YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Selasa, 28 April 2020

Hentakan jokowi untuk indonesia di mata dunia



Sang penguasa dunia sedang sakit. Tubuh tambunnya kini terlihat lemah dan bergerak sangat lamban. AS, negara adidaya itu jatuh dan terjerembab dengan luka paling parah dan jumlah korban meninggal paling memilukan di negara tersebut.

AS sedang terpuruk. Tertatih-tatih sang jagoan no. 1 dunia itu mencoba bangkit, namun beban tubuh tambun dan banyaknya luka membuat dia hanya mampu terduduk lesu.

Mungkinkah  kepemimpinan dunia sedang beralih?

Dollar AS sampai hari ini masih menjadi mata uang dunia. Salah jalan Dollar dalam pengembaraannya telah membuatnya bukan lagi menjadi alat tukar, Dollar telah berubah menjadi komoditas. Komoditas yang berbentuk uang. Sehatkah orang memiliki wajah ganda?

Siapa menguasai minyak adalah siapa yang memiliki dunia, itu adalah motto AS dan para kapitalis yang berdiri di belakangnya. Namun minyakpun telah salah jalan, dia membunuh terlalu banyak manusia dan merusak alam.

Dua kekuasaan besar tersebut kini sedang sekarat dan menunggu ajalnya. Seperti baju zirah, pelindung itu kini justru membebani.

Dollar yang sudah sejak 50 tahun lalu berjalan pada arah yang salah sedang menunggu saat jatuhnya. Tak ada lagi underlaying dalam bentuk emas atau apapun dalam pencetakannya.

Di sisi lain, uang elektronik China yang memakai underlaying emas sudah mulai beredar. Dengan kekuatan ekonomi China yang sangat spektakuler dan menguasai seluruh perdagangan dunia, jelas sudah, ini adalah ancaman. Hanya masalah waktu saja Dollar akan meredup.

Dimulai dengan Kesepakatan Iklim Paris 2015, pengurangan pemakaian Bahan Bakar Minyak terjadi dimana-mana. Mereka melirik pada tekhnologi Lithium.

Lithium, sang takdir pembunuh minyak sudah tumbuh makin dewasa. Periode dan kejayaan minyak sedang terus digerogoti oleh hadirnya sang penyimpan energi yang jauh lebih bersih dan terbarukan.

Mata dunia, terutama generasi milenial yang sebentar lagi menguasai panggung politik dan di sisi lain sebagai kaum yang sangat peduli terhadap lingkungan, sedang menengok kesana. 

Lithium adalah masa depan, Lithium adalah baterai, dan Lithium adalah Indonesia. 

Lho kok...???

Ingat, Uni Eropa menggugat Indonesia di WTO beberapa waktu silam. Ingat, Uni Eropa memboikot sawit kita.

Saat digugat di WTO karena kebijakan tak lagi mengijinkan ekspor nikel dalam bentuk ore, Jokowi dengan Pe-De nya mengatakan : "SIAPKAN LAWYER TERBAIK..!!" 
Dan saat sawit diboikot, dengan ekspresi muka ngenyek dia bilang "GAK MAU YA SUDAH, SAYA KONSUMSI SENDIRI",  dan... Eropa kaget karena dari Indonesia langsung muncul diesel B30.

Saat ini, infrastruktur kita di Morowali sudah sangat siap. Di sana sudah ada Kawasan Industri Morowali. Dan di Virtue Dragon, Weda Bay, di sana juga sudah terbangun politeknik bagi siapnya masyarakat lokal menerima alih tehnologi tinggi dalam bidang baterai.

Lho kok baterai...??

Lithium adalah baterai, dan lithium adalah tentang nikel sebagai bahan bakunya. Di sana, di Morowali Sulawesi Tengah, bahan baku nikel terhampar sangat luas. Dan itu adalah masa depan yang sedang menanti kita.

Seluruh mata dunia sedang mengarah ke sana, dimana masa depan gemilang Indonesia ada pada jalur yang tepat. Jalur trend dunia dengan teknologi hijaunya.

Kenapa harus dengan China...??

Ingat isu pekerja China yang menjadi senjata bombastis lawan politik Jokowi saat pemilu tahun lalu? Di sinilah, di Morowali, diisukan ada ribuan pekerja China.

Lithium adalah apa yang juga menjadi senjata unggulan China dalam melawan dominasi minyak AS. Dengan lithium, China mampu membuat dunia sedikit demi sedikit meninggalkan minyak.

Karena lithium adalah unggulan China, maka belajar teknologi lithium tentu harus dengan China. Itu sesuatu yang sangat logis, bukan masalah komunis dan demokrasi.

Pernah dengar Mercedes dan Tesla? Keduanya ada di belakang China dalam teknologi baterai ini. Dua raksasa industri terdepan dalam pengembangan baterai.

Ya.., dapat ditebak dengan mudah, mereka yang sibuk berteriak China! China! dan China!, tentu sangat terkait erat pada siapa yang akan dirugikan dengan terbangunnya industri baterai di Indonesia.

Mungkinkah suatu saat nanti kita akan menjadi pusat baterai dunia?

Morowali sedang diarahkan menjadi penghasil baterai mobil terbesar di dunia. Komponen baterai pada mobil elektrik adalah mencakup 40% dari keseluruhan produk itu, maka demi efisiensi, tentu itu sangat logis. 

Sangat logis bila industri dan produksi mobil elektrik akan memilih Indonesia menjadi pusat produksinya. Ini adalah soal bisnis, dan bisnis tak kenal kewarganegaraan.

Kini menjadi semakin jelas kenapa Indonesia menjadi satu dari tiga negara kelompok G-20 yang akan memimpin. Lima tahun pertama Jokowi benar-benar telah membuat semua infrastruktur bagi kemajuan negara ini tersusun rapi dan jelas.

Kepercayaan investor terlihat dengan jelas saat nilai tukar Rupiah semakin hari semakin kuat akibat penilaian asing terhadap bagaimana Pemerintah menangani bencana Covid-19 ini.

Global Bond yang diinisiasi oleh Indonesia, kini menjadi alternatif cerdas bagi banyak negara lain di dunia untuk keluar dari jerat ekonomi yang pasti merosot. Arab Saudi dan negara-negara Teluk telah mengikuti jejak Indonesia.

Arah sudah jelas, peminat sudah ngantri, apakah kita benar-benar akan memimpin, tentu hal itu juga tergantung dari seluruh rakyat Indonesia.

Dominasi AS atas dunia tak mungkin akan dilepas begitu saja. Semua kekacauan dan kericuhan akan semakin intens saat perang posisi ini makin mendekati puncak.

Lantas apa yang harus kita lakukan?

Teriakan China!, China! dan China! akan semakin masif dan kita tahu siapa dibalik teriakan tersebut. Kita tahu siapa yang akan main kasar ketika pertandingan hampir usai. 

Mereka yang kalah dan tak tahu harus berbuat apa selain marah dan marah, adalah mereka yang harus kita hadapi. Mereka adalah orang-orang yang tak mengerti dan tak memiliki rasa cinta tanah air. 

Perkembangan luar biasa atas kepemimpinan Jokowi telah mulai tampak. Baru terjadi BUMN kita telah menggeser posisi Malaysia dan Singapura dalam hal keuntungan sejak tahun 1998.

Baru terjadi Freeport memberikan keuntungan signifikan terhadap Indonesia dari sejak awal dikuasai oleh AS.

Baru kali ini Indonesia masuk menjadi kelompok dengan GDP 1 Triliun Dollar, sejajar dengan beberapa negara maju didunia.

Siapa menguasai minyak akan menguasai dunia adalah cerita masa lalu. Kini, siapa menguasai nikel, dialah pemilik masa depan dunia... dan itu adalah kita.

