YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Jumat, 25 September 2020

Anak kecil di Masjid

๐Ÿ˜ขHILANGNYA MALAIKAT MASJID๐Ÿ˜ข

...
Pengusiran anak-anak di masjid menjadi pemandangan biasa di Indonesia, Mata-mata tajam dan kata-kata kasar kadang keluar dari penjaga masjid.
...
Jika anak-anak berlari ... riang ... tawa...di masjid itu lah ciri khas anak-anak...tetapi kalau yang berlari dan tertawa itu orangtua baru layak di usir...
Mereka sebenarnya "malaikat" yang sedang bergembira di rumah Robb-Nya...Bahkan Hasan dan Husein pernah menaiki tubuh Rasulullah saat mengimami sholat para sahabat...
...
Rasulullah sujud begitu lama....Hingga ada sahabat yg bertanya "mengapa lama sekali sujudmu ya Rasulullah" ...Rasul menjawab "Tadi Hasan dan Husein naik di tubuhku, aku khawatir kalau aku bangkit mereka terjatuh, ku biarkan mereka puas bermain".
...
Dalam riawayat yg lain Rasulullah mempercepat sholatnya karena ada tangis anak kecil yang memanggil ibunya yg sedang ikut berjama'ah bersama Rasulullah...Itulah mesjid Nabi yang tak sepi dari anak-anak kecil...Lalu mesjid apa yang anti dengan anak-anak kecil ?
...
Muhammad Al fatih pernah berkata : "Jika kalian tidak lagi mendengar riang tawa dan gelak bahagia anak-anak di masjid-masjid. Waspadalah. Saat itu kalian dalam bahaya."

Selasa, 22 September 2020

Jawaban Al Quran atas masalah kita

TERJAWAB SUDAH UJIAN KITA SAAT INI

"YA ALLAH APAKAH GERANGAN YANG SEDANG MENIMPA KAMI SAAT INI?"

ALLAH SWT berfirman:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan" (QS. Al-Baqarah: 155).

"MENGAPA KAMI HARUS DIUJI DENGAN WABAH SEPERTI INI?"

ALLAH SWT berfirman:
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. Al-Ankabut: 2).

"UNTUK APA SESUNGGUHNYA UJIAN INI, YA ALLAH?"

ALLAH SWT berfirman: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah; barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya"
(QS. At-Taghabun: 11).

"NAMUN, MENGAPA HARUS TERJADI PADA KAMI?"
ALLAH SWT berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabut: 3).

"DARIMANA DATANGNYA MUSIBAH INI, YA ALLAH?"

ALLAH SWT berfirman: “Dari mana datangnya ini?” Katakanlah: “Itu dari dirimu sendiri” (QS. Ali Imran: 165).

"TAPI YA ALLAH, WABAH INI SUNGGUH BURUK BAGI KAMI."

ALLAH SWT berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 216).

"TELAH SESAK NAFAS KAMI, BERAT HIDUP KAMI GARA-GARA WABAH INI"

ALLAH SWT berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).

"KAMI TIDAK BISA BEKERJA YA ALLAH, KAMI DIKURUNG DI RUMAH SAJA, KAMI TIDAK BISA BERBUAT APA-APA."

ALLAH SWT berfirman: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali 'Imran: 139).

"TERKADANG, WABAH INI MEMBERIKAN TEKANAN YANG DEMIKIAN DAHSYAT KEPADA KAMI. RASANYA KAMI TELAH MENYERAH KALAH. SEBAGIAN DARI KAMI BAHKAN TELAH BERPUTUS ASA"

ALLAH SWT berfirman: “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).

ALLAH SWT berfirman: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat" (QS. Al-Hijr: 56).

"KAMI MENJADI GELISAH, TIDAK TENANG, KARENA BEBAN BERAT YANG KAMI HADAPI AKIBAT WABAH INI"

ALLAH SWT berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du: 28).

DI SAAT SEMPIT SEPERTI INI, MASIH ADAKAH JALAN KELUAR BAGI KAMI? MASIH ADAKAH PINTU REJEKI UNTUK MENYAMBUNG HIDUP KAMI YA ALLAH?"

ALLAH SWT berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya" (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya" (QS. Ath-Thalaq: 4).

"TAPI, PERUSAHAAN SUDAH MEMOTONG GAJI KAMI. BAHKAN SEBAGIAN DARI KAMI, SUDAH TIDAK MEMILIKI PEKERJAAN LAGI. SIAPA, YANG AKAN MEMBERIKAN REJEKI KEPADA KAMI?"

ALLAH SWT berfirman: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya" (QS. Hud: 6).

"SUDAH BEBERAPA BULAN KAMI MENJALANI KEBIJAKAN STAY AT HOME. RASANYA SUDAH TIDAK KUAT UNTUK TERUS MENERUS DI KURUNG DI DALAM RUMAH LELAH YA ALLAH SUNGGUH KAMI TIDAK TAHU SAMPAI KAPAN SUASANA INI"

ALLAH SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” (QS. Ali Imran: 200).

"MENGAPA ENGKAU MENYURUH KAMI UNTUK BERSABAR?"

ALLAH SWT berfirman: “Allah mencintai orang-orang yang sabar” (QS. Ali 'Imran: 146).

"ADAKAH BALASAN ATAS KESABARAN KAMI YA ALLAH?"

ALLAH SWT berfirman:
“Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan" (QS. An-Nahl: 96).

"ALHAMDULILLAH. SEBERAPA BANYAKKAH PAHALA YANG AKAN ENGKAU BERIKAN KAMI?"

ALLAH SWT berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas" (QS. Az-Zumar: 10).

MASYAA ALLAH. LALU BAGAIMANA NASIB KAMI KELAK DI AKHIRAT YA ALLAH?"

ALLAH SWT berfirman: “Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (surga), (sambil mengucapkan) ‘Selamat untuk kalian atas kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu" (QS. Ar-Ra’du: 23-24).

ALHAMDULILLAH, SEKARANG KAMI TENANG YA ALLAH, KAMI RIDHA DENGAN KETENTUAN-MU, KAMI BERSABAR DENGAN DENGAN UJIAN-MU"

ALLAH SWT berfirman: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya" (QS. Al-Bayyinah: 8).

ALLAH SWT berfirman: “Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar" (QS. At-Taubah: 72).

# copas

Rabu, 16 September 2020

Obat Covid 19

Tolong bantu dikasih tahu ke saudara² kita yg kena covid 19..
Ini obat pemberian dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala yg mudah didapat yg sangat manjur..

๐Ÿฅฅ 1 biji air kelapa muda 
๐Ÿˆ 1 biji jeruk nipis diperas
 ๐Ÿฅ„1 sendok makan garam
๐Ÿฅƒ 2 sendok madu
Semuanya diaduk dan diminum airnya... dijamin 1 jam kemudian virusnya  akan  hilang....
Mudah mudahan semua dalam keadaan sehat walafiat..

Info dari teman yg kakaknya di kota Bau Bau Sulawesi Tenggara.. obat herbal ini sangat manjur.....
Bisa di infokan ke saudara,teman atau keluarga kita terima kasih.....
Indahnya Berbagi๐Ÿ˜Š๐Ÿ˜˜๐Ÿ™๐Ÿ™

Selasa, 15 September 2020

Silaturahmi Panjang Umur

QS Annisa 1

ูˆَุงุชَّู‚ُูˆุง ุงู„ู„َّู‡َ ุงู„َّุฐِูŠ ุชَุณَุงุกَู„ُูˆู†َ ุจِู‡ِ ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุญَุงู…َ

*NDAWAKNO UMUR*

Saat ngaji dalam Lailatul Ijtima Ranting NU Candimulyo edisi 143 di Musala Baiturrohman, Nglundo Utara, Kamis (10/9/2020), Wakil Rois Syuriyah PCNU Jombang, KH Muhammad Soleh menjelaskan pentingnya silaturahmi.
"Kalau ingin rezeki luas dan umur panjang, lakukan silaturahmi," tuturnya mengutip hadist Nabi Muhammad sollallahu alaihi wa sallam.

