budaya.

Keempat, anjuran untuk menjaga etika daripada melaksanakan perintah yang tidak wajib. Meskipun ada hadits yang melarang berdiri karena kedatangan Nabi Saw, namun dalam hadits lain beliau membiarkan Hassan ra berdiri menghormatinya sesuai tradisi masyarakat Arab.
  
Bahkan di hadits lain beliau memerintahkan para sahabat untuk berdiri menghormati Mu'adz bin Jabal ra:
عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ بْنَ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ قَالَ نَزَلَ أَهْلُ قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى سَعْدٍ فَأَتَاهُ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَرِيبًا مِنَ الْمَسْجِدِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلأَنْصَارِ « قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ - أَوْ خَيْرِكُمْ . (رواه مسلم)

Referensi:
a. Rawai' al-Bayan, I/292-293 dan 1455.
b. I'anah at-Thalibin, III/305.

b. Pengakomodiran Tradisi/Budaya Jahiliyah Menjadi Ajaran Islam

Pertama, tradisi puasa Asyura yang biasa dilakukan masyarakat Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَنْ ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ. (رواه مسلم)

Kedua, tradisi akikah yang pada masa Jahiliyah diakomodir menjadi kesunnahan dalam Islam, kecuali kebiasaan mengolesi kepala bayi dengan darah hewan akikah diganti dengan mengolesinya dengan minyak wangi.
عَن عبد الله بن بُرَيْدَة، عَن أَبِيه قَالَ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّة إِذا ولد لِأَحَدِنَا غُلَام ذبح شَاة ولطخ رَأسه بدمها، فَلَمَّا جَاءَ الله بِالْإِسْلَامِ كُنَّا نَذْبَحُ شَاةً ونحلق رَأسه ونلطخه بزعفران. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم. صَحِيح)

Ketiga, ritual-ritual haji. Seperti thawaf yang sudah menjadi tradisi kaum Jahiliyyah dalam Islam ditetapkan sebagai salah satu ritual haji, namun dengan mengganti kebiasaan telanjang di dalamnya dengan pakaian ihram.

Keempat kebolehan untuk menerima hadiah makanan dari tradisi kaum Majuzi di hari raya mereka selain daging sembelihannya.

Referensi:
a. Syarh an-Nawawi 'ala Shahih Muslim, VIII/9.
b. As-Sirah an-Nabawiyah karya Ibn Ishaq, III/305.
c. Mushannaf Ibn Abi Syaibah, XII/249.

c. Pendekatan Terhadap Tradisi/Budaya

Dalam tataran praktik dakwah Islam di Nusantara, ketika berhadapan dengan berbagai tradisi/budaya bisa digunakan empat pendekatan (approach), yaitu adaptasi, netralisasi, minimalisasi, dan amputasi.

Pertama pendekatan adaptasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (tidak haram). Bahkan hal ini merupakan implementasi dari al-akhlaq al-karimah yang dianjurkan oleh Nabi Saw. Tradisi/budaya yang disikapi dengan pendekatan adaptasi mencakup tradisi/budaya yang muncul setelah Islam berkembang maupun sebelumnya. Seperti tradisi bahasa kromo inggil dan kromo alus dalam masyarakat Jawa untuk  sopan santun terhadap orang yang lebih tua.
عن معاذِ بنِ جبلٍ رضي الله عنهما، عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم، قَالَ: اتَّقِ الله حَيْثُمَا كُنْتَ وَأتْبعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي، وَقالَ: حديث حسن)

Kedua pendekatan netralisasi, dilakukan untuk menyikapi tradisi/budaya yang di dalamnya tercampur antara hal-hal yang diharamkan yang dapat dihilangkan dan hal-hal yang dibolehkan. Netralisasi terhadap budaya seperti ini dilakukan dengan menghilangkan keharamannya dan melestarikan selainnya. Allah berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ. (البقرة: 200)

Dalam menjelaskan sabab an-nuzul ayat ini Imam Mujahid menyatakan, bahwa orang-orang Jahiliyah seusai melaksanakan ibadahnya biasa berkumpul dan saling membangga-banggakan nenek moyang dan nasab mereka yang jelas-jelas dilarang dalam Islam, kemudian turun ayat tersebut yang tidak melarang perkumpulannya namun hanya memerintahkan agar isinya diganti dengan zikir kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menganjurkan penghapusan tradisi/budaya secara frontal, namun menganjurkan untuk meluruskan hal-hal yang belum lurus saja. 

Ketiga pendekatan minimalisasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang belum bisa dihilangkan seketika. Minimalisasi budaya semacam ini dilakukan dengan cara: a) mengurangi keharamannya sebisa mungkin, yaitu dengan menggantinya dengan keharaman yang lebih ringan secara bertahap sampai hilang atau minimal berkurang; b) membiarkannya sekira keharaman tersebut dapat melalaikan pelakunya dari keharaman lain yang lebih berat.

Keempat pendekatan amputasi, dilakukan untuk menyikapi budaya yang mengandung keharaman yang harus dihilangkan. Amputasi terhadap budaya semacam ini dilakukan secara bertahap, seperti terhadap keyakinan animisme dan dinamisme. Meskipun dilakukan dengan cara menghilangkan hingga ke akarnya, pendekatan ini dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw dalam menyikapi keyakinan paganisme di masyarakat Arab menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, dan kebudayaannya. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan kota Makkah (Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau saat dakwah Islam telah berusia 21 tahun.

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال  :دخل النبي صلى الله عليه و سلم مكة وحول البيت ستون وثلاثمائة نصب فجعل يطعنها بعود في يده ويقول: جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا. جاء الحق وما يبدئ الباطل وما يعيد. (رواه البخاري)

Referensi:
a. Mirqah Shu'ud at-Tasydiq fi Syarh Sulam at-Taufiq, 61.
b. Majma' az-Zawa'id, VIII/347.
c. Asbab an-Nuzul karya al-Wahidhi, I/39.
d. Ihya 'Ulum ad-Din, III/62.
e. I'lam al-Muwaqqi'in, III/12.

c. Melestarikan Tradisi/Budaya Yang Menjadi Media Dakwah

Tradisi/Budaya yang telah menjadi media dakwah dan tidak bertentangan dengan agama, semestinya dilestarikan. Sebagaimana tradisi kirim doa untuk mayit pada hari ke tujuh, ke-40, ke-100, dan ke-1000 dari kematiannya, sebab tidak bertentangan dengan agama dan justru menarik masyarakat berkirim doa bagi orang-orang yang telah meninggal. Sebab jika tradisi ini dihilangkan, kebiasaan kirim doa juga akan ikut hilang atau berkurang.