Ingat AS dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang gak jauh-jauh amat dengan Indonesia mampu menjadi raja dunia lebih dari 50 tahun karena dominasi minyak.

Dengan dominasi nikel, kesempatan menjadi pemilik masa depan dunia kini terbuka semakin lebar. Dengan memilih nikel sebagai ujung tombak kemajuan teknologi dan mendorong Indonesia sebagai basis mobil listrik dunia, potensi menjadi salah satu pemimpin dunia tersebut semakin mendekati kenyataan.

Dunia sebagai Gadget secara bersama sedang direstart, dan kabar bagusnya, kita menyala paling cepat. Apakah sang operator mampu membuat gadget ini menjadi makin dan semakin hebat, tentu itulah yang menjadi harapan kita.

 RudySoekarno✍️
.
Reposting HariMerdeka Drecpecs ✊🇮🇩💪

Jumat, 24 April 2020

Selamat Berpuasa


Jangan kaget ya.. pada jam 12 s/d 18 kita akan merasa lemas.

Bersyukurlah..
Karena berarti akan dimulai satu proses yang sangat bermanfaat untuk tubuh kita.

Proses itu adalah AUTOLISIS.

*Autolisis adalah proses pembuangan sel-sel yang mati atau rusak di dalam tubuh kita.*

Bayangkan..
Kalau kita lagi gak puasa..
Organ pencernaan kita hampir ga pernah berhenti bekerja. 
Setiap kita makan, butuh +-8 jam organ pencernaan kita bekerja. 

Jam 7 sarapan pagi, maka jam 15 organ baru selesai bekerja, eh jam 12 kita sudah makan lagi. 

Dari jam 12 harusnya selesai jam 20, kita makan lagi jam 19. Belum lagi kalo jam 23nya ngemil/makan mie tektek/nasi goreng..

*Astagfirullah..*

Kalo tubuh kita bisa ngomong..
mungkin dia akan bilang..
Boss saya resign aja yaa

Nah..
Pas kita puasa..
Sahur jam 4, organ bekerja sampai jam 12.

Jam 12 s/d jam 18, organ kita nganggur gak ada kerjaan. 6 jam lhoo..
Lumayan tuh.

Ibarat ibu-ibu di rumah..
Klo lagi gak ada kerjaan, kan suka beres-beres rumah, rapi-rapi, bersih-bersih, buang barang-barang yang gak kepake.

Nah sama..
organ kita klo lagi gak ada kerjaan, mereka akan melakukan bersih-bersih tubuh,  inilah Autolisis.

*Keren kan..*

Inilah kenapa puasa itu sehat, bahkan in syaa Allah bisa ngobatin banyak penyakit. Maag, diabet, ginjal, bahkan kanker.

Makin banyak puasa..
Makin bersih tubuh kita..
Makin sehat kita.
In syaa Allah 

*Maka bahagialah kita diperintahkan puasa.*

Selamat berpuasa 
Semoga makin cinta menjalankan puasa..
sehat selalu. Aamiin.

Rabu, 22 April 2020

Quranic Immunity sebagai saran solusi covid 19



Alhamdulillah lebih dari 95% PDP (Pasien Dalam Pengawasan) yang penulis tangani sampai saat ini dinyatakan sembuh dan berhasil pulang. Sebutlah Prof DR Dr Idrus Paturusi. Beliau Guru Besar UNHAS dan Mantan Rektor yang sembuh pada tanggal 3 April 2020.

Tokoh Sepakbola Nasional, Andi Darussalam Tabusala juga baru saja dinyatakan sembuh dari covid, setelah diisolasi selama 16 hari. Haru biru menghiasi kepulangan beliau, karena secara kondisi kesehatan, mantan manajer Timnas Indonesia ini, sangat rentan.

Beliau sudah berumur 70 tahun, riwayat darah tinggi, diabetes 30 tahun, 15 tahun suntik insulin, operasi ginjal karena CA, 5 tahun cuci darah... riwayat yang dahsyat. Namun, Allah berkehendak lain, komentator sepakbola yang rutin menghiasi layar kaca di era 1990-an ini, selamat, untuk menjadi bekal keyakinan bagi kita yang masih hidup.

Kedua tokoh besar tersebut mewakili puluhan PDP yang sembuh menggunakan metode penyembuhan Al-Qur’an menghadapi covid-19 ini. Saya membimbing mereka konsultasi jarak jauh untuk melakukan terapi menggunakan Al-Qur’an. Ada yang dibantu keluarganya, ada juga PDP yang bersangkutan yang berkomunikasi di ruang isolasi. Dan hampir seluruhnya alhamdulillah, atas izin Allah, berhasil sembuh.

Ada satu PDP yang syahid, insya Allah. Beliau adalah Abdul Qadir Zaelani, berumur 41 tahun. Syahid di tanggal 5 April 2020. Penulis merasakan kerisauan keluarganya krn kuburnya pun dirahasiakan. Namun sangat terasa, keluarganya bangga dan bersyukur, predikat syahid disandang Abdul Qadir.

Dari hampir 30 yang penulis bimbing, 1 PDP syahid. Angka yang In Syaa Allah cukup menggembirakan. 

Dari semua keberhasilan itu, maka penulis mengajukan Qur’anic Immunity untuk dijadikan solusi bagi wabah covid-19. Tentu saja ide ini ditujukan kepada Muslim yang mengimani Al-Qur’an sebagai Syifa’ (obat/penyembuh/penawar). Dengan tetap menghormati pemeluk agama lain.

PSBB VERSUS HERD IMMUNITY

Per tulisan ini dibuat (21/4), penulis sudah 5 minggu mengurung diri di rumah mengikuti anjuran pemerintah. Secara pribadi, saya menguatkan diri, untuk siap melakukan pengurungan diri ini selama mungkin.

Dan penulis yakin, kalangan menengah yang terbiasa online dan memilki tabungan juga siap tetap berada di rumah lebih lama lagi. Pertanyaannya, apakah semua masyarakat siap? Bagaimana dengan kalangan menengah ke bawah? Yang sebelum PSBB saja sudah menggantungkan kehidupannya pada penghasilan harian.

Penulis tertegun dengan bahasan selebriti podcast yang sedang naik daun, Deddy Corbuzier. Di Channel Youtube-nya, video yang diunggah 20 April 2020, nampak kegalauan yang teramat sangat antara beliau dan tamunya.

Dalam wawancara itu, saya menangkap kegalauannya lebih ke potensi kerusuhan, yang bisa meledak kapan saja. Dan saya yakin, itu juga yang berada di fikiran banyak orang. Di media mainstream pun sudah mulai ada berita-berita keharuan, keluarga yang tidak bisa makan berhari-hari.

Kita pun memahami pemerintah, yang memang dengan pilihan terbatas, akhirnya harus menetapkan PSBB sebagai solusi. Pembatasan Sosial Berskala Besar ini dipilih, untuk tidak membebani keuangan pemerintah yang memang tidak-lega keuangannya.

Pe-ernya adalah, harus disiapkan dampak pada masyarakat lapar yang tidak bisa dikendalikan fikiran “gelap”nya. Yang saat “hanya di rumah saja” mendengarkan tangisan demi tangisan anak yang kelaparan. Dulu jumlahnya masih bisa terukur, namun di masa covid19 ini jumlahnya meledak, dan dalam beberapa bulan ke depan, makin tidak bisa diprediksi.

Sebelum covid19, kalangan menengah juga bisa menjadi mitra pemerintah dalam berdonasi. Tapi di masa covid19, kalangan menengahpun terdampak. PHK besar2an sudah di depan mata.

