YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Minggu, 17 Juli 2022

Nabi tidak pakai celana cingkrang



Mereka punya slogan kembali ke Qur'an dan Sunnah. Ketika ditanya mana dalil bahwa Nabi pakai celana cingkrang sampai sekarang tidak menjawab dalil secara khusus. Dalilnya pakai "Tsaub" yang artinya pakaian secara umum.

Sekali lagi mana dalil khususnya? Tetap bungkam 1000 bahasa.

Syekh Syaukani menulis:

ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺴﺮاﻭﻳﻞ ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ ﻫﻞ ﻟﺒﺴﻬﺎ اﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﺃﻡ ﻻ؟ ﻓﺠﺰﻡ ﺑﻌﺾ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﺑﺄﻧﻪ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻟﻢ يلبسه ﻭﻳﺴﺘﺄﻧﺲ ﻟﻪ ﺑﻤﺎ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺗﺮﺟﻤﺔ ﻋﺜﻤﺎﻥ - ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ - ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺗﻬﺬﻳﺐ اﻷﺳﻤﺎء ﻭاﻟﻠﻐﺎﺕ، ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻠﺒﺲ اﻟﺴﺮاﻭﻳﻞ ﻓﻲ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ ﻭﻻ ﺇﺳﻼﻡ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﻗﺘﻠﻪ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﺃﺣﺮﺹ ﺷﻲء ﻋﻠﻰ اﺗﺒﺎﻋﻪ

Soal celana, para ulama beda pendapat apakah Nabi shalallahu alaihi wa sallam memakainya atau tidak? Sebagian ulama memastikan Nabi tidak pernah memakai celana. Hal ini berdasarkan penulisan An-Nawawi ketika menampilkan biografi Utsman di kitab Tahdzib bahwa Utsman tidak pernah memakai celana, baik di masa jahiliah atau masa Islam. Padahal mereka paling semangat mengikuti Nabi (Nail Authar, 3/124).

Soal mereka menggambarkan bahwa celana cingkrang itu sunah adalah dengan menggabungkan 2 hadis, hadis pakaian dan hadis pakaian di atas mata kaki. Tapi jangan pernah memastikan bahwa celana cingkrang adalah celana Nabi!!! Nanti diminta dalilnya malah ruwet. 

Jadi mereka ini pakai dalil umum. Bukan dalil khusus. Sementara mereka selalu menuntut amalan kita dengan dalil khusus. Anehnya mereka melanggar kaidahnya sendiri. Biasa standar ganda.

Andaikan celana cingkrang baik tentu Nabi sudah lebih dulu memakainya!

Jumat, 15 Juli 2022

Tiga pondok NU berubah

 bisa ? 
Kenapa pondok pesantren yang awalnya Aswaja/NU kok akhinya mendirikan aliran sendiri?

Jawabannya karena pengasuh/pendiri ponpes tersebut tidak punya ghirah thd NU dengan demikian ponpesnya tidak ikutkan dlm RMINU (Rabithah Ma'ahid Islamiyah, Asosiasi Pesantren keIslaman NU).

Memang dilihat dari amaliahnya mungkin pendiri/pengasuh ponpes tsb awalnya NU, tapi dalam perjalananya karena terpengaruh aliran lain maka keluar dari NU atau minimal acuh thd NU.

Kalau saya tidak salah, contohnya: 

Ponpes Kedungloh, Kediri yang "awalnya NU" akhirnya menjadi "ormas" Wahidiyah.
Ponpes Shiddiqiyah, Jombang yang "awalnya NU" akhirnya menjadi "ormas" Shiddiqiyah.

Juga Ponpes al-Fatah, Temboro Magetan, yang awalnya NU tapi akhirnya menjadi Jamaah Tabligh (JT/Jaulah) malahan menjadi markas di Indonesia. Juga ponpes Maskumambang Gresik.

Begini ceritanya:

Dua pesantren yang dijadikan contoh, ini termasuk pesantren tua, yakni Pesantren Maskumambang berdiri tahun 1859 oleh Kiai Abdul Jabbar (w. 1907), dan pesantren al-Fatah didirikan pada 1912 oleh Kiai Siddiq (w. 1950). Pada awalnya, dua pesantren ini dapat dikatakan sebagai tipikal pesantren NU yang mengembangkan paham ahl al-sunnah wa al-jama'ah (Aswaja).

Namun dalam perjalanannya, kedua pesantren tersebut berganti wajah. Pesantren Maskumambang berganti wajah dari pesantren salafiyah-aswaja menjadi modern-wahabi. Sedang al-Fatah Magetan berubah dari salafiyah-tarekat-aswaja menjadi pesantren berwajah majlis tabligh.

Perubahan itu merupakan hasil dari interaksi dua pesantren ini dengan dunia luar. Pesantren Maskumambang bergerak ke arah wahabi pada generasi kedua, yang diwakili figur Kiai Ammar Faqih (w.1965) setelah dia belajar ke Mekah dan Madinah dan persentuhannya dengan karya Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Tauhid ketika menjalankan ibadah haji. Perubahan orientasi Pesantren Maskumambang semakin jelas ketika Kiai Nadjih Ahjad mengganti posisi Kiai Ammar Faqih. 

Sedang pesantren al-Fatah Magetan berubah wajah menjadi majlis tablig setelah Kiai Uzairon belajar ke Mesir dan Kiai Noor Tohir belajar ke Mekah. Kedua pengasuh al-Fatah tersebut berkenalan dengan majlis tablig yang didirikan Maulana Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail al-Kandahlawi (w. 1944). Hubungan itu dilanjutkan dengan kunjungan jama'ah tabligh dari India dan Pakistan ke al-Fatah Magetan pada 1984 dan 1988.