Kiai Soleh lalu cerita. Zaman Nabi Dawud ada pemuda yang sowan. 

Setelah si pemuda pulang, malaikat Izrail lalu bilang kepada Nabi Dawud. "Umur pemuda itu tidak akan sampai enam hari."

Namun setelah enam hari, satu bulan, bahkan setahun, pemuda itu tetap hidup.

Nabi Dawud lantas tanya Malaikat Izrail. Apakah catatan nya keliru?

Malaikat Izrail pun menjelaskan. Pada saat sowan Nabi Dawud, umur pemuda itu memang tercatat tinggal 6 hari.

 Namun setelah dari Nabi Dawud, pemuda tersebut silaturahmi kepada sanak keluarga dan saudara. Sehingga umurnya oleh Allah diperpanjang 20 tahun.

"Sekarang ini silaturahmi nya ya melalui telepon," kata Kiai Soleh.

Saya jadi ingat cerita Sekdakab Jombang, Pak Jazuli. Selama isolasi Covid-19 di RSUD bersama istri, beliau tetap rajin silaturahmi..

Si istri tiap hari telepon istri pejabat lain yang sama-sama mendampingi suami kena korona. Sama-sama positifnya, suami istri.
Agar si istri benar-benar ngeramut si suami. Karena kebetulan, yang lebih parah pasti si suami.

Pak Sek juga tetap aktif telpon-telponan dengan teman, keluarga maupun saudara.

Alhamdulillah tiga pasang pejabat itu akhirnya sembuh semua. Termasuk pak sekda dan istri.

Saya juga pernah dapat cerita dari tokoh Muhammadiyah Jombang yang alumni Pesantren Tebuireng, almarhum KH Muchid Jaelani.

Beliau cerita; sangat rajin silaturahmi. Sehingga paling awet. Paling panjang umurnya. Diantara saudara-saudaranya. Juga teman-teman sekolahnya. Teman satu angkatannya bahkan ada yang tinggal dua orang. Dia dan satu lagi temannya.

Karena tahu beliau mengelola panti asuhan, saudara maupun teman-teman yang di silaturahimi juga banyak yang memberi bantuan..

Alhasil, benar kedua-duanya. Umur nya panjang. Rezekinya juga luas...

Mugi Allah paring kita saget ngelampahi..

Minggu, 06 September 2020

Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

ุงู„ุณู„ุงู… ุนู„ูŠูƒู… ูˆุฑุญู…ุฉ ุงู„ู„ู‡ ูˆุจุฑูƒุงุชู‡. 

Kelahiran, Nasab dan Masa Kecil Syekh Abil Hasan Asy Syadzily
 
Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidina Asy Syarif Abul Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyat atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily adalah putra dari :

1. Abdullah, bin

2. Abdul Jabbar, bin

3. Tamim, bin

4. Hurmuz, bin

5. Khotim, bin

6. Qushoyyi, bin

7. Yusuf, bin

8. Yusa’, bin

9. Wardi, bin

10. Abu Baththal, bin

11. Ali, bin

12. Ahmad, bin

13. Muhammad, bin

14. ‘Isa, bin

15. Idris al Mutsanna, bin

16. Umar, bin

17. Idris, bin

18. Abdullah, bin

19. Hasan al Mutsanna, bin

20. Sayyidina Hasan, bin

21. Sayyidina Ali bin Abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti

22. Sayyidina wa habibina wa syafi’ina Muhammadin, rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi sallam.

Sejak kecil Beliau biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal sebagai orang yang memiliki akhlaq atau budi pekerti yang amat mulia. Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung makna pengertian yang dalam. Di samping memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, Beliau juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, Beliau mendapat tempaan pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah bimbingan ayah-bunda beliau. Beliau tinggal di desa tempat kelahirannya ini sampai usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai cita-cita luhur Beliau menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah SWT.

Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan yang terletak di tepi pantai Laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di suatu hari Jumat, Beliau pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir ‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada saat itu adalah diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri Beliau yang pada hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan Beliau memiliki budi luhur dan akhlaq mulia.

Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir a.s. tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur’an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Perantauan Mencari Sang Quthub

Tempat pertama yang dituju oleh Beliau adalah kota Mekkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Mekkah, Beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud. Sampai akhirnya pada suatu seat Beliau memperoleh keterangan dari beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang Beliau cari itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari kota Mekkah.

Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu, segeralah Beliau bertanya ke sana-sini tentang seorang Wali Quthub yang Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil Beliau temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.

Memang sepeninggal Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah disamarkan atau tidak dinampakkan dengan jelas. Pada waktu kedatangan Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561 H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan terpaut sekitar 32 tahun). Di kala hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang berkedudukan “Quthbul Ghouts”.

Akhirnya, Beliau mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah yaitu asy Syekh ash Sholih Abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh. Syekh Abul Fatah adalah, yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu. Segeralah Beliau sowan kepada Syekh Abul Fatah dan mengemukakan bahwa Beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan Beliau minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhani Beliau menuju ke hadirat Allah SWT.

Mendengar penuturan beliau, asy Syekh Abul Fatah sembari tersenyum kemudian mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh sampai ke sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Beliau adalah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Beliau, pada saat ini sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang engkau cari di sana!”
Berguru Kepada Sang Quthub

Beberapa saat setelah mendapat penjelasan dari Syekh Abul Fatah al Wasithi, Beliau segera mohon diri sekaligus minta doa restu agar Beliau bisa segera berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di Maroko, Beliau langsung menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana Beliau dilahirkan. Tidak berapa lama kemudian, Beliau segera bertanya-tanya kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya sang Quthub. Hampir setiap orang yang Beliau temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub. Akhirnya setelah cukup lama mencari didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh Abul Fatah tiada lain adalah Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu, sama seperti yang dijelaskan oleh Syekh Abul Fatah al Wasithi al Iraqi, segera saja Beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Setelah melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Beliau segera mendaki gunung itu menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua. Sebelum Beliau melanjutkan perjalanannya untuk naik ke gua itu, Beliau berhenti di sebuah mata air yang terdapat di bawah gua tersebut. Selanjutnya Beliau lalu mandi di pancuran mata air itu. Hal ini Beliau lakukan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang yang memiliki derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin, disamping juga sebagai seorang calon guru Beliau. Begitu setelah selesai mandi, Beliau merasakan betapa seluruh ilmu dan amal Beliau seakan luruh berguguran. Dan seketika itu pula Beliau merasakan kini dirinya telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal. Kemudian, setelah itu Beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri, Beliau mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

Namun, entah datang dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai penutup kepala, orang sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati Beliau seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”. Beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan beliau, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab Beliau disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar itu semua, Beliau menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya Ali, engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah Beliau kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya. “Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang diri¬mu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari Beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Selanjutnya, Beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai waktu yang cukup lama. Beliau banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan nasihat-nasihat yang asy Syekh berikan kepada beliau.

Pada suatu hari dikatakan oleh asy Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’. Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”

Berkata asy Syekh Ibn Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau akan mendapatkan Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu; Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu; Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan meliputi itulah bentuk keadaanNya.”

Di lain waktu guru beliau, rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal adalah empat disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah; ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.

Kemudian disusul pula dengan empat lagi, yakni MENEGAKKAN fardhu-fardhu Allah; MENJAUHI larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti; dan

WARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang melalaikan”.

Asy Syeih juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang bisa menambah keyakinanmu terhadap Allah”.

Asy Syekh Abdus Salam sendiri adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan adalah muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang dimiliki oleh sang murid, terutama tentang Kitabullah dan Sunnah, disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh Abul Hasan.