Pilihan PSBB nampaknya bukanlah solusi akhir. Karena sangat tidak ideal, dan rentan menimbulkan dampak sosial. Saya yakin pemerintah saat ini sedang menyiapkan strategi lain.

Dalam fikiran penulis, pilihan selain PSBB adalah Herd Immunity. Inggris, Belanda dan Swedia sempat melirik metode ini. Namun herd immunity bernuansa seperti kalah perang. Sebagian mental masyarakat juga bisa “down” jika mendengar angka pasien yang semakin meningkat. Dan akhirnya, ketiga negara itu kembali lagi ke strategi Lockdown.

Singapura yang awalnya dibanggakan dengan strategi “total football”nya menghadapi covid dan berhasil menekan jumlah penderita, ternyata sekarang “jebol”, terjadi ledakan penderita dan kini, per tulisan ini dibuat, ada 6.558 kasus, menyusul Indonesia dan Filipina. Padahal negara kecil.

Kuwait yang menerapkan Lockdown total dan jam malam, malah angka penderitanya meningkat dari 37 menjadi 1995 kasus. Lockdown ketat, malah penderita meningkat. Kok bisa?

Dan yang kini menjadi berita hangat, Amerika diambang tahapan kerusuhan sosial. Twit Donald Trump untuk memprovokasi pendukungnya untuk ”liberate” atau melawan lockdown malah berbuah demonstrasi besar2an di banyak negara bagian.

Lalu, Indonesia mau apa? 

DANGER VERSUS FEAR

Dalam keadaan ini, rasanya Indonesia bisa menyalip di tikungan, mengutip ungkapan2 yang sering dikemukakan Mardigu Wowik. Ya, saya sependapat. Penulis yakin, Indonesia bisa menyalip di tikungan. Saat semua negara kebingungan, Indonesia bisa pulih lebih awal. Dan membangun ekonomi lebih cepat dari yang lain.

Semua itu bisa dilakukan, asalkan semua pihak mengetahui bedanya “Danger” dengan “Fear”. Benar, covid19 adalah Danger, tapi kita tidak boleh berada dalam state Fear terus menerus. Harus ada titik tenangnya. Makin cepat titik tenang ini tercapai, makin cepat kegiatan masyarakat bisa pulih kembali. 

Maksudnya begini. Covid19 mungkin sampai dua tahun ke depan akan tetap menjadi “bahaya” yang mengintai. Dan harus difahami itu sebagai hal yang lumrah. Seperti bahaya perampok, itu semua sudah faham, sampai kapanpun akan ada perampok. Tapi kita tidak lagi berada dalam ketakutan kan? Karena yakin ada polisi yang bekerja profesional. Dan dengan pembagian tugas dengan Polisi, kita bisa tidur nyenyak.

“Danger” covid19 memang tetap ada, tapi sepatutnya kita tidak mengizinkan “Fear” mendominasi hidup kita.

MENCAPAI TITIK TENANG

Maka, yang diperlukan menghadapi covid19 ini bukan vaksin. Karena bagi penulis, menunggu vaksin adalah sebentuk kekalahan. Selain waktu yang tidak bisa diprediksi, vaksin juga harus mengeluarkan biaya mahal yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, dampak ekonomi juga sudah habis2an, selama masa menunggu.

Jika vaksin tidak bisa ditunggu, lalu apa?

Hemat penulis, semua pihak terutama pemimpin sosial harus berfikir tentang “titik tenang” ini. Dibanding dengan kampanye “stay at home”, harus ada kampanye lain yang lebih bernuansa solusi. Perlu dicatat, penulis bukan berarti menganggap kampanye stay at home tidak bermanfaat. Namun lebih ke menatap solusi lain. 

Misalnya begini. Titik tenang menghadapi perampok yang merajalela, adalah kampanye besar2an bahwa Polisi bekerja dengan profesional. Diblow up besar2an di media bahwa gembong2 besar perampok sudah ditangkap. Itu akan membuat tenang masyarakat dibandingkan dengan kampanye “berhati2-lah dengan bahaya perampok, dan selalu duduklah di rumah”

Begitu juga dengan covid19.

Sudah jelas bahwa PSBB dan stay at home mengandung resiko yang belum bisa diukur sekarang. Herd Immunity juga penulis fikir bukan pilihan bijak. 

Lalu apa? Penulis menawarkan QUR’ANIC IMMUNITY

Sekali lagi, ini tentu saja ditujukan bagi komunitas Muslim. Untuk agama lain, penulis yakin bisa juga diarahkan kembali ke agama masing2.

QUR’ANIC IMMUNITY

Bruce H Lipton, seorang biologist terkenal dari Amerika lantang di channel Youtube-nya menyampaikan bahwa covid19 bisa ditangani dengan mudah. 

Professor yang menjadi rujukan dalam menjembatani antara science dan spiritual ini awalnya mengatakan bahwa gen menentukan penyakit. Namun dia resign dari professornya karena merasa bersalah dengan pengajarannya itu. Dan kini, di usianya yang sudah 75 tahun, kerap memberi pelajaran tentang epigenetics. Sebuah teori yang meyakini bahwa ekspresi gen dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk fikiran, perasaan, motivasi dan belief.

Tentang covid19, inilah ungkapan Prof. Bruce H. Lipton: “Benar, covid19 adalah penyakit yang berbahaya, karena dia sejenis flu berat yang mematikan. Kenapa banyak yang mati, karena covid19 adalah flu baru, yang sel kita belum memiliki memori untuk mengeluarkan anti body nya. Tapi percayalah, bahwa yang terkena dampak paling mematikan adalah mereka yang tidak punya imunitas. Dengan sikap yang takut akan ancaman, akal akan mengeluarkan hormon stress dan mematikan imunitas tubuh (Shutdown the Immune System), yang pada akhirnya tidak bisa melawan virus covid19”

Silahkan menuju ke channel Youtubenya untuk dapatkan informasi dan ilmu2 penting di sana.

Pernyataan di atas sangat penting dalam menghadapi covid19 ini. Selain karena sesuai dengan cara kerja imunitas tubuh, pernyataan itu juga diungkapkan oleh biologist terkenal yang semoga bisa didengarkan oleh seluruh tenaga kesehatan di seluruh dunia.

Hal ini juga diperkuat dengan keterangan Prof. Dr. Muhayya, seorang professor terkenal dari Malaysia.

Pada wawancara saya dengan beliau, Prof. Dr. Muhayya mengatakan “Saya pribadi sebagai dokter perubatan memerlukan banyak perlindungan, dan tidak ada yang lebih baik daripada Al-Qur’an. Dengan getaran Al-Qur’an yang sampai ke sel, maka sel itu akan melawan virus dengan sangat kuat”

Itulah yang penulis praktekkan pada puluhan PDP, dengan positif thinking ditambah dosis Al-Qur’an, makin kuat beliefnya, terbentuklah imunitas di level sel. Qur’anic Immunity terjadi. Sebutlah bu Dian yang kisahnya sangat mengharukan. Berawal dari kontak dengan mitra kerja dari luar negeri, berdua suami istri akhirnya harus mengalami positif covid19.

Saat diperiksa dan dinyatakan positif, keduanya harus mengalami perawatan di tenda darurat tentara di sebuah RS di Tangerang. Tapi karena tenda yg dipasang di parkiran itu tidak memiliki jendela, bu Dian malah kambuh asmanya setelah 2 hari dirawat intensif. Saat mengadu pada petugas yang menjaganya, malah disuruh pulang.

Menyandang status PDP, bu Dian dan suaminya kebingungan. Dari jam 11 malam sampai 4 pagi hanya berada di mobil, tidak berani bertemu siapapun, takut malah menularkan penyakit ini. Sampai akhirnya berbekal info dari temannya, kedua pasutri ini menyetir dalam keadaan lemas ke RS Sulianti Saroso. Singkat cerita, dia menghubungi saya dan saya bimbing melakukan Qur’anic Immunity.