Namun bila di tempat atau waktu tertentu tidak efektif dan justru kontra produktif bagi dakwah Islam di Nusantara, maka tradisi tersebut semestinya diubah secara arif dan bertahap sesuai kepentingan dakwah (dikembalikan pada prinsip mashlahah).

Referensi:
a. Referensi Metode Dakwah Islam Nusantara.
b. Nihayah az-Zain, 281.
c. Majma' az-Zawa'id, VIII/347.
d. Al-Adam as-Syar'iyyah, II/114.
e. Ihya 'Ulum ad-Din, III/62.

4. Sikap dan Toleransi Terhadap Pluralitas Agama dan Pemahaman Keagamaan

a. Sikap Terhadap Pluralitas Agama

Pertama, meyakini bahwa pluralitas agama (perbedaan agama, bukan pluralisme menyakini kebenaran semua agama) di dunia merupakan sunnatullah. Ini seharusnya yang menjadi asas dalam amr ma'ruf nahi munkar, sehingga jelas tujuannya untuk melakukan perintah Allah, bukan untuk benar-benar berhasil menghilangkan semua kemungkaran dari muka bumi yang justru dalam prosesnya sering melanggar prinsip-prinsipnya.

... وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة: 48)

Kedua, memperkuat keyakinan atas kebenaran ajaran Islam; tidak mengikuti ajaran agama lain dan menghindari memaki-maki penganutnya. Allah Swt berfirman:

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُون. (الانعام: 108)

Ketiga, menolak dakwah yang bertentangan dengan Islam dengan cara terbaik dan bijaksana, serta menunjukkan kebaikan ajaran Islam. Allah Swt berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ. وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. (فصلت: 33-34)

Keempat, amr ma'ruf nahi munkar dengan arif dan bijaksana. Allah Swt berfirman:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (النحل:  125)

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (البقرة: 44)

Referensi:
Mafatih al-Ghaib, XIII/114-116, III/44 dan 193, VIII/145, XX/112-114.

b. Toleransi Terhadap Agama Lain

Toleransi terhadap agama lain yang berkembang di masyarakat merupakan keniscayaan, demi terbangunnya kerukunan antarumat beragama di tengah pluralitas. Bahkan Islam mengajarkan agar berpekerti baik terhadap semua manusia tanpa memilih-milih, terhadap orang yang seagama maupun tidak, dan terhadap orang shalih maupun sebaliknya. Al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul (III/97) mengatakan:

وقال صلى الله عليه وسلم: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم حسن خلقك ولو مع الكفار تدخل مداخل الأبرار فإن كلمتي سبقت لمن حسن خلقه أن أظله في عرشي وأن أسكنه في حظيرة قدسي وأن أدنيه من جواري. وحسن الخلق على ثلاث منازل: أولها أن يحسن خلقه مع أمره ونهيه،  الثانية أن يحسن خلقه مع جميع خلقه،  الثالثة أن يحسن خلقه مع تدبير ربه فلا يشاء إلا ما يشاء له ربه.

Dalam rangka mendakwahkan agama Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, toleransi dapat dipraktikkan dengan menjalin mu'amalah zhahirah yang baik antarumat beragama, memberi jaminan keselamatan jiwa dan harta, serta tidak mengganggu pengamalan keyakinan lain selama tidak didemonstrasikan secara provokatif di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam.

Namun demikian, penerapan toleransi kaum muslimin terhadap agama lain perlu memperhatikan batas-batasnya sebagaimana berikut:

1) Tidak melampaui batas akidah sehingga terjerumus dalam kekufuran, seperti rela dengan kekufuran, ikut meramaikan hari raya agama lain dengan tujuan ikut mensyiarkan kekufuran, dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.
2) Tidak melampaui batas syariat sehingga terjerumus dalam keharaman, seperti ikut datang ke tempat ibadah agama lain saat perayaan hari rayanya, mengundang pemeluk agama lain untuk menghadiri perayaan hari raya umat Islam, mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dan semisalnya, kecuali dalam kondisi darurat.

Referensi:
a. Faidh al-Qadir, III/71.
b. Mafatih al-Ghaib, VIII/10-11.
c. Hasyiyyah al-Bujairami, V/183.
d. Qurrah al-'Ain bi Fatawa Isma'il az-Zain, 199.
e. Qurrah al-'Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
f. Asna al-Mathalib, III/167.
g. Al-Hawi al-Kabir, XIV/330.
h. Qurrah al-'Ain karya Muhammad Sulaiman al-Kurdi, 208-209.
i. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, IV/239.
j. Al-Adab as-Syar'iyyah, IV/122.
k. Bughyah al-Mustarsyidin, I/528.
l. Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, XII/8.

c. Toleransi Terhadap Pemahaman Keagamaan Selain Ahlusssunnah wal Jama'ah

Selain pluralitas agama, di Nusantara terdapat bermacam pemahaman keagamaan (akidah) dalam lingkungan Umat Islam, sehingga diperlukan toleransi terhadap kelompok umat Islam yang dalam masalah furu'iyyah maupun ushuliyyah berbeda pemahaman dengan Ahlussunnah wal Jama'ah. Secara prinsip toleransi dalam konteks ini tetap mengedepankan semangat Islam sebagai agama yang merahmati semesta alam dan al-akhlaq al-karimah, seperti halnya dalam toleransi  antarumat beragama. Begitu pula dalam tataran praktiknya, batas-batas toleransi terhadap kelompok umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah sama dengan batas-batas dalam toleransi  antarumat beragama, yaitu tidak boleh melampaui batas akidah dan syariat.

Toleransi dalam konteks ini tidak menafikan semangat dakwah untuk menunjukkan kebenaran (al-haqq) dan menghadapi berbagai syubhat (propaganda) yang mereka sebarkan, terlebih yang bersifat provokatif, mengancam kesatuan Umat Islam, integritas bangsa secara lebih luas.