Tetapi, dari semua yang Beliau terima dari asy Syekh, hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan Beliau di kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut sambung-menyambung tiada putus sampai akhirnya berujung kepada Allah SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya adalah sebagai berikut :

Beliau, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily menerima bai’at thoriqot dari :

1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif Abu Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, Beliau menerima talgin dan bai’at dari

2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari

3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari

4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari

5. Sayyidisy Syekh al Quthub NuruddinAbil HasanAli, dari

6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari

7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari

8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari

9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari

10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari

11. Sayyidisy Syekh Abu Muhammad Said, dari

12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari

13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari

14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari

15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari

16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari

17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari

18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari

19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari

20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.

Setelah menerima ajaran dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari Beliau merasakan semakin terbukanya mata hati beliau. Beliau banyak menemukan rahasia-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah dialaminya. Sejak saat itu pula Beliau semakin merasakan dirinya kian dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini, selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.

Thoriqot ini pula, di kemudian hari, yaitu pada waktu Beliau kelak bermukim di negeri Tunisia dan Mesir, Beliau kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-murid beliau. Oleh karena Beliau adalah orang yang pertama kali mendakwahkan dan mengembangkan ajaran thoriqot ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di mana-mana, maka Beliau pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari saat itu sampai sekarang, yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini. Sebuah thoriqot yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru mursyidnya serta para pengamalnya.

Setelah cukup lama Beliau tinggal bersama asy Syekh, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Pada saat perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan murid tercinta Beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini engkau untuk beriqomah. Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama yang indah, asy Syadzily.”

“Setelah itu,” lanjut asy Syekh, “Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj adikan engkau seorang Quthub.”

Pada waktu akan berpisah, Beliau mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘

Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri kelahirannya itu sampai akhir hayat beliau. Sang Quthub nan agung ini meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam Beliau sampai saat ini ramai diziarahi kaum muslimin yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Di Syadzilah

Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau mulai menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh sang guru, yaitu mencari sebuah desa bernama Syadzilah. Setelah dicari-cari, akhirnya sampailah Beliau di sebuah desa bernama Syadzilah yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada saat Beliau tiba di desa itu, yang mengherankan, Beliau sudah disambut dan dielu-elukan oleh segenap penduduk Sya¬dzilah, sedang Beliau sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan beliau. Tapi, itu sebuah kenya¬taan bahwa mereka dalam memberikan sambutan kepada Beliau tampak sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat dalam, seakan mereka bisa bertemu dengan orang yang sudah lama dinanti-nantikan.

Beliau tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah hanya beberapa hari saja. Karena, sejak tiba di kota itu, Beliau telah memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian masyarakat. Beliau ingin bermukim di tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan Beliau datang ke kota itu, sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih meningkatkan dan menyempurnakan ibadah Beliau dengan cara menjauh dari masyarakat.

Akhirnya, Beliau memilih tempat di luar kota Syadzilah, yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah Beliau ke bukit itu dengan diiringi oleh sahabat Beliau bernama Abu Muhammad Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia adalah seorang pemuda penduduk asli Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya (mukasyafah).

Di bukit itu, Beliau melakukan laiihan-latihan ruhani dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu, Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melakukan riyadhoh, mujahadah dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, Beliau melakukan uzlah dan suluk dengan cara menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk kehidupannya, Beliau bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tumbuhan yang ada di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak Beliau bermukim di bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk meme¬nuhi keperluan beliau.

Pernah, pada suatu hari, Beliau menyaksikan gusi al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan. Segera saja, setelah itu, Beliau mengajak al Habibie turun ke desa Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah tercukupi, maka Beliau berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk meneruskan “perjalanan”. Memang, semenjak beruzlah di bukit itu, kadang-kadang Beliau berdua turun ke desa Syadzilah untuk berbagai keperluan.

Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang bercakap-cakap dengan aku.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri, mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu, rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.

Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang akhirnya bertautan dengan nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa Beliau pada suatu ketika dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT, “Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka, dikatakan kepadaku, “Ya Ali, Aku tidak menamakan engkau dengan nama asy Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk berkhidmat demi untuk¬Ku dan demi cinta kepada-Ku.”

Beliau tinggal di bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, Beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT agar turun dari bukit dan keluar dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.

Diceritakan oleh beliau, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali, turun dan datangilah manusia-manusia, agar mereka memperoleh manfaat dari padamu !’ Lalu, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku dari manusia banyak, karena aku tidak berkemampuan untuk bergaul dengan mereka’. Lalu dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! Aku akan mendampingimu dengan keselamatan dan akan Aku singkirkan engkau dari marabahaya’. Aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang aku pakai ?’ Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan Aku-lah yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘

Setelah selesai menjalani seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka Beliau segera melanjutkan perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota Tunis.
Di Tunis

Bagi beliau, kota Tunis tentu sudah tidak asing lagi. Karena sejak usia anak-anak hingga remaja Beliau bemukim di kota ini sampai bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang Beliau saksikan pada saat kedatangan Beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seperti dulu. Penduduk negeri ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, sejak kedatangannya, Beliau juga masih tetap berusaha untuk meringankan penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha Beliau memberikan pertolongan kepada mereka, Beliau sering didatangi nabiyulloh Khidlir, ‘alaihissalam, guna membantu Beliau sekaligus untuk menyelamatkan Beliau dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena berkat kebesaran jiwa dan kesantunan beliau.

Pada saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang sultan atau raja yang bernama Sultan Abu Zakariyya al Hafsi. Dalam pemerintahan Sultan Abu Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada seorang kadi (hakim agama) yang bernama Ibnul Baro’. Dia adalah seorang faqih, namun di sisi lain dia juga memiliki hati yang buruk. Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro’. Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana cara mempertahankan dan memperkuat pengaruh dan jabatannya.

Asy Syekh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh guru beliau, juga karena memang mendapat perintah untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan Beliau melakukan dakwah di kota Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun mendatangi beliau. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim, sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, Abu Abdullah ash Shobuni, Abu Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, Abu Abdullah al Bajja’i al Khayyath, dan Abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci asy Syekh. Padahal, pada waktu itu Beliau masih berumur sekitar 25 tahun.

Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro’ sebagai sebuah pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. Keberadaan asy Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai kerikil yang mengganggu bagi dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh telinga Ibnul Baro’ lalu menyusup masuk ke relung hatinya yang telah terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.

Demi melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro’. Timbul prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan besar kemungkinan kalau pada akhirnya nanti akan menumbangkan kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu. Oleh karena itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul Baro’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah memaklumkan “perang” melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.

Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada Beliau, tetapi yang namanya intan adalah tetap intan. Beliau adalah seorang kekasih Allah yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akhirnya seluruh negeri mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.

Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan ibadah haji. Beliau lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah Beliau dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke negeri Mesir.

Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas dari rekayasa fitnah Ibnul Baro’ sehingga Sultan mempermasalahkan kehadiran Beliau di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syekh adalah kekasihnya dan dengan kebesaran hati dan kehalusan budi pekerti beliaulah, akhirnya Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh adalah merupakan anugerah Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.

Namun, sebagaimana yang telah direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan saja, sampai datangnya waktu musim haji. Setelah tiba pada saatnya asy Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Ringkas cerita, di sana Beliau mengerjakan ibadah haji sampai secukupnya, lalu Beliau melanjutkan perjalanan ke tanah suci Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya itu selesai, maka kembalilah Beliau beserta rombongan ke negeri Tunisia.

Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan Abu Zakariyya al Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan beliau. Rasa gembira sulit mereka sembunyikan, karena asy Syekh yang mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama mereka lagi. Namun, suasana gembira ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro’. Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan pertanda dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seperti dulu. Dengan berbagai cara dia selalu berusaha agar asy Syekh, yang merupakan musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun, alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.

Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy Syekh lalu melanjutkan tugasnya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang Beliau dirikan juga kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama yang asy Syekh dirikan di Tunisia adalah pads tahun 625 H./1228 M., ketika Beliau berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin banyak orang-orang yang mendatangi beliau, baik penduduk setempat maupun orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.