Setelah 14 hari dirawat, beliau selamat dan menceritakan kisah ajaibnya di Facebooknya, Dian Eva Agustina. Bersyukur Al-Qur’an meningkatkan imunitasnya dan sembuh atas izin-Nya.

Begitu juga dengan Prof DR Dr Idrus, istrinya intensif komunikasi dengan saya. Pak Andi Darussalam pun begitu. Dan puluhan PDP yang berhasil selamat, alhamdulillah. Semua menggunakan metode yang sama. 

Bahkan ada seorang WNI yang terjebak di New York, episentrum covid19 yang sudah mencapai 4000 orang tewas per hari. Bu Mahdalia Eva namanya, setelah 11 hari konsultasi, merasa bahagia dan menyatakan dirinya sudah jauh lebih baik. Beliau tidak bisa menyatakan sembuh, karena tidak bisa mengakses RS yang sudah penuh sesak dengan pasien. Beliau hanya bisa perawatan di rumah dengan Qur’anic Immunity ini. Ada satu WNI kawannnya yang sudah meninggal. Atas izin Allah, beliau selamat.

Tentu, ajal semuanya di tangan Tuhan. Tapi kita manusia diwajibkan berusaha dan tawakkal. 

Penulis berfikir, jika seandainya kampanye Qur’anic Immunity ini dilakukan dengan massif di seluruh kaum Muslimin, semua melakukannya dengan serentak, dan akhirnya tercapai titik tenang, nampaknya akan ada cerita yang berbeda, dalam waktu dekat nanti. Kata kuncinya : massif dan serentak.

BERBAGI PERAN

Para ustadz nampaknya harus bergandengan tangan melakukan kampanye ini. Buat tenang masyarakat, bahwa obatnya sudah ada di tengah-tengah mereka, yaitu Al-Qur’an. Bawakan ayat2 Al-Qur’an tentang Syifa’ dan bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat.

Bisa juga melakukan kampanye2 seperti ini:

- Selain menggunakan masker, pastikan keluar rumah hanya setelah membaca Al-Qur’an, beberapa lembar
- Lakukan ruqyah Syar’iyyah, dzikirkan ayat2 pilihan/ma’tsur, lalu tiup di air (amalan meniup ke air ini dishahihkan oleh banyak ulama termasuk syaikh Abdullah bin Baaz, silahkan googling)
- Sebelum tidur, baca beberapa ayat Al-Qur’an, tiup ke telapak tangan, usapkan ke seluruh tubuh
- Lakukan Tadarrus bersama keluarga
- Perdengarkan murattal Al-Qur’an di rumah-rumah kaum Muslimin.
- Jika berkenan, bisa gunakan metode garpu tala yang penulis lakukan. Silahkan googling untuk metodenya.
- Dan semua cara untuk mendekat kepada Al-Qur’an

Lakukan semua amalan, untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi. Dengan menekankan keyakinan yang teguh bahwa Al-Qur’an adalah syifa’ (obat/penyembuh/penawar). Harus sepenuh keyakinan, saat mendekat ke Al-Qur’an, sudah kuat imunitas tubuhnya. Dan akhirnya bisa beraktivitas seperti biasa. 

Kuncinya ada di Keyakinan. Makin yakin, makin kuat imunitasnya. Efek keyakinan inilah yang akan mengeluarkan hormon2 positif yang berguna bagi imunitas tubuh.

Lakukan kampanye ini, sampaikan dengan lantang bahwa banyak yang sembuh menggunakan Al-Qur’an. Ajak wawancara PDP yang sembuh, tanyakan apakah Al-Qur’an memiliki dampak, lalu ceritanya, viralkan!Semoga setelah itu media mainstream mau juga memberitakan.

Kepada tenaga kesehatan, saya juga menganjurkan agar terbuka dengan cara2 Ruqyah Syar’iyyah. Ketahuilah, bahwa obat fisik bukan satu2nya penyembuh. Diperlukan kekuatan Doa dan keyakinan akan kekuasaan Allah yang lebih dari biasanya. Semoga bisa mendengarkan seruan Prof DR Dr Idrus Paturusi yang menyarankan Qur’anic Immunity ini dilakukan. Yakinkan, dengan metode ini, jumlah nakes yang gugur akan berkurang.

Kepada para pasien, tenanglah. Anda dipilih oleh Allah swt untuk menyandang kampanye ini. Pilihan Anda hanya ada 2. Selamat dan Sembuh sehingga jadi bukti mu’jizatnya Al-Qur’an. Atau kedua, jikapun meninggal mati syahid seperti janji Nabi Muhammad saw. Keduanya indah, jadi tenanglah.

Kepada para pemimpin negeri, pak polisi, tentara, politisi, semoga bisa juga melakukannya untuk perlindungan diri sendiri dan mengajak semua rakyat Muslim kembali yakin kepada Al-Qur’an. Anda akan dapatkan pahala besar dan ganjaran dari Allah, atas kampanye ini.

HASIL AKHIR

Jika kampanye ini benar-benar massif dilakukan, apalagi ada bulan Ramadhan, harapannya saat PSBB berakhir, semua pihak telah menggunakan Qur’anic Immunity sebagai pilihan. 

Hal ini agar kita bisa kembali hidup normal, keluar dari rumah2 kita dengan percaya diri. Namun ada yang berbeda, Al-Qur’an telah menjadi gema yang menggaung di setiap rumah kaum Muslimin. Minimal 2 tahun saja ke depan, sampai covid19 ini berakhir. Tentu harapannya setelah itu berlanjut.

Semoga Allah selamatkan bangsa dan negara kita. Aman semua penduduknya. Dan kembali menjadi Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur. Aaamiiin 3x YRA...

Wassalam,
Nasrullah
Penulis buku Magnet Rezeki dan mengajarkan Keajaiban Al-Qur’an untuk kehidupan.

CATATAN :
- Saran ini tidak menjadikan keputusan pemerintah tidak dilakukan. Penulis meyakini, mengikuti ulil amri juga bagian dari amal shaleh yang wajib dilakukan. Namun berharap para pemimpin bisa membaca dan mempertimbangkan tulisan ini.

Senin, 20 April 2020

Belajar dari kematian sang miliarder



Antonio Vieira Monteiro, president dewan direktur Santander bank Portugal, meninggal dunia setelah dinyatakan positiv terpapar Covid-19, sepulangnya dari Italia.

Kabar kematiannya, tidak penting bagi saya, sebab banyak yang lebih kaya dan lebih kuat darinya juga mati. Yang membuat perhatian saya justru tulisan putrinya di salah satu media sosial.

"Kami keluarga kaya raya berlimpah harta. Tetapi ayahku meninggal dunia seorang diri, sulit bernafas bagai tercekik, sambil mencari sesuatu yang gratis tanpa biaya, yaitu udara segar, sedang hartanya ditinggal di rumah"

Bagi sebagian, tulisan itu mungkin dianggap sekedar keluhan seorang anak yang sedang kalut ditinggal mati ayahnya.

Tapi bagi yang lain, tulisan itu dianggap pesan berharga. Seakan ia ingin berkata: 

"Apa arti bergelimang harta, jabatan dan kekuasaan, jika di saat kematian menjemput tak dapat menyelamatkannya. Bahkan hanya sekedar untuk bisa bernafas pun, harta tak dapat menolongnya"

Konon, orang yang sedang mendekati ajal, terlihat olehnya tiga hal; hartanya, anaknya dan amalnya.

Dia menoleh kepada hartanya dan berkata; "Demi Allah, aku sangat berhati-hati dan bekerja keras untuk mengumpulkanmu, apa yang bisa kamu berikan kepadaku?