عن معاوية بن حيدة قال : خطبهم رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : حتى متى ترعون عن ذكر الفاجر هتكوه حتى يحذره الناس. (رواه الطبراني في الثلاثة وإسناد الأوسط والصغير حسن رجاله موثقون واختلف في بعضهم اختلافا لا يضر)

Selain itu, dalam menyikapi umat Islam yang tidak berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah perlu diperhatikan beberapa hal berikut:

1) Dalam melakukan amr ma'ruf nahi munkar kepada mereka tidak boleh sampai menimbulkan fitnah yang lebih besar, terlebih di daerah yang jumlah mereka seimbang dengan jumlah umat Islam Sunni. Dalam kondisi seperti ini amr ma'ruf nahi munkar wajib dikoordinasikan dengan pemerintah.

2) Tidak menganggap kufur mereka selama tidak terang-terangan menampakkan hal-hal yang telah disepakati (ijma') atas kekufurannya, yaitu menafikan eksistensi Allah, melakukan syirk jali yang tidak mungkin dita'wil, mengingkari kenabian, mengingkari ajaran Islam yang bersifat mutawatir atau yang didasari ijma' yang diketahui secara luas (ma'lum min ad-din bi ad-dharurah).

3) Meskipun salah dalam sebagian aqidahnya, selama tidak sampai kufur mereka masih mungkin diampuni Allah Swt.

4) Dalam ranah individu, penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak boleh beranggapan pasti masuk surga karena amalnya, sedangkan yang lain pasti masuk neraka. Sebab, sekecil apapun setiap individu mempunyai dosa dan jika tidak diampuni bisa saja kelak masuk neraka.

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ. إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. (القصص: 55-56)

وَلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ. (ال عمران: 129)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « لَنْ يُنْجِىَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ ». قَالَ رَجُلٌ وَلاَ إِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ إِيَّاىَ إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَلَكِنْ سَدِّدُوا ». (رواه مسلم)

Referensi:
a. Hasyiyyah al-Bujairami, V/183.
b. Al-jami' as-Shaghir, I/85.
c. Majma' az-Zawa'id, I/375.
d. Al-Milal wa an-Nihal, II/321-322.
e. Mafahim Yajib an-Tushahhah, 18-19.

5. Konsistensi Menjaga Persatuan untuk Memperkokoh Integritas Bangsa

NKRI dan Pancasila selain telah terbukti mampu menjadi perekat bangsa sejak kemerdekaan hingga sekarang, juga mampu menjadi wadah dakwah Islam Nusantara secara luas. Pertumbuhan muslim di kawasan-kawasan mayoritas non muslim juga semakin meningkat. Namun demikian, di tengah perjalanan sejarah tantangan disintegrasi bangsa terkadang bermunculan, bahkan wacana mendirikan negara di dalam negara terus mengemuka. Sebab itu, internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya terkait NKRI dan Pancasila sebagai upaya final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan keharusan. Berkenaan dengan itu perlu disadari, bahwa penerimaan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan spirit piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah Saw, yang berhasil menyatukan masyarakat yang plural dalam satu kesatuan negeri Madinah.

Sebagaimana diriwayatkan Ibn Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah (II/126-129) karya Ibn Hisyam, Piagam Madinah di antaranya menyatakan:
بِسْمِ اللهِ الرّحْمَنِ الرّحِيمِ. هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ، إِنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النّاسِ ... وَإِنّهُ مَنْ تَبِعَنَا مِنْ يَهُودَ فَإِنّ لَهُ النّصْرَ وَالْأُسْوَةَ غَيْرَ مَظْلُومِينَ وَلَا مُتَنَاصَرِينَ عَلَيْهِمْ ... وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ. لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ وَلِلْمُسْلِمَيْنِ دِينُهُمْ وَمَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ إلّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ فَإِنّهُ لَا يُوتِغُ إلّا نَفْسَهُ وَأَهْلَ بَيْتِهِ ... وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ. وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ، وَإِنّهُ لَمْ يَأْثَمْ امْرِئِ بِحَلِيفِهِ، وَإِنّ النّصْرَ لِلْمَظْلُومِ، وَإِنَّ الْيَهُودَ يُنْفِقُونَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ مَا دَامُوا مُحَارِبِينَ، وَإِنّ يَثْرِبَ حَرَامٌ جَوْفُهَا لِأَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ ... وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النّصْرَ عَلَى مَنْ دَهَمَ يَثْرِبَ، وَإِذَا دُعُوا إلَى صُلْحٍ يُصَالِحُونَهُ ...

Dari Piagam Madinah dapat diambil spirit, bahwa Nabi Muhammad Saw menyatukan warga yang multi etnis dan multi agama menjadi ummah wahidah (satu kesatuan bangsa). Semua warga punya kedudukan yang sederajat, sama-sama berhak mendapatkan jaminan keamanan, melakukan aktifitas ekonomi, mengaktualisasikan agama, sama-sama berkewajiban untuk  saling memberi nasehat dan berbuat kebaikan, menjaga keamanan serta integritas Madinah sebagai satu kesatuan negeri menghadapi ancaman dari luar.

Selain itu, untuk memupuk persatuan di tengah masyarakat yang plural perlu ditanamkan sikap menghargai perbedaan dan menjaga hak antarsesama, di antaranya  dengan:
a. Menghargai ajaran agama lain.
b. Melestarikan budaya dari suku dan agama apa pun selama tidak bertentangan dengan syariat.
c. Mengapresiasi kebaikan/kelebihan  orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri.
d. Menghindari caci-maki terhadap orang lain karena alasan perbedaan.
e. Menghindari anggapan menjadi orang yang paling baik dan menganggap orang lain tidak baik, sehingga mengabaikan kewajiban berbuat baik.
f. Membiasakan berbuat kebajikan terhadap siapapun.
g. Memprioritaskan penanaman nilai-nilai agama secara utuh dan mendalam di lingkungan internal Ahlussunah wal Jamaah.

وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّواْ اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (سورةا لانعام اية 108)

َلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)

عن ابن عمر أن غيلان بن سلمة الثقفي أسلم تحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه و سلم: اختر منهن أربعا ... (رواه ابن حبان. صحيح )

حدّثنا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ . حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنِ ابْنِ الْهَادِ عَنْ سَعْدٍ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ. يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ . وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ». (رواه ابن حبان. مسلم)

َلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (ال عمران: 129)

Referensi:
a. Al-Hawi al-Kabir, XIV/330.
b. Risalah al-Qusyairiyah, I/103.
c. Ihya 'Ulum ad-Din, II/212.
d. Al-Majalis as-Saniyyah, 87.