Di antara murid-murid asy Syekh yang datang dari luar negeri Tunisia; terdapat seorang pemuda yang berasal dari daerah Marsiyah, negeri Marokko, tidak jauh dari daerah tempat kelahiran asy Syekh sendiri, yang bernama Abul Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syekh dengan pemuda ini tampak benar-benar merupakan sebuah pertemuan yang amat istimewa, sampai-sampai pada suatu hari asy Syekh berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke negeri Tunisia, kecuali karena pemuda ini. Dialah yang akan menjadi pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah penggantiku.” Menurut sebuah catatan, pemuda al Marsi (al Mursi) ini ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama, berguru secara langsung kepada asy Syekh Abdus Salam sampai meninggalnya Beliau tahun 622 H./ 1225 M.

Kembalinya asy Syekh ke Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk melanjutkan tugas mengajar dan berdakwah, seperti yang telah diperintahkan pada saat Beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan. Semuanya itu Beliau jalani sambil menanti datangnya “perintah” selanjutnya untuk menapaki seperti apa yang telah dipetakan oleh asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Pada saat pemetaan, guru Beliau itu mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah “dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka Beliau kemudian harus melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.

Dalam hari-hari penantiannya itu, pada suatu malam asy Syekh bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya Ali, sudah saatnya kini engkau meninggalkan negeri ini. Sekarang pergilah engkau ke negeri Mesir.” Kemudian Rosululloh melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai Ali, selama dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin.”

Jadi, apabila dicermati, ketika turunnya asy Syekh dari puncak gunung di padang Barbathoh, Maroko, yang merupakan ‘langkah pertama’, adalah karena atas perintah guru beliau, asy Syekh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu turunnya Beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke dua’, adalah karena perintah Allah SWT. Sedangkan, pada kali ini, keluarnya asy Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’ atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah SAW.
Bermukim di Mesir

Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melakukan perjalanan, tibalah asy Syekh di negeri Mesir. Beliau langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu Beliau singgahi setiap perjalanan haji beliau. Alkisah, pads saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Dan, karena takdir Allah jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh Abul Hajjaj al Aqshory, rodhiyAllahu ‘anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin Mesir, asy Syekh Abul Hasan asy Syadzily diyakini sejak hari itu juga telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy Syekh Abul Hajjaj al Agshory.

Kedatangan Beliau di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar nama beliau. Tidak hanya orang-orang dari kalangan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan shiddiqin, para ahli hadits, ahli fiqih, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan ! ” Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.

Oleh Sultan Mesir, Beliau diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman Beliau itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).

Di tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun bahtera rumah tangga beliau. Dari pernikahan asy Syekh, lahirlah beberapa putra dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syekh Syahabuddin Ahmad, Abul Hasan Ali, Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan ‘Arifatul Khair. Sebagian putra-putri Beliau itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.

Seperti apa yang telah Beliau lakukan selama di Tunisia, di “negeri para Ulama” ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy Syekh menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan thoriqot Beliau pada tahun 642 H./ 1244 M. Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai’at murid-murid beliau. Sedangkan di bagian menara yang lain, Beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” Beliau selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, Beliau juga memiliki aktifitas rutin mengajar.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian Beliau dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian beliau, yang datang dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak sampai berhenti di situ saja. Mereka kemudian juga berbai’at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan diri sebagai murid beliau.

Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti: Sulthonul ‘Ulama Sayyid asy Syekh ‘Izzuddin bin Abdus Salam, asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil ‘led, asy Syekh al Muhadditsiin al Hafidh Abdul ‘Adhim al Mundziri, asy Syekh Ibnush Sholah, asy Syekh Ibnul Haajib, asy Syekh Jamaluddin Ushfur, asy Syekh Nabihuddin bin’Auf, asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya. Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di perguruan “Al Kamilah”.

Selain dakwah dan syiar Beliau melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang Beliau dakwahkan pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan mengambil barokah thoriqot Beliau datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang Beliau dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santri beliau.

Thoriqot yang asy Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, Beliau dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepadaAllah SWT.

Selain itu, thoriqot yang Beliau populerkan ini juga dikenal sebagai thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allah SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.

Di samping kiprah Beliau dalam syiar dan dakwah serta pembinaan ruhani bagi para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan, meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. Beliau bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota Al Manshurah.

Selain syekh Abul Hasan, tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain: al Imam syekh Izzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyyuddin Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah SWT, dengan melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan. Setelahh selesai mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.

Dan, alhamdulillah, karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi beliau, bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu, Rasulullah SAW berpesan kepada Beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangan beliau. Dan kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan pun datang menjelang. Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy Syekh lalu kembali ke Iskandaria.
Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan Asy Syadzily

Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul Qa’dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh keluarga Beliau dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikut beliau. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, asy Syekh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”

Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzaab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir, asy Syekh memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu asy Syekh meminta agar mereka semua berkumpul di tenda asy Syekh.

Setelah para keluarga dan murid Beliau berkumpul, lalu asy Syekh memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiat Beliau kepada mereka. Di antara wasiat yang Beliau sampaikan, asy Syekh mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putra-putramu agar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a’dhom, yaitu nama-nama Allah Yang Maha Agung.”

Kemudian, setelah asy Syekh menyampaikan pesan-pesan Beliau itu, lalu asy Syekh bersama dengan murid terkemuka beliau, asy Syekh Abul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid Beliau masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian Beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abul Abbas al Marsi sebagai penggantiku. Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridho Allah SWT, telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqom yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allah SWT.”

Pada waktu antara maghrib dan ‘isya, Beliau tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu. Kemudian Beliau memanggil asy Syekh Abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, rodliyAllahu ‘anh, salah satu putera beliau, “Hai Muhammad, tempat itu (asy Syekh menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.” Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya me¬mang tidak tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai.

Mengetahui air sumur itu asin, maka putra Beliau itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syekh Syarafuddin menawarkan kepada Beliau air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan. Kemudian asy Syekh mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian.” Selanjutnya oleh putera Beliau itu lalu diambilkan air sumur sebagaimana yang asy Syekh kehen¬daki. Setelah selesai berwudhu, kemudian asy Syekh berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali. Setelah itu Beliau memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan idzin Allah Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik.

Setelah itu kemudian asy Syekh mengerjakan sholat ‘isya lalu diteruskan dengan sholat-sholat sunnat. Tidak berapa lama kemudian asy Syekh lalu berbaring dan menghadapkan wajah Beliau kepada Allah SWT (tawajjuh) seraya berdzikir sehingga, kadang-kadang, mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan sahabat-sahabat beliau. Pada malam itu tiada henti-hentinya asy Syekh memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilaahiy, ilaahiy, ” (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku, ………..). Dan kadang-kadang pula Beliau lanjutkan dengan mengucapkan, “Allahumma mataa yakuunul liqo’ ?” (“Ya Allah, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid asy Syekh dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampingi beliau.

Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah asy Syekh sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa asy Syekh sudah nyenyak tertidur pulas. Asy Syekh Syarafuddin perlahan-lahan mendekati beliau. Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera Beliau itu lalu menggerak-gerakkan tubuh asy Syekh. Sedikit terkejut dan tertegun syekh Syarafuddin mendapatinya, karena asy Syekh al Imam al Quthub, rodhiyallahu ‘anh, ternyata sudah berpulang ke rohmatullah. Inna lillahi wa inna ilaihi roji ‘un. Ketika itu Beliau berusia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah SAW.

Setelah sholat subuh pada pagi hari itu, jasad asy Syekh nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para murid beliau. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama, shiddiqin, dan auliya’ulloh agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta’ziyah dan turut mensholati jenazah beliau, termasuk di antaranya kadinya para kadi negeri Mesir, asy Syekh al Waly Badruddin bin Jamaah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu, selain untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.