Hartanya menjawab; "Ambillah sehelai kafan dariku".

Lalu menoleh kepada anaknya dan berkata: "Demi Allah, aku mencintaimu dan aku yang melindungimu, apa yang bisa kamu berikan kepadaku? 

Anaknya menjawab; "Aku akan mengantarmu ke liang lahat dan aku akan menguburmu"

Kemudian menoleh kepada amalnya dan berkata; "Demi Allah, aku tidak banyak berbuat untukmu dan kamu sangat membebani diriku, apa yang kamu berikan kepadaku? 

Amalnya menjawab; "Aku akan menemanimu di alam kubur dan di hari kebangkitan, hingga aku dan kamu dimintai pertanggung jawaban".

Oh, betapa miskinnya manusia...

Semua yang dianggap berharga di masa hidupnya, telah meninggalkannya, kecuali amalnya.

Beruntung orang yang menggunakan hartanya untuk kebaikan dan mendidik anaknya bermoral. Dan merugi orang yang menggunakan hartanya untuk kejahatan dan membiarkan anaknya tanpa moral...

Terlebih yang mengumpulkan harta dengan korupsi, mengambil hak rakyat dan hak orang lain..

Hidup tidak hanya untuk menumpuk harta, tapi juga untuk menumpuk pahala.

Dalam hidup, tidak hanya berpikir apa yang akan kita dapatkan, tapi juga berpikir apa yang sudah kita berikan...

Saya jadi ingat syair Imam Husain cucu nabi saat di Karbala;

"Apabila dunia dianggap berharga, maka pahala Allah amat berharga dan amat mulia"

"Apabila tubuh diciptakan untuk mati, maka  terbunuhnya seseorang di jalan Allah dengan pedang amat utama".

"Apabila pembagian rizki telah ditentukan, maka sedikitnya keinginan seseorang mencari rizki amatlah indah".

"Apabila harta dikumpulkan untuk ditinggalkan, lalu mengapa seseorang kikir terhadap yang akan ditinggalkan"
Wallahu a'lam..

#Renungansyaban

Rabu, 15 April 2020

Tentang Puisi Paskah itu, Sebuah Penjelasan



Ulil Abshar-Abdalla



SETELAH video yang menampilkan dua santri yang membacakan Puisi Paskah yang saya tulis beredar-luas di sejumlah WAG, muncullah percakapan, perbincangan, pro-kontra yang lumayan seru, terutama di kalangan teman-teman NU. Dalam beberapa hari terakhir ini, saya menerima banyak sekali pesan melalui WA, menanyakan: Apakah benar saya menulis puisi yang dibacakan dalam video itu. Bahkan ada seorang teman NU dari Jawa Timur yang meminta saya agar secara khusus membuat pernyataan, entah melalui video atau tertulis, bahwa sayalah penulis puisi itu.

Tak lama berselang, portal berita Duta dari Jawa Timur menulis laporan mengenai video ini, dan memuat komentar Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, seorang mantan pengurus PWNU Yogyakarta. Dan kemudian percakapan menjadi lebih “seru” lagi. Komentar Prof. Wahab sangat keras menentang puisi itu, dan video pembacaan yang menampilkan dua santri yang masih berusia sangat beli -- santri perempuan memakai jilbab, sementara santri laki-laki memakai baju koko dan peci yang memuat logo NU. Ini adalah gejala “liberalisasi” yang amat berbahaya dalam NU, kata Prof. Wahab.

Saya kira, salah satu sumber kontroversi dalam video ini adalah logo NU dalam peci yang dipakai oleh santri laki-laki itu. Seorang tokoh NU di tingkat pusat menyayangkan, kenapa harus membawa-bawa nama dan logo NU. Saya berandai-andai, jika tak ada logo NU di dalam video itu, mungkin tak akan ada percakapan seru seperti sekarang ini. Mungkin.

Semula saya malas memberikan komentar apapun mengenai soal video ini, meskipun banyak pesan yang masuk ke telepon genggam saya nyaris setiap hari sejak Jumat, 10/4, yang lalu – hari yang dikenal di kalangan umat Kristen sebagai Jumat Agung atau “Good Friday” itu, hari ketika Yesus atau Nabi Isa disalibkan. Beberapa hari ini saya diam saja, dan sama sekali tak tertarik memberikan komentar apapun, selain klarifikasi singkat yang berisi konfirmasi bahwa: Ya, saya menulis puisi itu, sekitar tujuh tahun lalu.

Tetapi, setelah berlalu beberapa hari, saya berubah pikiran: rasanya tidak baik jika saya diam saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis penjelasan ini. Mungkin saja penjelasan ini tak memuaskan semua pihak, terutama pihak- pihak yang memang memiliki “posisi intelektual-teologis” yang berbeda dengan saya, dan cenderung tak menyepakati hal-hal semacam ini. Tetapi bagi saya, itu hal yang tak perlu dirisaukan. Perbedaan pandangan adalah yang lumrah di kalangan umat Islam, termasuk di
 
kalangan nahdliyyin. Difference is a good food for a healthy society, perbedaan adalah makanan yang sehat untuk sebuah masyarakat.


Bagaimana sejarah munculnya puisi ini?

Puisi ini saya tulis sekitar tujuh tahun yang lalu, dan tidak saya niatkan sebagai sebuah puisi. Sebab, semula apa yang belakangan dikenal sebagai “puisi” itu berasal dari twit yang saya tulis persis pada saat momen Jumat Agung. Saya masih ingat, rangkaian twit yang belakangan dikumpulkan oleh seseorang (saya tidak tahu siapa) menjadi puisi itu saya tulis pada suatu pagi, menggunakan Blackberry (sekarang alat ini sudah nyaris “punah”), dan memakai aplikasi yang populer saat itu: Uber Twitter. Saya menuliskan “puisi” itu dengan “penghayatan” yang mendalam. Saya merasa, pagi itu saya seperti mengalami semacam pengalaman “teofani” (tajalliyat) yang mendadak. Setelah twit itu saya siarkan, saya sudah lupa sama sekali. Saya tak menduga bahwa twit-twit itu akan menadi “Puisi Paskah” yang digemari banyak kalangan, terutama teman-teman Kristiani.

Kira-kira setahun atau dua tahun kemudian (saya lupa persisnya), rangkaian twit-twit saya itu kemudian menyebar (bahasa sekarang: viral) pada saat perayaan Paskah sebagai sebuah puisi yang utuh. Saya tak tahu siapa yang mengumpulkan dan merangkai twit-twit itu, dan siapa yang pertama kali menyebarkannya. Sejak itu, puisi itu secara rutin beredar setiap tahun pada saat perayaan Paskah, terutama pada momen Jumat Agung. Saya senang sekali bahwa kawan-kawan Katolik/Kristen menggemari puisi ini. Bahkan ada sebagian kawan Katolik yang berseloroh bahwa ada tiga puisi Paskah: puisi Rendra, Joko Pinurbo, dan puisi saya. Puisi Paskah yang saya tulis tentu menempati posisi yang spesial karena digubah oleh seorang Muslim.


Kenapa saya menulis puisi ini?

Saya, sejak usia muda, saat menjadi aktivis di era 90an dahulu, era ketika Gus Dur masih sangat aktif sebagai intelektual Muslim paling top di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan dialog antar-iman, memang sudah berminat untuk mempelajari dan mengapresiasi tradisi keagamaan dari agama-agama dan kepercayaan di luar Islam. Agama Kristen dan Yahudi termasuk di antara dua agama yang paling menarik perhatian saya. Saya bahkan sengaja belajar bahasa Ibrani secara khusus agar bisa membaca kitab Torah dalam bahasa aslinya – meskipun masih “grothal-grathul”, belum lancar.