Jumat, 17 Februari 2017

Dalam NKRI tak ada orang kafir

Oleh : Ahmad Sahal
Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.

Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tak ada orang kafir. Pemeluk agama disebut berdasar agama masing-masing: orang Islam, orang Kristen, orang Katholik, orang Budha, orang Hindu, orang Konghucu. Mereka tak disebut “kafir.” karena titik acuan NKRI adalah Pancasila, bukan Islam.

“Kafir,” term Bahasa Arab yang artinya “orang yang menutup diri,” merupakan istilah keagamaan dalam Islam untuk menyebut orang yang menutup diri karena mengingkari dan menentang ajaran Islam. Namun harus diingat, kriteria tentang apa dan siapa “kafir” bersandar pada doktrin Islam, dan karena itu, penilaiannya pun dari sudut pandang Islam.

Sedangkan NKRI berasaskan Pancasila, bukan doktrin Islam atau doktrin agama lain. Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak mendesakkan sudut pandang agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain.

Simaklah Sukarno dalam pidato bersejarahnya tentang lahirnya Pancasila 1 Juni 1945: “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”

Dengan menyatakan “bertuhan Tuhannya sendiri,” Sukarno tak hanya mengakui karakter keberagamaan bangsa Indonesia yang beragam. Sang proklamator juga menegaskan kesetaraan hak penganut agama. Seorang penganut agama, sembari meyakini kebenaran agamanya, dituntut juga untuk mengakui hak para penganut agama lain untuk meyakini kebenaran agama mereka.

Tak ada sudut pandang agama apa pun yang boleh mendominasi sudut pandang agama lain. Tak ada satu kelompok agama mana pun yang berhak menilai agama lain dari sudut pandang sendiri. Bung Karno lantas mewanti-wanti agar bangsa Indonesia “berTuhan secara kebudayaan” dengan saling menghormati antar pemeluk agama, dan tak terjebak dalam apa yang ia sebut sebagai “egoisme agama.”

“Egoisme agama” inilah yang mengemuka ketika sebutan “kafir” merambah kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Yang mesti diingat, tiap agama punya kriteria dan ukurannya sendiri tentang apa dan siapa yang bisa dikategorikan “pengingkaran” dan “pengingkar” terhadap agama tersebut. Dengan kata lain, tiap agama punya konsep “kafir”nya sendiri. Jika masing-masing pemeluk agama memaksakan ukuran “kafir” dari agama sendiri untuk menilai agama lain, maka yang akan muncul adalah sikap saling menegasikan satu sama lain yang berujung pada perpecahan, atau bahkan perang saudara.

Egoisme agama semacam ini niscaya bertentangan dengan visi Bung Karno tentang Negara Indonesia sebagai “semua milik semua,” bukan hanya menjadi milik satu golongan tertentu, mayoritas atau minoritas. Kata Bung Karno: “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, tapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua.”

Warga Negara, Bukan Kafir

Dalam NKRI tak ada tempat bagi sebutan “kafir” terhadap warganya yang non-Muslim, karena status mereka adalah warga negara (citizen), bukan kafir dzimmi, apalagi kafir harbi. NKRI berdiri di atas faham kebangsaan modern, di mana basis keanggotaannya ditentukan bukan oleh agama seperti pada masa pra modern, melainkan nasionalitas. Dan prinsip kesetaraan warga negara yang terangkum dalam konsep citizenship adalah pilar utama kebangsaan kita.

Prinsip kesetaraan pemeluk agama apa pun sebagai warga negara adalah ide politik modern yang tak dikenal dalam tatanan politik Islam klasik. Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, minoritas non-Muslim yang tinggal di kawasan negara Islam atau khilafah disebut “kafir dzimmi” atau “ahludz dzimmah,” kafir yang dilindungi dan mendapatkan proteksi politik, dengan kewajiban membayar jizyah (poll tax). Ini untuk membedakannya dengan kafir harbi, kafir yang perlu diperangi.

Namun karena statusnya sebagai dzimmi, minoritas non-Muslim tersebut tak bisa mendapatkan hak yang setara. Betul bahwa mereka hidup secara aman, namun mereka tidak dibolehkan menduduki jabatan politik strategis seperti panglima perang atau kepala negara. Mereka boleh menjalankan ajaran agamanya, tapi sangat dibatasi dalam hal pendirian rumah ibadah atau syiar agama mereka. Dan banyak lagi contoh yang lain.

Singkatnya, status dzimmi pada dasarnya diskriminatif karena menempatkan mereka sebagai warga kelas dua. Ini karena hak yang mereka nikmati di kawasan negara Islam saat itu semata-mata karena pemberian dari penguasa yang bisa ditarik kembali kapan saja.
Situasinya berbeda secara diametral dengan prinsip citizenship dalam sistem nation-state. Prinsip ini mengasumsikan, negara bukanlah entitas yang mendahului warga negara, melainkan justru sebaliknya, karena hak dan kebebasan tersebut melekat dalam diri mereka sebagai manusia.

Negara lahir karena adanya kontrak sosial antar warga demi melindungi hak dan kebebasan mereka. Dan karena tiap warga ikut bersama-sama dalam perjanjian dan kesepakatan mendirikan negara, mereka setara haknya, lepas dari apakah ia pemeluk agama minoritas atau mayoritas. Termasuk hak untuk dipilih menjadi pemimpin.

Karakter diskriminatif dari sistem dzimmi ini sebenarnya sudah dikritik sejumlah pemikir Islam di Timur Tengah maupun dalam negeri. Pemikir Islam Mesir Fahmi Huwaydi, misalnya, menyarankan dalam bukunya Muwathinun La Dzimmiyyun agar konsep dzimmi ditinggalkan sama sekali. Menurutnya, konsep dzimmi merupakan hasil formulasi ulama pra-modern dalam merespons konteks geopolitik pada zamannya yang masih terkungkung dalam dikotomi darul Islam versus darul harb.

Lagi pula, menurut Huwaydi, konsep dzimmi bukanlah diciptakan oleh Islam, melainkan sudah ada dalam tradisi Arab pra-Islam. Sistem jizyah juga berasal dari imperium Persia yang kemudian diadopsi oleh para penguasa Islam.