Peristiwa ini pada 1989 sempat memunculkan ketegangan antara Pesantren al-Fatah dengan PCNU Magetan. Ketika itu, Kiai Uzairon menjabat sebagai Rais Syuriah, dan Kiai Noor Tohir sebagai Katib Syuriyah PCNU Magetan. Forum tabayyun itu ternyata tidak menemukan titik temu. 

Kiai Uzairon dan Kiai Noor Tohir akhirnya menyatakan keluar dari NU dan memilih mengembangkan majlis tabligh. Sejak itu, Pesantren al-Fatah semakin menjauh dari komunitas NU dan semakin mantap mengembangkan karakter keberagamaan majlis tabligh dengan khuruj (keluar menyebarkan agama) menjadi ciri khasnya.

Karena peristiwa ini, banyak wali santri yang berontak. Wali santri banyak yang tidak bisa menerima pilihan pengelola Pesantren al-Fattah. Akhirnya, sekitar 500 santri ditarik orang tuanya dan dipindahkan ke pesantren lain.

Metamorfosis dan perubahan orientasi pesantren demikian tidak hanya dialami Maskumambang Gresik dan al-Fatah Magetan. Masih banyak sejumlah pesantren NU yang ikut tergerus gelombang wahabisme. Kalau Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, menyatakan Islam Indonesia diserang ideologi trans-nasional, kasus Maskumambang dan al-Fatah bisa menjadi contoh riil.

Bahkan, kini medan pertarungan itu tidak hanya melalui pesantren. Masjid-masjid sebagai basis kehidupan sosial keagamaan masyarakat juga menjadi ajang kontestasi. Dari berbagai informasi yang penulis peroleh, masjid-masjid yang dikelola warga NU banyak sekali yang “diserobot” kelompok wahabi dan aliran puritan lainnya.

Dari kenyataan tersebut, ada beberapa hal yang layak dicatat, yaitu:
_Pertama_
Jika selama ini NU mengklaim mempunyai soko guru yang kokoh, yaitu pesantren, ternyata kini pesantren telah mengalami metamorfosis yang melahirkan wajah baru pesantren yang jauh dari karakter ke-NU-an. Meski saya tidak percaya semua pesantren NU akan terbawa arus ini, namun jika tidak diwaspadai bukan tidak mungkin paham keagamaan NU akan semakin dipandang asing di negerinya sendiri. NU juga akan semakin kehilangan legitimasi pesantren.

_Kedua_
Pelajaran berharga dari Pesantren Maskumambang dan al-Fatah adalah ternyata jaringan tokoh-tokoh pesantren yang dibangun melalui belajar di luar negeri, terutama Mekkah dan Madinah mempunyai pengaruh besar dalam mengubah wajah pesantren. Memang tidak sumua alumni Mekkah dan Madinah menjadi wahabi, namun mengabaikan hal ini juga bukan sikap yang baik.

_Ketiga_
NU memang punya lembaga yang secara khusus membidangi soal pesantren, yaitu Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyah (RMI). Lembaga ini perlu diorientasikan untuk melihat perkembangan pesantren-pesantren NU dari sisi orientasi ideologisnya. Hal ini memang bukan perkara mudah. Meski NU mengklaim mempunyai basis pesantren, tapi pesantren di lingkungan NU mempunyai otonomi penuh yang tidak bisa dicampuri dan diintervensi pengurus struktural NU. Pesantren NU lebih bisa digerakkan melalui hubungan guru-murid, daripada hubungan struktur NU.

Memang, perubahan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Arus perubahan terkadang juga tidak terduga. Dan kini, pesantren di hadapkan pada berbagai pilihan perubahan. Harus diakui, di sini umat Islam, termasuk warga NU dan pesantren, sering tergagap dalam menghadapi berbagai arus perubahan. Saya yakin, pesantren memang tidak akan bisa hilang dari bumi Indonesia. Masalahnya adalah pesantren jenis apa yang akan hidup. Inilah tantangan yang harus dihadapi. 

Untuk itulah maka pengasuh pesantren harusnya mempunyai ghirah NU (NUyang sesuai dengan PBNU), bukan NUGL, bukan KKNU dan sempalan lainnya. Dan pesantrennya harusnya didaftarkan ke dalam RMI NU agar tidak keluar dari sistem NU.

*KH. Abdullah Faizin*

Kamis, 07 Juli 2022

Puasa Arafah ikut wukuf di arafah atau ikut pemerintah



*Telegram:*
https://t.me/menebar_cahayasunnah

*Oleh :*
*Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc*. 

Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut wukuf di Arafah ataukah ikut ketetapan pemerintah? Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa Arafah akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf di Arafah. Waktu wukuf di Arafah pada hari Jumat, 3 Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.

*KALAU BEGITU PUASA ARAFAH IKUT SIAPA?*

Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak masa silam. Kita semestinya bersikap legowo dan lapang dada, menghargai perbedaan yang terjadi.

Namun mengedepankan persatuan dalam masalah ini, itu lebih baik. Landasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).

Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.

Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah dan berhari rayalah bersama pemerintah. Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan wukuf di Arafah, tetap ketetapan pemerintah yang diikuti.

*IKUTI HILAL DI NEGERI MASING-MASING,BUKAN IKUT WUKUF DI ARAFAH*
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).

Hilal di negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.

Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, Kapan kalian melihat hilal? tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, Kami melihatnya malam Jumat.Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan,

لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ

Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.

Kuraib bertanya lagi, Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”

Jawab Ibnu Abbas,

لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).

Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain terlalu dipaksakan berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini diterapkan di masa silam yang komunikasinya belum maju seperti saat ini.

baca selengkapnya
https://muslim.or.id/22734-puasa-arafah-ikut-wukuf-di-arafah-atau-ikut-pemerintah.html

*Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal,MSc*

***************