Saya memiliki banyak sekali teman-teman Katolik/Kristen, dan saya juga mengagumi sejumlah intelektual yang berasal dari dua tradisi keagamaan itu, seperti YB Mangunwijaya, Franz Magnis Suseno, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Eka Dharmaputera, Th. Sumartana,
A. A. Yewangoe, dll. Karena itu saya tertarik untuk mempelajari keyakian dan tradisi keagamaan yang mereka anut. Saya berpikiran: jika saya berteman dengan seseorang dengan akrab, dan saya tidak mencoba memahami “lebih dalam” tradisi keagamaan dan spirtualitas dia, agaknya kok kurang lengkap.

Puisi Paskah yang saya tulis itu adalah bagian dari cara saya mengapresiasi tradisi keagamaan teman-teman saya yang beragama Katolik/Kristen. Beberapa hari yang lalu, Dr. Ignas Kleden mengirim pesan yang mengharukan via WA kepada sbb:
 
“Mas Ulil yang Budiman, terima kasih buat sajakmu tentang Jumat Agung yang kami rayakan hari ini. Ucapan terima kasih ini bukan lantaran simpatimu yang tulus kepada sebuah peristiwa iman Kristen yang terpenting, tetapi untuk kerendahan hatimu yang bersedia belajar dari mana saja, dari siapa saja, tentang pengorbanan sebagai tanda kasih Allah bagi semua kita. Sudah saya teruskan ke STF Ledalero-Maumere melalui adik saya Romo Leo Kleden.
Penghuninya menyambut hangat puisimu ini. Salam.”

Sedikit selingan soal Dr. Kleden: Dia adalah salah satu intelektual Katolik yang saya kagumi sejak lama. Saya membaca dan menikmati tulisan-tulisan dia sejak masih usia belia, sejak masih menjadi santri di sebuah dusun di Pati: Cebolek. Salah satu tulisan panjang dia yang saya sukai, dan baca berulang-ulang (karena tidak paham!) adalah kata pengantar dia untuk bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan Soedjatmoko berjudul “Etika Pembebasan”. Tulisan-tulisannya yang disiarkan melalui jurnal Prisma pada tahun 80an juga say abaca dengan penuh antusiasme. Adalah kebahagiaan yang luar biasa besar bagi saya, menerima “compliment” dan apresiasi dari intelektual yang saya hormati ini. Saya amat terharu.


Apakah puisi ini tidak melanggar akidah Islam?

Jawaban saya: Tidak. Batas paling penting dalam dialog antar-agama adalah akidah: selama seorang Muslim masih berpegang pada akidah Islam, dia tetaplah seorang Muslim. Mengapresiasi tradisi keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat agama lain, termasuk tradisi perayaan Natal dan Paskah, misalnya, tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam, dan masuk Kristen; sebagaimana seorang Kristen yang mengapresiasi tradisi dan keyakinan Islam, tidak serta-merta menjadi seorang Muslim. Dalam masalah akidah, pembeda paling penting dalam hubungan Islam-Kristen adalah pandangan tentang sosok Yesus atau Nabi Isa. Seorang Muslim mempercayai Yesus sebagai nabi sebagaimana nabi- nabi yang lain, meskipun nabi dengan kedudukan yang amat spesial; sementara umat Kristen meyakini ketuhanan Yesus.

Saya sangat mengapresiasi iman dan tradisi teologi Kristen, dan saya banyak belajar hal baru dari tradisi agama ini. Tetapi saya tetap berpijak pada akidah pokok dalam Islam tentang sosok Yesus ini: Yesus adalah nabi, bukan Tuhan. Dalam puisi Paskah yang saya tulis, tak ada satupun kalimat yang menegaskan bahwa saya menyetujui pandangan Kristen mengenai ketuhanan Yesus. Saya hanya mengapresiasi momen penyaliban Yesus yang bagi saya, sebagai seorang Muslim, bisa dimaknai secara simbolis sebagai simbol “pengorbanan” yang besar.

Agama apapun, bagi saya, memuat simbolisme yang menarik, terutama melalui hari-hari besar yang menandai peristiwa penting dalam agama itu. Peristiwa haji dan Hari Raya Kurban yang sangat penting bagi umat Islam, misalnya, bisa memiliki “makna spiritual” yang mendalam bagi seorang Kristen jika ia berniat untuk, dan mau melakukan refleksi terhadapnya.

Bukankah dalam pandangan Islam, yang disalib di kayu palang itu bukanlah Yesus, melainkan orang lain seperti ditegaskan dalam Qur’an ayat 4:157? Masalah ini sebetulnya tidaklah sederhana, dan jawabannya tidak se-“konklusif” yang kita bayangkan. Yang berminat saya persilahkan membaca artikel lama yang ditulis oleh Prof. Mahmoud Ayoub yang dimuat dalam jurnal The Muslim World (April, 1980) berjudul: “The Death of Jesus:
 
Reality or Delusion – The study of the death of Jesus in tafsir literature.” Saya akan sertakan secara terpisah artikel ini supaya bisa dibaca oleh teman-teman yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh.

Seperti saya katakan dalam puisi Paskah itu, saya sebetulnya tidak terlalu tertarik pada (bukan: dengan) “debat teologi”. Selain melelahkan, debat seperti ini hanya menimbulkan kesalah-pahaman yang kurang perlu, serta kurang kondusif bagi upaya membangun hubungan antar-agama yang harmonis. Saya justru lebih tertarik pada “pemaknaan spiritual” atas momen penyaliban itu: “Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu./ Aku tak tertarik pada debat ahli teologi./ Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.”

Masing-masing umat bisa memberikan apresiasi pada momen-momen keagamaan yang dirayakan oleh agama lain. Hal semacam ini akan sangat positif untuk membangun suasana keagamaan yang dialogis dan saling menghargai. Tentu saja kita tak boleh beranggapan bahwa yang tidak melakukan hal-hal seperti ini, berarti tidak toleran. Sama sekali lagi, tidak. Saya hanya mengatakan: jika ada yang mau dan mampu melangkah “lebih jauh” untuk mengapresiasi tradisi agama lain, itu tindakan yang bagus.

Sekali lagi, saya tegaskan bahwa batas pokok dalam masalah dialog antar-agama adalah akidah. Masing-masing umat beragama berhak memiliki akidah yang berbeda, dan menghargai perbedaan itu. Tetapi perbedaan ini tidak harus menghalangi seseorang untuk mengapresiasi tradisi keagamaan pada agama lain. Bahkan apresiasi semacam ini diperlukan untuk membangun dasar-dasar dialog antar-iman yang lebih kokoh.


Kebablasankah?
: Tentang dakwah rahmatan lil ‘alamin

Sebagian komentar menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dua santri dalam video- clip puisi Paskah itu adalah bentuk “toleransi yang kebablasan”. Saya menghargai komentar semacam ini. Tetapi, dalam pandangan saya, ini bukanlah toleransi yang kebablasan karena masih dalam koridor akidah yang saya kemukakan di atas. Selama seorang Muslim tidak meyakini ketuhanan Yesus, dia tidak melanggar batas. Ini prinsip yang saya pegang. Kalau ada yang berbeda pandangan mengenai hal ini, monggo saja.

Komentar semacam ini tak saya pandang sebagai sikap “tertutup”, melainkan sebagai tanda kecintaan pada Islam. Seseorang yang jatuh cinta secara mendalam pada suatu hal, sangat wajar jika ia bersikap protektif terhadap yang dicintainya. Ini tindakan yang lumrah dan alamiah. Tetapi kiblat saya dalam “cinta” adalah Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sosok yang (sama dengan Ignas Kleden) pikiran-pikirannya sudah mulai saya baca dengan penuh minat sejak masih menjadi santri di kampung.