Dengan ini Huwaydi hendak menegaskan bahwa dalam hukum Islam, ada aturan-aturan yang tetap dan ada yang berubah-ubah. Yang tetap adalah nilai-nilai universal seperti kesetaraan manusia dan keadilan. Yang berubah adalah pelembagaan nilai-nilai itu sesuai tuntutan zaman. Karena saat ini negara-negara Muslim telah mengadopsi sistem nation-state, istilah kafir dzimmi beserta aturan-aturan tentangnya dengan sendirinya tak berlaku lagi bersamaan dengan hilangnya sistem kekhalifahan. Bahkan kekhalifahan Turki Utsmani saja pada 1876 telah menghapus istilah dzimmi dan menggantinya menjadi muwathin (warga negara).

Pandangan Huwaydi di atas sejalan dengan ide kontekstualisasi hukum Islam seperti dirumuskan KH Sahal Mahfudz dalam “fikih sosial.” Menurut ulama senior NU tersebut, kontekstualisasi fikih harus bersandar pada prinsip kemaslahatan. Dalam ranah sosial-politik masa kini, prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai terciptanya keadilan sosial dalam kerangka demokrasi. Ini berarti, diktum-diktum fikih politik (fiqh al-siyasah) klasik yang bertentangan dengan demokrasi seperti konsep dzimmi yang menempatkan kalangan non-Muslim sebagai warga negara kelas dua menjadi tidak relevan lagi.

Non-Muslim Sebagai Saudara

Ulama besar NU KH Achmad Siddiq pernah mencetuskan ide tentang trilogi persaudaraan (ukhuwah): persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukuhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Ini adalah seruan agar umat Islam tak membatasi komitmen persaudaraannya pada sesama Muslim saja, tapi mencakup juga warga Indonesia yang non-Muslim, karena sama-sama satu bangsa dan juga satu umat manusia. Dengan demikian, warga non-Muslim adalah saudara bagi yang Muslim, dan sebaliknya.

Konsepsi KH Achmad Siddiq tentang ukhuwah yang bersifat inklusif ini tak lepas dari pandangannya tentang Pancasila sebagai kalimatun sawa’ (common platform), yakni titik temu yang menyatukan keragaman agama, etnis, ras, dan budaya dalam proyek keindonesiaan untuk mewujudkan cita-cita bersama yang luhur, seperti melindungi segenap bangsa dan tanah air, mewujudkan keadilan sosial dan lain-lain. NKRI dibangun atas dasar perjanjian dan kesepakatan di antara segenap rakyat Indonesia yang melibatkan kalangan Muslim dan non-Muslim.

Bagi umat Islam, komitmen terhadap Negara Pancasila dapat dimaknai sebagai manifestasi pengamalan ajaran agamanya untuk menepati perjanjian dan kesepakatan. Dan perjanjian dengan orang non-Muslim itu sama mengikatnya dengan yang Muslim. Karena sama-sama terikat dalam Negara Perjanjian dan Negara Kesepakatan (darul ‘ahdi) itulah, maka umat Islam Indonesia bisa memposisikan warga non-Muslim sebagai saudara.

Memposisikan non-Muslim sebagai satu saudara dalam kemanusiaan bisa kita temukan rujukannya dalam kutipan terkenal ‘Ali bin Abu Thalib: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.” Sedangkan menempatkan mereka sebagai saudara sebangsa mungkin bisa mengacu pada Piagam Madinah, perjanjian yang dilakukan Nabi dan umat Islam dengan kaum Nasrani, Yahudi, dan Majusi Madinah untuk mempertahankan kota mereka dari agresi kaum kafir Quraisy.

Dalam salah satu klausul Piagam Madinah disebutkan, “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum Muslim. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.” Menarik bahwa Nabi menyebut kabilah Yahudi yang turut dalam Piagam Madinah sebagai “satu umat dengan kaum muslim.” Dengan begitu, Piagam Madinah menjadi titik temu yang menyatukan kaum Muslim dan Yahudi Madinah dalam persaudaraan keumatan, sebagaimana Pancasila menjadi titik temu yang menyatukan warga Muslim dan non-Muslim dalam persaudaraan kebangsaan.

Persauadaraan kebangsaan antara Muslim dan non-Muslim dengan sendirinya tak memberi ruang bagi penyebutan “kafir” terhadap sesama anak bangsa yang tak seagama. Pengkafiran semacam ini membawa konotasi bahwa warga non-Muslim adalah orang luar, the other, liyan yang layak untuk diwaspadai dan diperlakukan secara beda, atau bahkan “musuh” yang perlu dibenci dan dimusuhi.

Padahal NKRI tidak dirancang untuk memperlakukan non-Muslim sebagai kafir dzimmi, apalagi kafir harbi, melainkan warga negara yang setara. Baik yang Muslim maupun yang non-Muslim sama-sama menjadi pemilik yang sah republik kita, republik yang dalam Bahasa Sukarno disebut sebagai “negara semua untuk semua,” di mana egoisme agama mendapat tempat. Karena itulah, dalam NKRI tak boleh ada sebutan “kafir.”

Catatan penting pertemuan tokoh NU se-madura dengan KH. Maruf Amin


*Oleh : Abd. Hayyi, M.Pd. (Sekretaris LP Maarif NU Sampang)*

Assalamu’alaikum Warahmatuulahi Wabarakatuh.
Pertemuan tokoh NU se-Madura dengan KH. Ma’ruf Amin pada tanggal 9 Februari 2017 pukul 19.30 sampai sekitar pukul 22.00 WIB menjadi pertemuan yang sangat penting. Pada pertemuan itu membahas persoalan-persoalan yang hangat yang sedang dihadapi umat Islam akhir-akhir ini. Dalam pertemuan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh NU se-Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep). Saya sebagai Notulen yang ditunjuk KH. Abd. Muhaimin Abd. Bari, Ketua Tanfidziyah PCNU Sampang, berkewajiban untuk melaporkan hasil pertemuan tersebut. Para tokoh mempertanyakan banyak hal, antara lain: tentang isu PKI, Ahok, Batasan Tasamuh dan Tawasuth NU, Sampai kapan warga NU harus bersabar dengan kondisi seperti ini. Pertanyaan dari anggota forum menggebu-gebu, seperti meluapkan sesuatu yang sudah lama ditahan-tahan. Sementara Hadratus Syaikh KH. Ma’ruf Amin menjelaskan dengan tenang dan bijak. Berikut penjelasan KH. Ma’ruf Amin:

*Isu PKI*
Tentang isu PKI memang akhir-akhir ini terjadi agak santer, apalagi dengan lambang-lambang PKI yang ditemukan. Tetapi sebetulnya itu belum clear apakah memang dibuat oleh kelompok komunis atau orang yang mengaku-ngaku PKI.   Tapi yang terang itu dulu sudah ada usaha dari kelompok-kelompok tertentu agar PKI dianggap sebagai korban dan ada yang menginginkan supaya semacam ada putusan tentang adanya rekonsiliasi dengan PKI dan supaya pemerintah meminta maaf kepada PKI. Waktu saya menjadi wantimpres, ada salah seorang anggota Wantimpres waktu SBY menjadi presiden supaya SBY minta maaf kepada PKI. Anggota Wantimpres 9 orang, waktu itu yang 8 menolak. Semua tidak merekomendasikan presiden meminta maaf. Kalau presiden minta maaf, berarti negara salah, dan PKI benar. Kalau negara salah, berarti yang menumpas PKI itu semua salah. Akhirnya tidak jadi itu. Belakangan timbul lagi pada zaman Jokowi. Ada isu bahwa Bapak Jokowi dalam drafnya pidatonya pada 17 Agustus tahun lalu itu akan menyampaikan permintaan maaf kepada PKI. Tapi saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak, saya tidak lihat. Pada seminar yang diselenggarakan oleh Lemhanas ada perbincangan yang mengarah pada semacam rekonsiliasi, tuntutan bahwa PKI itu adalah korban dan ini mendapatkan reaksi keras terutama dari kalangan kita. Belakangan ada isu bahwa PKI itu mulai timbul dan ini belum ada kepastian dari pemerintah. Pemerintah belum memberi penjelasan. Tapi kelompok Purnawirawan, istilahnya kelompok bela negara menolak keras. Kalau rekonsiliasi yang tidak formal sudah terjadi. Mereka itu ada yang menjadi ini, menjadi itu, ada yang menjadi DPR. Yang ditolak adalah rekonsiliasi yang mengatakan bahwa PKI itu bukan pelaku pemberontakan, tetapi adalah korban. Jadi ada usaha-usaha keras, dibantu atas nama hak asasi manusia supaya Bapak Jokowi minta maaf kepada kelompok-kelompok PKI. Yang menjadi pertanyaan adalah timbulnya gambar-gambar PKI. Nah, ini masih belum clear. Di dalam hal NKRI tentara dan polisi itu sebetulnya satu bagian. Semua berada dalam garis depan untuk membela NKRI. Tetapi di internal masing-masing mungkin saja terjadi adanya kecemburuan. Hal itu boleh saja terjadi semacam ada rivalitas. Tetapi menurut saya tidak sampai ada pergeseran kekuasaan, semuanya tetap berdiri untuk membela NKRI dan pemerintahan yang sah. Kalau masalah PKI kita menolak untuk dilakukan rehabilitasi. Sebab bagi kita PKI itu bagian daripada pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, dan juga malah dulu membunuh kyai-kyai. Mereka penghianat terhadap NKRI, terhadap pemerintahan yang sah. NU punya komitmen bahwa kita tidak akan mentolelir adanya perubahan kekuasaan secara tidak konstitusional. Ini hal yang menjadi komitmen Nahdlatul Ulama. Apalagi terhadap negara dan Pancasila, terhadap sistem pemerintahan, karena sudah ditetapkan secara konstitusional, dan kita menyepakati. Tujuan kita itu adalah perbaikan. Apa-apa yang kurang baik kita perbaiki.

*Tentang Tasamuh dan Tawasuth*
Cara berpikir kita, bahwa fikrah nahdliyah itu adalah fikrah tathowwuriyah. Artinya tidak berpikir tekstual. Tetapi juga tidak liberal. Liberal itu memberikan penafsiran terlalu jauh tanpa batas tanpa pedoman yang shohih. Tawassuth itu dinamis, tidak statis. Karena itu para ulama kita mengenal apa yang disebut dengan perubahan-perubahan apabila yang lama itu tidak relevan dengan memeriksa relevansinya. Jadi ulama-ulama kita itu tidak statis. Makanya kita mengistilahkan bahwa Nahdlatul Ulama itu dalam takwil fikra an-nahdliyah mendinamisasi cara berfikir NU supaya tidak statis, tetapi ketika pemikiran itu menjadi liberal, kebablasan maka kemudian pada tahun 2006 kita menekankan cara berpikir NU walaupun dinamis tetapi manhaji, bermanhaj, tidak boleh keluar dari Manhaj. Tidak boleh keluar dari salah satu madzhab empat.