Istri Barokah

Istri Barokah
02 September 2020
Oleh : Dahlan Iskan
www.disway.id

”Saya mau melanjutkan ke S-2 di sini,” ujar Saddam Hussein kepada Disway hari Minggu lalu.

”Sudah bisa berbahasa Indonesia?” tanya saya dalam bahasa Inggris.

”Bisa sekali,” jawabnya dalam bahasa Indonesia.

Bahkan, Saddam Hussein bisa berbahasa Jawa. Ia memang sudah hampir 4 tahun di Indonesia. Tepatnya di Pacet, di kaki Gunung Arjuno dan Gunung Penanggungan di luar Kota Mojokerto, Jatim.

 
Saddam mahasiswa dari Afganistan. Bapaknya seorang pegawai negeri di Kabul, ibu kota Afganistan.


Saddam Hussein (kiri) setelah menyelesaikan studi di Institut Pesantren KH Abdul Chalim di Pacet, Mojokerto (7/8).

Saddam termasuk dari 15 mahasiswa dari 9 negara yang kuliah di Institut Pesantren KH Abdul Chalim di Pacet. Selebihnya dari Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Sudan.

Pembina pesantren itu, KH Asep Saifuddin Chalim, memang bercita-cita mendirikan universitas internasional di Pacet. Kalau bisa tahun depan. Lokasi sudah disediakan: di kompleks Pesantren Amanatul Ummah itu.

Selama ini di bidang pendidikan tinggi, Indonesia selalu melihat ke atas pada Mesir (Al Azhar). Ataupun ke Yaman. Padahal, keulamaan Islam di Indonesia tidak kalah. Secara ekonomi Indonesia juga lebih maju.

Kiai Asep memimpikan Indonesia bisa menjadi negara tujuan kuliah. Terutama untuk negara-negara Islam. ”Bagaimana bisa di bidang pendidikan tinggi Indonesia kalah populer dari Yaman,” ujar Kiai Asep di rekaman podcast dengan Disway kemarin.

Rekaman itu begitu panjang. Mungkin harus tayang dua seri. Atau bahkan tiga seri. Baru sekali ini saya mendengar ada kiai yang punya keinginan agar Indonesia menjadi sentral pendidikan bagi bagi negara-negara Islam di dunia.

”Kalau dengan Al Azhar, Kairo, bisa dimaklumi. Al Azhar adalah universitas tertua kedua di dunia. Tapi, bagaimana bisa kita kalah dari Yaman,” katanya.

Maka di Pacet itu nanti, lembaga pendidikannya menjadi lengkap. Yang sekarang sudah ada adalah SMP, SMA, tsanawiyah, aliyah, dan Institut Pesantren KH Abdul Chalim. Tahun ini lengkap pula S-1, S-2, dan S-3. Lalu, international university itu.

Podcast itu panjang karena saya ingin tahu perjalanan Kiai Asep secara lengkap. Terutama bagaimana sosok yang terlihat begitu sederhana punya keinginan yang begitu tinggi. Dan itu bukan sekadar keinginan. Tahapan-tahapannya sudah dia tapaki dengan sukses besar. Termasuk saat melewati jurang yang paling terjal.

Kalaupun Kiai Asep kini bergelar profesor dan doktor, itu bukan karena ia ingin gelar tersebut. Gelar itu ia raih sekadar agar ia bisa memimpin sendiri semua lembaga pendidikan tadi. Ia tidak mau hanya menjadi ketua yayasan. Kurang total. 

Tanpa gelar itu pun, ia mampu mengelola semua itu. Tapi, peraturan yang tidak membolehkan.

Pun waktu mudanya. Tanpa ijazah SMA, Asep sudah bisa menjadi guru bahasa Inggris, matematika, dan biologi di berbagai SMP. Bahkan menjadi guru favorit.

Tapi, suatu saat ada aturan di SMP-SMP tempatnya mengajar. Semua guru harus menyerahkan ijazah SMA. Dan guru Asep memilih mengundurkan diri –tanpa ada yang tahu kalau itu karena ia tidak punya ijazah SMA. 

Asep memang hanya sampai kelas II di SMAN 1 Sidoarjo. Tidak punya biaya lagi untuk menamatkannya. 

Pun ketika lebih muda dari itu. Ketika baru berumur 18 tahun. Setelah putus sekolah itu. Asep diminta mengajar sekolah swasta yang kosong di pelosok Pasuruan. Ia mengajar semua pelajaran, kecuali akhlak. Sekolah itu bisa hemat sekali. Hanya perlu dua guru. Sekolah itu menjadi hidup. Tahun depannya justru mendirikan tsanawiyah, setara SMP.

Ketika mendirikan sekolah sendiri di Surabaya, juga cepat sekali maju. Tapi, Kiai Asep terpeleset. Itulah jurang yang paling terjal baginya. 

Ia membangun gedung-gedung di tanah orang lain. Itu karena tanah tersebut akan diwakafkan. 

Ternyata wakaf itu batal. Sekolah sudah telanjur maju. Gedung-gedung sudah baru. Dan megah-megah. Murid sudah 1.500 orang.

Pemilik tanah ingin sekolah itu menjadi miliknya. Saat Kiai Asep naik haji, sekolah itu dikuasai pemilik tanah. Dipagari. Asep tidak bisa masuk. 

Itu ia rasakan sebagai pukulan yang sangat berat. Tapi, ia bikin sekolah baru di sebelahnya. Maju lagi. Dalam dua tahun gedung-gedungnya sudah mengalahkan sekolah yang di-”rampas” tadi.

Apalagi dengan ekspansinya ke Pacet. Jumlah siswa/mahasiswanya kini sudah 15.000 orang.

Penghargaan demi penghargaan mengalir ke Amanatul Ummah. Mulai sekolah terbaik sampai sistem pendidikan terbaik. Tahun ini 300 orang yang lulus SMA di Amanatul Ummah masuk ke berbagai universitas di dunia (Jerman, Rusia, Tiongkok, dan berbagai negara Timur Tengah).

”Tidak ada SMA lain yang lulusan terbaiknya sampai 300 orang. Semua diterima di ITB, UGM, UI, Unair, ITS, dan universitas besar lainnya,” ujar Kiai Asep. Di podcast Anda akan tahu bagaimana caranya. 

Jadi guru apa pun Kiai Asep pernah. Termasuk jadi guru olahraga. Ilmu ukur. Aljabar.

Maka, inilah kiai besar dengan pikiran yang besar, yang latar belakang pendidikan formalnya bukan sekolah agama: SDN di Cirebon, SMPN Sidoarjo, SMAN Sidoarjo, IKIP Surabaya jurusan bahasa Inggris (untuk sarjana muda), dan IKIP Malang jurusan bahasa Inggris untuk S-1.

Ups... Ia pernah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel, Surabaya. Jurusan bahasa Arab. Sampai sarjana muda. 

Setiap kali mau kuliah, Asep selalu terbentur ijazah. ”Waktu masuk IAIN, saya bikin ijazah sendiri. Saya kan pengasuh aliyah di Buduran, Sidoarjo,” ujarnya. Di ijazah itu semua mata pelajaran ia beri nilai 9. Waktu tes masuk, nilainya tertinggi.

Demikian juga waktu mau masuk IKIP. Sebagai mahasiswa baru semester pertama –setelah ia menamatkan sarjana muda di IAIN– ijazahnya tadi tidak laku. Tapi, saat tes bahasa Inggris, ia nomor satu. 

Kini Kiai Asep punya ”dendam” itu tadi: Pacet menjadi pusat pendidikan dunia untuk negara-negara Islam.

Usianya belum 70 tahun. Masih banyak waktu, insyaallah, untuk mencapainya. Anaknya 9 orang, 3 di antaranya dokter. Istrinya tetap satu. ”Kalau tidak dengan istri saya sekarang ini, mungkin saya tidak bisa begini,” ujarnya.

Sebenarnya Asep ingin beristri orang Jatim. Tapi selalu tidak jodoh. Setiap kali habis lamaran, ada kabar buruk: ditolak. 

Tiga kali berulang seperti itu.