Gus Dur adalah sosok yang menjadi kiblat saya dalam banyak hal, terutama dalam pemikiran dan tindakan, selain Cak Nur. Di antara sosok-sosok yang lain, Gus Dur menempati posisi yang teramat spesial dalam formasi pemikiran saya secara pribadi. Dia benar-benar “membentuk” saya secara intelektual sejak awal.

Saya dan ratusan, mungkin bahkan ribuan anak-anak muda NU lain yang tumbuh pada tahun-tahun yang sama (dekade 80an dan 90an), banyak belajar dari Gus Dur tentang hal penting: bersikap terbuka dan tidak cemas untuk melakukan “encounter”, perjumpaan,
 
berdialog dengan teman-teman di luar Islam – terutama Kristen/Katolik. Persahabatan Gus Dur yang sangat lekat dengan tokoh-tokoh dari berbagai agama, terutama tokoh Hindu Bali, Ibu Gedong Oka, sangat mengesankan saya dan kawan-kawan lain saat itu. Saya belajar dari Gus Dur tentang mencintai Islam, termasuk mencintai tradisi NU, secara terbuka, bukan “cinta yang protektif” berlebihan.

Tentu saja mereka yang menempuh jalan “cinta protektif” ini tidak salah. Bahkan, seperti akan saya jelaskan lebih detil di bagian penutup tulisan ini, dalam setiap agama harus ada orang-orang yang menjalani “cinta protektif” itu sebagai bagian dari “keseimbangan alam”. Itulah hukum Tuhan di alam raya ini: hukum yang tak akan berubah kapan pun (wa-lan tajida lisunnati-l-Lahi tahwilan, demikian ditegaskan dalam Qur’an).

NU sudah menetapkan jalan dakwah yang sangat penting: yaitu dakwah untuk Islam rahmatan lil ‘alamin. Yaitu jalan dakwah yang menebarkan kasih sayang, rahmat bagi semua pihak. Tentu saja ajaran ini sudah tertuang sejak awal dalam Qur’an, dan dipraktekkan sejak dahulu oleh para wali dan kiai yang mendakwahkan Islam di bumi Nusantara. Tetapi istilah ini menjadi populer kira-kira sejak Muktamar NU di Jombang pada 2015. Saya yakin benar bahwa gagasan ini tidak mungkin lahir jika tidak ada sosok Gus Dur sebagai “game changer”, sosok yang benar-benar mengubah arah orientasi kultural, intelektual, dan politik dalam komunitas nahdliyyin sejak memimpin NU pada 1984.

Tentu saja tidak semua pihak dan kiai di NU ittifaq, menyepakati jalan yang ditempuh oleh Gus Dur. Kritik dan tentangan, “al-naqd wa al-radd”, selalu ada, dan ini adalah hal yang lumrah dalam tradisi NU. Nda usah Gus Dur. Lha wong pendapat-pendapat pendiri NU pun, Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, tidak semuanya disepakati oleh para kiai lain. Kita masih ingat polemik antara Mbah Hasyim dan Kiai Faqih Maskumambang mengenai status boleh tidaknya (dalam kaca mata hukum fikih) menggunakan “al-naqus” atau kentongan sebagai penanda waktu salat. Ikhtilaf dan perbedaan dalam NU adalah hal yang biasa.

Berkat terobosan-terobosan pemikiran oleh Gus Dur, dan berkat jalan dakwah rahmatan lil ‘alamin inilah kemudian kita menyaksikan, saat ini, banyak kiai dan aktivis NU di sejumlah kota dan daerah yang dengan kesabaran dan keberanian luar biasa membangun “jembatan dialog” dengan kalangan di luar Islam. Saya tak mau menyebut nama, tetapi saya tahu ada banyak kiai di berbagai daerah yang menjadi “gus dur-gus dur kecil” yang melanjutkan perjuangan Gus Dur untuk membangun hubungan dengan kelompok di luar Islam. Di Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain – saya melihat kiai-kiai seperti ini.

Langkah-langkah Gus Dur juga diteruskan, misalnya, oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang setiap bulan puasa mengadakan sahur bersama yang melibatkan aktivis-aktivis lintas agama. Sebagian dari kegiatan sahur Ibu Sinta itu bahkan diadakan juga di gereja. Sejumlah tokoh NU bahkan berkunjung ke Vatikan, pusat agama Katolik, dan bertemu langsung dengan Sri Paus. Pertemuan semacam ini disambut dengan hati yang lega oleh teman-teman Kristen karena menandakan adanya ‘alaqat al-tafahum wa al-ikha’, hubungan saling memahami dan persaudaraan yang otentik.

Puncak yang mengharukan dari semuanya, “the crowning moment”, adalah langkah Banser NU yang menjaga gereja pada setiap acara Natal. Seorang anggota Banser bernama Riyanto bahkan meninggal pada Desember 2010 karena menjaga Gereja Eben Haezer di
 
Mojokerto. Saya sempat berziarah ke makamnya. Bagi saya, dia adalah pahlawan toleransi yang patut terus dikenang.

Karena reputasi semacam inilah NU kemudian dianggap sebagai pilar toleransi yang amat penting di Indonesia, selain Muhammadiyah. Nama NU menjadi harum karena sikapnya yang terbuka dan mengulurkan “tangan persahabatan” kepada tokoh-tokoh dari agama lain.
Ini semua tidak mungkin terjadi jika tidak ada sosok bernama Gus Dur yang mengubah paradigma pemikiran dalam NU sejak tahun 80an.

Terobosan-terobosan Gus Dur ini tidak membuatnya lepas kendali dari tradisi NU. Gerakan Gus Dur tetap dalam koridor tradisi NU yang menjulur panjang ke belakang, ke sejarah Wali Songo yang sudah menanamkan benih-benih penghargaan kepada keragaman dan tradisi lokal. Gus Dur meneruskan kebijaksanaan yang luar biasa dari Sunan Kudus yang membangun menara masjid dengan arsitektur Hindu. Apa yang dilakukan teman-teman Banser saat ini adalah meneruskan saja apa yang sudah dimulai oleh Wali Songo dulu: dakwah rahmatan lil ‘alamin.

Salah satu santri yang tampil dalam video itu adalah anak seorang kawan saya, seorang kiai muda di Jakarta. Saya sendiri takt ahu siapa yang memproduksi video ini, tetapi saya menghargai upaya itu. Saya senang ketika santri putera dalam video itu membacakan Puisi Paskah dengan mengenakan peci (simbol kultural warga nadhdliyyin) dengan logo NU. Apa yang dilakukan santri cilik ini setara nilainya dengan keberanian Banser NU menjaga gereja saat Natal yang sudah berlangsung beberapa tahun – dan direstui oleh Gus Dur.


Bagaimana jika ada sikap yang berbeda?

Inilah bagian akhir dari tulisan saya. Bagian ini secara khusus saya akan gunakan untuk menjelaskan pandangan pribadi saya tentang bagaimana menyikapi pendapat yang berbeda dalam umat Islam, terutama dalam komunitas nahdliyyin. Gara-gara video Puisi Paskah ini, saya dibanjiri pertanyaan oleh teman-teman NU tentang bagaimana menjelaskan hal ini kepada masyarakat di bawah. Sebagian penjelasan sudah saya kemukakan di atas. Di bagian ini, saya hanya akan menjawab masalah yang satu ini: Bagaimana jika ada pandangan yang beda?