Tasamuh, kita toleran di dalam kita bergabung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena kita memposisikan bahwa Indonesia ini adalah negara kesepakatan, bukan Darul Harbi bukan juga Darul Islam, karena ada kesepakatan antara muslim dan nonmuslim. Kita sepakat mendirikan negara ini menjadi negara kebangsaan yang di dalamnya agama tetap hidup, agama dijamin berjalan dengan baik. Karena itu maka kemudian kita hidup berdampingan secara damai. Di sini kita memberikan toleransi, tetapi tentu sepanjang dia tidak mengganggu kita, tidak merusak kita. Kalau tidak merusak kita, tentu kita akan pertahankan. Sekarang ini ada upaya-upaya dari kelompok-kelompok sekuler yang mencoba mengecilkan peran agama, sehingga seakan-akan agama itu jangan mempengaruhi Negara. Di dalam diskusi di Mabes Polri yang saya hadiri sebagai Ketua Majelis Ulama di situ tentang peran atau fatwa Majelis Ulama itu apakah fatwa itu berhukum positif atau bukan. Ini menjadi diskusi yang hangat. Kalau dilihat dari segi syar’i, fatwa itu ilzam. Secara Syariah mengikat umat Islam. Apalagi dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas kekuasaan yang memang dipercaya. Majelis Ulama selalu diminta oleh pemerintah untuk memberikan fatwanya dalam banyak hal. Oleh karena itu saya katakan bahwa fatwa Majelis Ulama Indonesia itu ada yang dikeluarkan atas perintah undang-undang. Contohnya tentang ekonomi syariah, itu ditetapkan bahwa kesesuaian syariahnya ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Hal itu mengikat bukan hanya secara syar’i tetapi secara juga secara tanfidzi, artinya langsung dieksekusi. Ketika itu diformalkan maka kemudian fatwa Majelis Ulama itu menjadi hukum positif. Begitu juga tentang produk halal. Di dalam undang-undang disebut bahwa yang menyatakan kehalalan sebuah produk adalah Majelis Ulama Indonesia. Itu mengikat, istilahnya ilzam. Begitu juga ketika Kementerian Agama atau kementerian kesehatan meminta fatwanya kepada Majelis Ulama, maka fatwanya itu ditindaklanjuti dengan surat keputusan Menteri, maka dia menjadi hukum positif. Ketika didiskusikan, ada 1 kelompok HAM, dia bilang Majelis Ulama tidak salah yang salah itu Negara. Kenapa menjadikan fatwa Majelis Ulama menjadi hukum positif. Sepertinya dia menghalangi fatwa MUI bisa menjadi aturan Negara. Ini saya kira kelompok sekuler yang memang berusaha untuk menghilangkan yang mereka sebut Perda Syariah. Perda Syariah itu ramai sekali, walaupun sebetulnya perda itu tidak ada. Perda itu hanya sama dengan ketentuan Syariah. Misalnya antiperjudian, antipelacuran, antimiras. Kalau di Aceh itu kalau mau menjadi Bupati itu diuji dulu dia bisa baca Qur’an atau tidak. Tapi itu hanya di Aceh. Nah itu dipersoalkan. Menurut mereka tidak sesuai dengan Pancasila. Tetapi cara-cara perjuangan Nahdlatul Ulama di dalam rangka memperjuangkan berlakunya syariat Islam melalui cara-cara yang konstitusional, cara-cara yang demokratis. Ya kita perjuangkan saja kalau bisa secara formal. Kalau tidak bisa formal ya substansinya saja yang penting tidak bertabrakan dengan syariah. Saya menyebutnya Bagaimana Syariah itu bisa diserap baik tekstual maupun formal. Seperti undang-undang haji, undang-undang zakat, undang-undang perbankan syariah, itukan formal. Tetapi caranya tetap konstitusional dan demokratis, tidak memaksa, tidak melakukan tekanan-tekanan sehingga masalahnya menjadi gaduh dan menimbulkan konflik. Jadi tasamuh di situ kita mentolerir adanya perbedaan pendapat agar hidup berdampingan secara damai tanpa merusak tatanan agama masing-masing. Ada kelompok yang sangat menghalang-halangi untuk formalisasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan negara ini secara politis sudah selesai. UUD 45, Pancasila, NKRI itu secara formal sudah selesai. Tetapi dalam tataran implementasi, pelaksanaannya masih terjadi benturan-benturan di dalam masalah perpaduan ajaran agama Islam di Indonesia, dan juga dalam rangka melindungi kemurnian ajaran Islam dari berbagai penondaan. Seperti Ahmadiyah itu ‘kan menodai. Ada kelompok-kelompok mengatakan itu perbedaan pendapat. Saya mengatakan bukan perbedaan pendapat, tapi penyimpangan. Kalau perbedaan pendapat itu ditoleransi, tetapi kalau penyimpangan diamputasi. Tetapi ini belum utuh. Masih ada yang memposisikan itu bagian dari perbedaan pendapat dan merupakan bagian dari hak asasi. Oleh karena itu sering terjadi benturan-benturan di dalam berpikir kita. Ketika Gafatar Minta pendapat pada Majelis Ulama, langsung dieksekusi. Tetapi ketika Banyak pihak meminta pendapat tentang Ahok kepada Majelis Ulama dipersoalkan.

Di dalam kita berjuang memang kita kita tidak boleh hilang kesabaran. Nabi sendiri mengalami tantangan yang begitu berat. Kita sebenarnya sih belum begitu berat. Artinya masih dalam konstitusional atau wajar. Jadi komitmen kebangsaan NU itu dari sejak dulu, dari sejak Merdeka kita pegang saja, sekarang kita mengisinya. Kalau dulu itu mempersoalkan undang-undang dasarnya, sekarang kita mempersoalkan isi daripada negaranya. Itulah perjuangan kita. Berlakunya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah Wal Jamaah di masyarakat. Supaya ini bisa berlaku di masyarakat, ada undang-undang yang mengawalnya. Kemudian kita membuat sosialisasi kepada masyarakat, dakwah kepada masyarakat. Ini perjuangan berat. Oleh karena itu kita itu harus punya ulama, kemudian punya ahli-ahli (mufakkirin/mutahassisin), kemudian kita harus punya “mulobbiyin” (tukang lobi). Jadi kita mengkonsolidasi partai-partai Islam supaya bisa memperjuangkan atau orang-orang Islam yang di luar partai Islam untuk menjadi tukang lobi. Perjuangan kita ini rumit dan unik, bukan berhadap-hadapan.

Oleh karena itu kita melakukan lobi-lobi secara intensif di dalam memperjuangkan apa yang kita inginkan. Jadi organisasi NU harus kuat sampai ranting. Kemudian standarnya akan kita standarisasi. Kepengurusan itu harus begini, minimal begitu. Pengurus itu akan kita minta kemampuan leadership, kemudian dia harus bersertifikat Madrasah kader. Kalau syuriah ya memang harus syuriah atau kiai. Jadi jangan sampai orang NU jadi pengurus NU tidak tahu NU. Sekarang ini ada pahamnya Ahlussunnah Wal Jamaah sama, NU kultural. Tetapi dia belum menjadi anggota NU, cara berpikirnya juga belum NU, tapi Amaliahnya, Amaliah an-nahdliyah itu dikatakan NU kosong satu. Yang kedua, amaliyahnya NU, cara berpikirnya NU tapi belum menjadi anggota NU, itu namanya NU kosong dua. Tapi kalau sudah menjadi anggota NU, punya Kartanu maka itu disebut NU kosong tiga. Itu artinya sudah NU betulan. Karena itu kita memang harus mengajak ulama-ulama NU kultural. Kyai Jangan hanya tinggal di pesantren saja, keluar bersama-sama kita memperjuangkan dalam menjaga umat, dalam rangka himayatul Ummah.