Akhirnya Kiai Asep berdoa dengan sungguh-sungguh. Isinya: mohon diberi istri yang dari keluarga miskin saja, yang tidak berpendidikan tinggi saja, bukan keturunan orang ternama saja, dan tidak usah keturunan orang yang punya jabatan apa-apa. 

Doa itu terkabul. Istrinya itu, wanita Indramayu, dari keluarga miskin dan hanya berpendidikan kelas II SMP. 

Tapi terbukti barokah.(Dahlan Iskan)

Rabu, 02 September 2020

Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak

"Hubungan Silsilah Kempek dan Krapyak: Mengenal Sosok K. Zainuddin Munawwir"

Oleh Irfan Fauzi, Alumni Pondok Pesantren Kempek Tahun 2018

Foto : Kiai Hamdan Zainuddin Putra Kiai Zainuddin Munawwir
Sumber : https://www,kempek-online,com/2020/08/hubungan-silsilah-kempek-dan-krapyak.html

Dikala pengajian kitab Washiyatul Musthafa berlangsung (19/4) yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad yang merupakan cucu dari istri ke-5 KH. M. Munawwir—selanjutnya Mbah Munawwir— yaitu Nyai Khadijah (Yogyakarta), menjelaskan silsilah Mbah Munawwir dari istri ke-4, Nyai Rumiyah (Jombang, Jawa Timur). Dari pasangan ini, Mbah Munawwir dikaruniai dua anak: 1. K. Zainuddin Munawwir dan 2. Nyai Badriyah Munawwir.

K. Zainuddin adalah salah satu putra Mbah Munawwir yang dianugerahi kealiman dalam Al-Qur'an. Beliau termasuk salah satu ahlen (keluarga pondok) min ahlil qur’an (orang-orang yang ahli dalam Al-Qur’an).

Konon, dalam suatu rapat ahlen K. Zainuddin sempat terpilih sebagai penerus tongkat kepemimpinan PP. Krapyak Al-Munawwir setelah sepeninggalnya KH. R. Abdul Qodir Munawwir (putra Mbah Munawwir dari istri ke-1, Nyai Mursidah dari keluarga Kraton Yogyakarta), dengan pertimbangan rapat tersebut, semua ahlen sepakat bahwa beliau lah yang terpilih sebagai penerus kepemimpinan pondok ini karena beliau salah satu putra Mbah Munawwir yang lebih alim dalan Al-Quran dibandingkan lainnya.

Namun, hal yang tak terduga terjadi tatkala beliau ditunjuk sebagai pemangku pondok ini. Beliau enggan menerima keputusan tersebut, dan berkata dengan bahasa majaz "Moh, Krapyak wes rusak" (Tidak mau, Krapyak sekarang sudah rusak).

Begitulah beliau lontarkan kalimat itu atas penolakan keputusan tersebut. Setelah kejadian itu, lambat laun beliau menunjukan haliyah khawariqul adat (hal-hal yang diluar kebiasaan manusia). Banyak kejadian-kejadian aneh yang menimpa beliau, konon katanya beliau sedang mengalami jadzab atau majdzub.

Jadzab sendiri dalam kosakata Arab diartikan menarik, sementara Majdzub berarti orang yang ditarik akalnya ke hadirat Allah swt. Biasanya dalam istilah dunia sufi, ada term “wali majdzub/jadzab”, itu berarti wali yang ditarik akalnya (perasaan insaniyahnya) untuk melebur dengan sifatullah.

Sebelum kejadian demikian, K. Zainuddin telah memiliki seorang istri dari keluarga pondok Cirebon, yaitu Nyai Halimah. Nyai Halimah adalah cucu KH. Harun—selanjutnya Mbah Harun—(Muassis PP. Kempek, Cirebon) dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila.

Ibunya adalah Nyai Mu'minah yang merupakan putri ke-5 Mbah Harun. Dimana Nyai Mu'minah menikah dengan K. Abdullah, lalu menurunkan putri tunggal yakni Nyai Halimah sendiri.

Setelah Nyai Mu’minah ditinggal wafat oleh suaminya, kemudian ia menikah lagi dengan KH. Nashir Abu Bakar (Tegal, Jawa Tengah) dan dianugerahi putri tunggal yaitu Nyai Hj. Daimah (beliau adalah istri dari alm. KH. Ja'far Shodiq Aqiel, pengasuh PP. KHAS Kempek, Cirebon, yang sekarang dilanjutkan oleh adik keduanya yaitu KH. Muhammad Musthafa Aqiel hingga sekarang).

Sementara itu, sebelum KH. Nashir Abu Bakar menikah dengan Nyai Mu’minah, beliau sempat menikah dengan Nyai Zubaedah (putri ke-6 mbah Harun atau adiknya Nyai Mu’minah). Kemudian dari pasangan ini, melahirkan putri tunggal, yakni Nyai Aisyah.

Sebelumnya telah dijelaskan dari pasangan Nyai Mu’minah dan K. Abdullah yang dikaruniai seorang putri yang bernama Nyai Halimah. Barulah disini Nyai Halimah menikah dengan K. Zainuddin (Krapyak, Yogyakarta). Lalu keduanya dikaruniai seorang putra tunggal yaitu K. Hamdan Zainuddin (sekarang beliau tinggal di PP. Kempek, Cirebon).

Beliau termasuk putra yang sangat alim dan terkenal tegas dalam mendidik santri-santrinya disaat mengaji Al-Qur'an bersanad Krapyak, bila ada santri yang makhrajnya kurang fashih, Kang Hamdan (sapaan akrab beliau) tak segan-segan membentaknya seraya menjelaskan letak kesalahannya, bahkan terkadang beliau memukul santrinya dengan rotan bila dirasa kesalahan bacaannya banyak yang keliru.

Beliau juga paham dalam bidang sejarah, bila beliau menjelaskan sebuah tempat tertentu, beliau akan menjelaskannya secara detail dimana letak posisi tempat tersebut.

Salah satu contohnya adalah ketika beliau menjelaskan tempat-tempat peribadahan haji, beliau akan menjelaskan secara detail sehingga para santri yang mendengar seakan-akan tahu persis dimana tempat itu berada.

Selain dalam fan sejarah, kang Hamdan juga mahir dalam ilmu fikih dan linguistik Arab (Sintaksis dan Morfologi). Satu lafal yang beliau jelaskan, tentu akan menghabiskan waktu yang lama agar lafal tersebut terkelupas semua, beliau jelaskan dari bentuk asal katanya, pentashrifannya, dan faidah yang terkandung dalam lafal tersebut.

Ini menjadi bukti kecerdasaan beliau dalam memahami ilmu yang telah dipelajarinya selama 12 tahun di PP. Sarang, Rembang, Jawa Tengah, disamping keturunan dari seorang ayah yang alim dalam Al-Qur’an.

Selepas Nyai Halimah firoq dengan K. Zainuddin (ayahanda Kang Hamdan). Kemudian selang beberapa waktu, beliau menikah lagi dengan K. Sholeh dan dianugerahi empat keturunan putra-putri yaitu Aminah, Fauzan, Idris, dan Nur Khalis.

Perlu diketahui pula bahwa ketersambungan silsilah keluarga Krapyak dan Kempek bukan hanya terjalin sebab adanya faktor nasab. Melainkan juga sebab sanad keilmuan berupa ikatan antara murid dan guru yang begitu erat.

Sebagaimana sosok yang mula-mula membawa bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak menuju Kempek adalah KH. Umar Sholeh (putra KH. Harun dari istri ke-1, Nyai Mutimmah sekaligus ayahanda KH. M. Nawawi Umar, pengasuh Pondok Pesantren Kempek Induk hingga sekarang) yang berguru secara mubasyarah kepada Mbah Munawwir.

Disamping KH. Umar Sholeh menjalin sanad keilmuan dengan Mbah Munawwir, terutama dalam bacaan Al-Qur’an yang sanadnya tersambung sampai Rasulullah. Salah satu putra Mbah Harun dari istri ke-2, Nyai Ummi Laila. Yaitu K. Yusuf Harun menikah dengan Nyai Hindun (putri dari Mbah Munawwir dari istri ke-3, Nyai Salimah Munawwir).

Bilamana KH. Umar Sholeh merupakan sosok dari kalangan laki-laki yang membawa metode Krapyak, maka Nyai Hindun pula merupakan sosok dari kalangan perempuan yang membawakan metode bacaan Al-Qur’an bercorak Krapyak yang diajarkan kepada santri-santri putri di Ponpes Kempek Cirebon.

Setelah sepeninggal Nyai Hindun, perjuangan beliau dilanjutkan oleh putri tunggalnya yaitu Nyai Jazilah Yusuf (biasa akrab dipanggil Bude/Mi Jazil, pengasuh PP. Munawwiroh Putri hingga sekarang).

Sumber:
- Pengajian Khusus Ramadhan yang disampaikan oleh KH. M. Munawwar Ahmad, pada tanggal 19 April 2020.
- Sebagian sumber diambil dari wawancara dengan dzuriyyah Kempek, K. Akhfasy Alfaizy Harun, pada tanggal 26 April 2020.
- Tulisan ini telah diperiksa dan ditashih oleh keluarga Nyai Hj. Daimah.

Selasa, 01 September 2020

Pandangan Habib Umar bin Hafidz tentang Khilafah



*(Mohon Baca Hingga Habis)*
*********

Terkait Khilafah, Habib Umar bin Hafidz pernah menjelaskan secara panjang yang InsyaAllah mampu mengobati dahaga kaum Muslimin yang ingin mengetahui tentang Khilafah, apa yang terpenting bagi umat Islam dan bagaimana sikap umat Islam?

Berikut penjelasan Beliau:
***

Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting: 
Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. 
Yang kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat.
 
Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata“khilafah” bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas.
Al Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang yang berbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yangdatang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat,

ูَุฎَู„َูَ ู…ِู† ุจَุนْุฏِู‡ِู…ْ ุฎَู„ْูٌ ุฃَุถَุงุนُูˆุง ุงู„ุตَّู„َุงุฉَ ูˆَุงุชَّุจَุนُูˆุง ุงู„ุดَّู‡َูˆَุงุชِ ูَุณَูˆْูَ ูŠَู„ْู‚َูˆْู†َ ุบَูŠّุงً
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS.19 : 59).

Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namunmereka tidak mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apapun.

Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya,
ุฅِู†ِّูŠ ุฌَุงุนِู„ٌ ูِูŠ ุงู„ุฃَุฑْุถِ ุฎَู„ِูŠูَุฉً
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.2 : 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.

Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung dalam Al-Qur-an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam AS ke bumi,

ูَุฅِู…َّุง ูŠَุฃْุชِูŠَู†َّูƒُู… ู…ِّู†ِّูŠ ู‡ُุฏًู‰ ูَู…َู†ِ ุงุชَّุจَุนَ ู‡ُุฏَุงูŠَ ูَู„َุง ูŠَุถِู„ُّ ูˆَู„َุง ูŠَุดْู‚َู‰
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).
Mengamalkan tuntutan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. 

Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada bangsa apapun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan dan kekuasaan publik. 

Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi. Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra AdamAS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.

Khilafah merupakan tugas masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapapun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran ketiadaansembol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).

Melepas Khilafah
Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muhammad SAW, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk. 

Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai Nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi perintah, “Memberontaklah kepada para penguasa, perbaiki berbagai masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu!” Rasulullah SAW tidak memerintahkan itu. 

Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).
Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihaian karya Al-Hakim, disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan.” (HR.Ahmad)

Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, Ali KWH dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan inilah masa kepemimpinan Al-Hasan bin ‘Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.

Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi : Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.” Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin ‘Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru dengan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat.

Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.” (HR.Bukhari)

Pandangan Nabawiyyah
Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan, “Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang engkau (ya Rasulullah) perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat kekhalifahan baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?”
Nabi SAW bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kalian).” (HR.Bukhari dan Ahmad)

Siapa yang menegaskan hal ini?
Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.

Lalu, sampai kapan kami harus patuh pada pemimpin?
“Sampai yang menjadi pemimpin kalian adalah orang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa dia adalah seorang muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, mengingkari ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Secara terang-terangan memusuhi agama dan melanggarnya".

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Hingga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Baihaqi). 
Dalam riwayat yang lain, “Selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR.Muslim, Ad-Darimi, dan Baihaqi). 
Pada riwayat lainnya, “Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian)”. (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi)
Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan kepada kita.

Memahami Realitas Yang Berbeda
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berdo’a, “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepada parakhalifah/penggantiku.”
Ketika beliau ditanya, siapa para khalifah itu, beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau bersabda “Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun”, tapi beliau menggunakan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda, “Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meriwayatkan hadits-haditku dan mengajarkannya kepada manusia.”

Beliau menyatakan,orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya kepada orang lain adalah para khalifah para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal Ulul Amri yang disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi ilmu syari’at dan menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya, ayat,
ูˆَู„َูˆْ ุฑَุฏُّูˆู‡ُ ุฅِู„َู‰ ุงู„ุฑَّุณُูˆู„ِ ูˆَุฅِู„َู‰ ุฃُูˆْู„ِูŠ ุงู„ุฃَู…ْุฑِ ู…ِู†ْู‡ُู…ْ ู„َุนَู„ِู…َู‡ُ ุงู„َّุฐِูŠู†َ ูŠَุณْุชَู†ุจِุทُูˆู†َู‡ُ ู…ِู†ْู‡ُู…ْ
“…dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri).” (QS. 4 : 83). Menurut pendapatpara mufassir, yang dimaksud ulil-amri disini adalah ulama. Sebagaimana jugadalam firman Allah.
ุฃَุทِูŠุนُูˆุงْ ุงู„ู„ّู‡َ ูˆَุฃَุทِูŠุนُูˆุงْ ุงู„ุฑَّุณُูˆู„َ ูˆَุฃُูˆْู„ِูŠ ุงู„ุฃَู…ْุฑِ ู…ِู†ูƒُู…ْ
“…taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil-Maridiantara kalian.” (QS.4 : 59)
Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya dalam syari’at adalah , “Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR.Thabrani)

Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap:
Pertama, meninggalkan khilafah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka. 
Kedua, menolak untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Sayyidina Utsman.

Perhatikanlah, Rasulullah SAW memuji cucunya, Al-Hasan, karena rela melepas kekhilafahan lahiriah demi kebaikan kaum muslimin. Di sisi lain, beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman RA, “Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)

Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya berbeda. Maka, dalam, kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemauan mereka hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia terbunuh dalam keadaan membaca Al Qur-an dan tetesan darahnya yang pertama mengenai ayat 

ูَุณَูŠَูƒْูِูŠูƒَู‡ُู…ُ ุงู„ู„ّู‡ُ ูˆَู‡ُูˆَ ุงู„ุณَّู…ِูŠุนُ ุงู„ْุนَู„ِูŠู…ُ

“Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.2 : 137). Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).

Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu selamanya.”

Ternyata, didetik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada Allah agar mempersatukan umat sepeninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, persatukan umat Muhammad” sampai dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan atau mempermainkan agama.

Khilafah Bagi Setiap Muslim
Kita juga tidak bisa sekadar melaksanakan fungsi khalifah hanya yang terkait pada diri kita saja. Setiap kita memiliki amanat menjadi penerus atau khalifah, dalam mata, telinga, lidah, kelamin, perut, tangan, kaki, dan hatinya. Maka, laksanakanlah kewajiban khalifah dari Rasulullah. Semua ini adalah hal yang harus engkau pelihara. Engkau pemimpin semua ini, semua urusan-urusannya diserahkan kepadamu. Maka, jadilah penerus yang baik dari Rasulullah dalam memelihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan menerapkan hukum Allah.

Di wilayah lain, engkau memiliki kekuasaan dalam hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga, teman, dan tetangga. Juga, dalam hal yang terkait dengan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Laksanakan kewajiban khilafah dalam semua itu.