*Ada isu revolusi jika Ahok menang. Bagaimana kalau Ahok menang?*
Ahok menang atau kalah saya tidak tahu. Itu masih di lauhul mahfudz. Harapan kita ya jangan menang. Kalau kalah ya nggak ada masalah. Andaikata dia menang, ada juga yang mengisukan revolusi. Menurut saya kita ini warga negara yang baik. Artinya kita siap menang siap kalah. Menang kita terima, kalah kita terima. Artinya kalau sampai kalah berarti kita belum mampu meyakinkan umat. Jadi yang salah kita para ulama, kok kalah. Jangan kita melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan dan menimbulkan kegaduhan, kecuali ada tanda bahwa menangnya itu tidak fair, ada kecurangan, ketidakjujuran. Tetapi kalau semuanya beres memang kalah, ya kita harus bisa menerima kekalahan meskipun buat kita berat sekali. Kalah di daerah mayoritas itu luar biasa. Makanya kita membangun kembali hamazah nahdliyah, hamazah Islamiyah, semangat keislaman. Tetapi kalau masih sampai kalah juga wallahu a’lam bissawab. Kita akan terus evaluasi Bagaimana seperti itu. Di Kalimantan Tengah yang dulunya itu gubernurnya nonmuslim sekarang sudah ganti muslim, Alhamdulillah. Umat Islamnya kompak karena mayoritas. Yang belum itu di Kalimantan Barat, gubernurnya masih Kristen dan wakil gubernurnya Cina Kristen.

Oleh karena itu tidak boleh hilang kesabaran. Jadi kalau pun nanti Ahok menang dan kita tidak menemukan adanya kecurangan, ya kita terima dengan kesedihan. Kita terpaksa harus menerima itu. Sebab bicara konstitusi memang begitu. Di negara demokrasi itu memang begitu. Demo itu bisa saja untuk menyampaikan pendapat, tetapi tidak akan berhasil merubah keadaan. Kalau sekarang demo bisa menekan putusan-putusan, bukan tidak manfaat ada manfaat. Tapi kalau sudah keputusan final, tidak bisa. Kalau revolusi resikonya tinggi sekali dalam kehidupan yang demokratis ini. Hal itu bukan cara-cara NU untuk mengubah dengan cara revolusi. Jadi cara NU itu dengan cara-cara yang memberikan perubahan-perubahan, perbaikan-perbaikan. Memang itu yang diwariskan kepada kita. Wali Songo itu mengubah Jawa menjadi mayoritas muslim. Ini luar biasa. Oleh karena itu kita harus meniru cara-cara Wali Songo melakukan islamisasi. Sebenarnya kalau di Madura ini, muslimnya kan 99%. Kita tinggal meningkatkan kualitas saja. Di luar Madura, apalagi Jakarta itu masih keras perjuangannya. Nah ini tugas Nahdlatul Ulama. Mudah-mudahan kita bisa menjalankan tugas dengan baik. Kesabaran itu tidak ada batasnya tidak boleh hilang. Kesabaran itu ada nash-nya watawa saubil Haq, watawa saubish shabr.

*Tentang Persidangan*
Kenapa saya kuat, karena saya merasa seperti saya ngobrol saja. Seperti saya mengaji. Artinya ya saya siap. Itu pertanyaan yang tidak terlalu berat, artinya pertanyaan biasa-biasa. Itu saya anggap sebagai diskusi, berpendapat. Alhamdulillah saya orangnya tidak emosian. Yang suka pusing itu kalau cepat emosian. Karena saya tidak emosi, biasa-biasa saja, semuanya berjalan dengan baik. Mengalir saja. Kalau Masih ditambah 3 jam itu saya masih kuat.

*NU Satu komando*
Memang kemarin ini kadang-kadang masih belum 1 komando. Nahdlatul Ulama Harus satu komando di bawah komando Rais Aam, mengacu pada tongkat yang diserahkan Syaikhona Kholil kepada Syekh Hasyim Asy'ari yang dibawa oleh Kyai As'ad Samsul Arifin, inilah inspirasi kita untuk membangun 1 komando. Sekarang sudah satu komando. Setelah saya di pengadilan, maka ketua umum mengatakan bahwa Ahok rugi sendiri. Karena Ahok sudah menyakiti ulama, maka warga NU tidak akan memilih Ahok. Nah itu sudah 1 komando. Alhamdulillah. Karena saya disidang, sebelumnya masih sendiri-sendiri. Memang ada yang belum clear. Tentang dukung mendukung ini masih dianggap melanggar khittoh. Jadi tidak bisa langsung terang-terangan. Kalau bahasa saya itu, yang akan dipilih oleh warga NU itu calon yang paling banyak samanya dengan warga NU. Setuju kan? Begitu itu sudah dianggap mendukung dan dianggap salah. Yang paling banyak samanya misalnya sama agamanya, sama madzhabnya sama santunnya, itu sudah diprotes.

*Tentang Kurikulum*
Tentang kurikulum itu tolong dilaporkan ya! Jadi dengan kurikulum 2013 itu kerugian kita apa? Supaya diperjuangkan oleh PBNU. PBNU ‘kan menolak full day karena anak nanti yang biasa sekolah madrasah akhirnya hilang. Oleh karena itu PBNU keberatan sistem full day. Yang biasanya setelah SD, anak sekolah madrasah jadi kehilangan pelajaran agama. Nanti kita usulkan melalui anggota kita yang ada di semacam forum pendidikan untuk menyampaikan usulan. Tapi harus detail dulu usulannya.

*Meningkatkan Nilai Tawar NU*
NU supaya memiliki nilai tawar, pertama kita harus punya sikap dan kita sedang merintis agar NU membuat platform tentang bagaimana kita memperjuangkan posisi kita sebagai umat mayoritas. Akan kita sampaikan kepada Presiden, ini lho keinginan kita sebagai umat mayoritas. Kita akan membuat konsep supaya yang saya bilang tadi, jangan umat Islam Itu dikasih baju yang kecil. Badannya XL tapi dikasih baju Ukuran S. Ya tidak cukup. Sekarang ini kita belum memperoleh hak kita secara proporsional, secara tepat, sesuai dengan kebesaran kita. Indonesia ini ‘kan
mayoritas muslim, muslim mayoritasnya NU. Jadi NU adalah mayoritas dari mayoritas. Hak-hak mayoritas belum diberikan. Jadi kita akan coba melakukan semacam langkah-langkah perjuangan yang hasilnya mudah-mudahan bisa menaikkan nilai tawar.