Menegakkan syariat, dalam bentuk apapun, merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya, dalam arti yang umum. Sedangkan khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits Rasulullah SAW, yang dinyatakan berlangsung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau. Setelah itu, kerajaan yang menggigit. Setelah itu, kekuasaan yang diktator. Inilah yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitakan Rasulullah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya: bagaimana mengatur, apa yang harus dilakukan, bagaimana seharusnya menghadapi berbagai persoalan yang terjadi, menghadapi para penguasa, menghadapi rakyat, dan bagaimana bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.

Betapapun, jika misalnya ada kesempatan bagi seseorang untuk membela agama Allah, dalam bentuk apapun, dan dalam sisi kehidupan apapun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan kewajiban itu, namun apa yang ia lakukan itu ternyata menimbulkan efek negatif yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum muslimin, tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatukan umat Islam diperlukan langkah-langkah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sayang terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ini pula yang dijalani oleh para pendahulu umat ini.

Insan-Insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya pada kesyahidan.

Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khilafah lahiriah ini hingga wafat. Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk, berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Muhammad SAW.

Kalau kita bercermin pada yang dilakukan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagaimana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi “Khalifah” Yazid)?

Beberapa hal yang harus dipahami mengenai keberangkatannya ke Irak. Diantaranya adalah:
Pertama, adanya surat ajakan yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak mempercayainya, mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan pengkhianatan ini. Namun, mati syahid tampak di depan mata. Sepeninggal kakaknya, Al-Hasan, giliran ia yang menyimpan rindu bertemu kakeknya.
Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah, namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami wajibnya patuh kepada penguasa. Ia ingin mengajari umat agar tidak memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh kepada penguasa, kendatipun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para penguasa itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal. Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.

Jadi, gerakan Al-Husain adalah untuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami singgung dalam pembahasan tadi, ia memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam kesyahidan. Ia begitu rindu untuk bertemu kakeknya.
Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Rasulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas kesesuaian perkataan dan tindakan yang benar.

Maka, Sayyidina Husain memberikan penjelasan mengenai perbedaan berbagai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari. Hal itu menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad SAW.

Khilafah agung Nabawiyah yang bukan sekadar kekuasaan lahiriah itu kemudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu, apa yang ia lakukan? Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya? Apa ia membuat rencana kudeta terhadap penguasa yang ada?

Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku bersaksi bahwa ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, ia bukan orang bodoh. Dimasanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.

Namun demikian, ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur-an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.

Inilah khalifah sejati. Inilah yang dilakukan generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak Ahlul Bayt, Sahabat, Tabi’in, dan para pengikut mereka.

Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.

Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah, masih banyak pemuka sahabat. Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan “Kami bersama Anda, kami berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda meninggalkan kami dan menyerahkan khilafah kepada orang lain?” Tidak. Al-Hasan patuh (pada tuntunan agama), merekapun ikut patuh.

Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekuasaan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah diantara mereka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan teladan para penghulu dan ajaran Rasulullah SAW?

Khilafah berlanjut. Tibalah masa para Imam : Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad binHanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?
Mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tangah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya. Mereka adalah khalifah terbaik dari Rasulullah SAW dan saat itu terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Peran Khilafah Para Nabi
Bagitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al Qur-an dan dijalani para nabi di masa-masa lampau.

Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini? Ya. Ia khalifah selama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ternyata kekuasaan bukan berada ditangannya, tapi tangan orang-orang kafir.

Lalu, apakah tugas khalifah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?
Tidak, khilafah tegak berada di tangan Nabi Nuh AS dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang. Namun, segelintir orang ini memiliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada di kapal Nuh. Itu adalah balasan atas kesabaran dan ketabahannya selama 950 tahun melaksanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.

Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari pertama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga memikul khilafah dari Allah. Namun,kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala tentaranya.

Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.
Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah, ia adalah seorang khalifah Allah. Bahkan, termasuk Rasul Ulul ‘Azmi, termasuk utusan Allah yang istimewa.

Begitu pula Sayyidina Ibrahim, ia berada di bawah kekuasaan Namrudz beberapa kali. Sampai ketika mukjizatnya muncul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan baginya. Waktu itu, kekuasaan masih berada di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim berada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga Allah SWT menolongnya.

Inilah poin terpenting dalam tema khilafah, juga pandangan para salaf mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun melewati keadaan ini.

Begitulah pengertian khilafah. Pengertian yang memiliki kaitan erat dengan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita tidak melanggar prinsip umum dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi sebab-sebab datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan musuh-musuh Allah yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-budaya buruk yang bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.

Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan berkah kepada kita dan kepada para ulama disini, juga ulama-ulama lain di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih menjaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang menganugerahi taufiq dan ampunan.
******

Pandangan utuh perihal tema khilafah diulas Habib Umar bin Hafizh dengan amat gamblang. Diantara yang dapat kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhilafahan yang lurus setelah 30 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW adalah berita yang disampaikan Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi apa yang beliau pesankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat ditakwil akan kekufurannya.
Sekalipun makna dari redaksi-redaksi kalimat yang terkait dengan kekhilafahan dalam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satupun yang menggalang gerakan khusus untuk mendirikan khilafah yang mencontoh kekhilafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua hidup ditengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?”

Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan paradai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya, pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai berkata-kata lewat karya-karyanya dan enggan berusaha keras demi tegaknya khilafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang terpenting)? 
Tentu bukan demikian.Mereka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul bahwa bukan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.

Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar belakang psikologis semacam itu. Pemicunya, akumulasi ketidak percayaan terhadap penyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kunjung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat:bila khilafah berdiri, insya Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?

Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kandungan. Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Disinilah pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal keilmuan, kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukuran keberhasilan dakwah seseorang, bukan yanglainnya. Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada amal dan hatimu.” (HR. IbnuMajah).

Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sempat menyinggung, “Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitahukan Rasulullah SAW.” Ia tak memperjelas lebih jauh maksud “akan” disitu, apakah relatif terhadap masa dirinya ataukah masa Rasulullah. Tampak disini bahwa ia pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti ajaran Rasulullah SAW ini adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ataukah pada masa menjelang hari kiamat kelak. Yang ingin Habib Umar tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapapun, “Kabar tentang khilafah ini tidak bertentangan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya…”

Pelajaran dari umat-umat terdahulu menunjukkan bahwa, karena kesungguhan mereka mengikuti petunjuk syari’atnya dan melaksanakan tugas khilafah ruhaniyah yang diemban setiap manusia dalam lingkupnya masing-masing dan menjadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya selama 950 tahun.
Serangkaian tulisan ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti kalangan Alawiyyin, Nahdhiyyin, dan unsur-unsurumat lainnya di lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini. Intinya, terus berbuat dan berbuat hal yang nyata di tengah masyarakat secara ikhlas, lillahi Ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan masyarakatnya, bukan institusi kenegaraannya.
ูˆَู„َูˆْ ุฃَู†َّ ุฃَู‡ْู„َ ุงู„ْู‚ُุฑَู‰ ุขู…َู†ُูˆุงْ ูˆَุงุชَّู‚َูˆุงْ ู„َูَุชَุญْู†َุง ุนَู„َูŠْู‡ِู… ุจَุฑَูƒَุงุชٍ ู…ِّู†َ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ูˆَุงู„ุฃَุฑْุถِ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah)akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)
*********

Judul asli tulisan ini “Khilafah Yang Tak Butuh Singgasana “Khalifah”. 
Disarikan dari Mau’izhah Habib ‘Umar bin Hafizh di depan Majelis Muwashalah Bayna Al-‘Ulama wa Al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009 | Majalah Alkisah, Tahun X/ No.17/ 20 Agustus – 2 September 2012, hal. 45-57.PANDANGAN HABIB UMAR BIN HAFIDZ TENTANG KHILAFAH
(Mohon Baca Hingga Habis)