Video Puisi Paskah ini, seperti sudah saya kemukakan di awal tulisan ini, dikritik oleh Prof. Wahab dari Yogyakarta. Banyak kawan-kawan di NU yang keberatan, meskipun yang setuju juga tak kalah banyak. Saya senang ada kritik atas video dan Puisi Paskah saya ini.
Diskusi pemikiran menjadi hidup, dan percakapan di kalangan warga nahdliyyin berkembang lebih luas. Ini adalah al-hikmah al-makhfiyyah, hikmah yang tersembunyi di balik perbedaan: menghidupkan diskusi pemikiran. Yang tidak tepat adalah jika masalah ini “digoreng” untuk tujuan sensasi.

Saya menganjurkan, setiap perbedaan pemikiran di NU janganlah disikapi dengan cara seperti “kelompok di luar sana” menyikapi perbedaan, yaitu digoreng, diplintir di luar konteks, dibumbui dengan hal-hal lain yang non-pemikiran. Setiap perbedaan pemikiran haruslah dijadikan bahan diskusi dan sarana untuk mengeksplorasi pendapat dan argumen. Menggoreng udang bagus, tetapi “menggoreng” perbedaan untuk tujuan-tujuan yang kurang pas, sama sekali tidak bagus.
 
Di dalam NU, menurut saya, haruslah selalu ada perimbangan antara dua pihak: pihak yang “galak” dan pihak yang “lunak”. Saya menggunakan paradigma yang dipakai oleh Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 1565), seorang ahli fikih asal Mesir, sufi pengikut tarekat Syadhiliyyah dan pengagum pikiran-pikiran Ibn ‘Arabi (w. 1240).

Dalam kitabnya yang banyak di-“balah” atau diajarkan di pesantren-pesatren NU berjudul “al-Mizan al-Kubra”, Imam al-Sya’rani meletakkan paradigma yang penting untuk menyikapi perbedaan mazhab fikih dalam Islam. Gagasan itu saya sebut sebagai Paradigma Sya’ranian yang intinya bisa diikhtisarkan sebagai berikut: Seluruh perbedaan dalam mazhab fikih bisa diperas dalam dua “timbangan” (mizan) besar, yaitu timbangan takhfif (lunak) dan timbangan tasydid (galak). Mari saya kutipkan kalimat Imam al-Sya’rani yang menarik berikut ini:
(Maaf Teks Kalimat Imam al-Sya’rani menghilang)

Secara garis besar, kutipan ini bisa diikhitsarkan sebagai berikut: seseorang yang memahami “mizan” atau timbangan paradigmatik yang dipakai oleh Imam Sya’rani akan “santai” memandang perbedaan di antara para ulama mazhab – perbedaan yang begitu sengitnya sehingga digambarkan oleh beliau sebagai cekcok yang membuat salah satu pihak memandang pihak lain telah keluar dari agama. Dengan timbangan ini, seseorang akan merasa tenang menghadapi perbedaan-perbedaan “keras” seperti itu karena dia mampu melihat hakekat di balik perbedaan tersebut.

Yang dimaksud dengan hakekat di sini adalah bahwa semua perbedaan di antara para ulama bisa dikembalikan kepada dua “timbangan” pokok: timbangan galak dan timbangan lunak. Keduanya, dalam pandangan Imam al-Sya’rani, bersumber dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Imam Sya’rani menyebut timbangan “spiritual” semacam ini sebagal “al- Mizan al-Sya’raniyyah,” timbangan Sya’rani (Sha’ranian scale).

Meskipun timbangan ini dikemukakan oleh Imam al-Sya’rani dalam kerangka perbedaan mazhab fikih, tetapi tak ada salahnya jika kita memakai timbangan atau paradigma Sya’ranian ini dalam masalah-masalah sosial yang lebih luas, terutama dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di lingkungan NU, juga di kalangan umat Islam secara umum.

Dengan menggunakan “al-Mizan al-Sya’raniyyah” ini, saya ingin melihat bahwa tradisi intelektual dalam kalangan NU selalu diwarnai oleh dua model pendekatan dan pendapat: ada pendapat yang galak, ada pendapat yang lunak. Ada mode kiai yang “adaptative” dan lunak seperti Kiai Abdul Wahab Chasbullah; ada kiai yang “rigid” dan keras seperti Kiai Bisri Syansuri. Dalam setiap tahapan sejarah NU, dua model kekiaian ini selalu hadir, dan itu adalah pertanda yang amat baik.

Meskipun saya, secara pribadi, kebutuhan dalam NU untuk pendekatan yang memakai “timbangan takhfif”, lunak, adaptatif, dan kontekstul dalam situasi saat ini jauh lebih besar. Karena itu, saya lebih menyukai jenis pemikiran keagamaan yang mengarah kepada timbangan semacam ini, ketimbang “timbangan yang galak”. Meskipun, demi keseimbangan sosial, timbangan yang terakhir itu haruslah tetap ada. Seperti komentar seorang kiai ketika melihat kontroversi Gus Dur pada tahun-tahun 80an: NU itu seperti bus dengan penumpang besar; sang supir harus tahu kapan menginjak pedal gas, kapan menginjak pedal rem.

Bagaimana seseorang menafsirkan kesimbangan dua pedal ini dalam kehidupan nyata, bisa berbeda pendapat. Sesuatu yang dianggapa “kebablasan” orang tokoh A, belum tentu dipandang demikian oleh tokoh B, dan begitu juga sebaliknya. Sebab, terjemahan keseimbangan ini tidak mengena maksim atau kiadah yang “pasti”; masing-masing orang bisa mengajukan interpretasi yang berbeda. Di sini, terbuka perbedaan pandangan yang luas. Asal berlangsung secara sehat, perbedaan semacam ini sangatlah sehat dan baik-baik saja.

Setiap kelompok sosial dan kebudayaan, agar tetap eksis, membutuhkan dua jenis pendekatan seperti ini. Jika pendekatan yang “galak” dan kaku terlalu menonjol, kelompok itu akan mengalami kebuntuan, karena susah mengadapatasikan diri dengan perubahan.
Tetapi jika yang menonjol hanyalah pendekatan yang “takhfif”, lunak saja, kelompok sosial itu akan kehilangan jati diri, karena terlalu diserap oleh perubahan-perubahan zaman yang cepat. Keseimbangan antara dua “timbangan” inilah yang akan menjamin setiap komunitas tetap eksis, ada, tegak – dia dia beradaptasi, tetapi dengan tetap berpegang ada “core doctrines and values”, akidah dan nilai-nilai pokok.

Falsafah ini sudah tertuang dalam yargon yang sangat populer dalam NU: al- muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah – merawat tradisi lama yang baik, dan mengadopsi inovasi baru yang lebih baik. Sekian.***

Wal-l-Lahu a’lam bissawab.




Jatibening, Rabu, 15/4/2020
 
Ulil Abshar-Abdalla

Puisi Paskah


Ia yang rebah, di pangkuan perawan suci Bangkit setelah tiga hari, melawan mati.

Ia yang lemah, menghidupkan harapan yang nyaris punah.

Ia yang maha lemah, jasadnya menanggungkan derita kita. Ia yang maha lemah, deritanya menaklukkan raja-raja dunia.

Ia yang jatuh cinta pada pagi, setelah dirajam nyeri.
Ia yang tengadah ke langit suci, terbalut kain merah kirmizi
:"Cintailah aku!"

Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu. Aku tak tertarik pada debat ahli teologi.
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.

Saat aku jumawa dengan imanku
Tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu, terus mengingatkanku: Bahkan Ia pun menderita, bersama yang nista.

Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu --
Mereka semua guru-guruku
Yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta.

Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah Jumawa, bagai burung merak. Kalian gemar menghakimi!

Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak.
Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista.

Penderitaan kadang mengajarmu tentang iman yang rendah hati. Huruf-huruf dalam kitab suci, kerap membuatmu merasa paling suci.

Ya, Yesusmu adalah juga Yesusku.
Ia telah menebusku dari iman yang jumawa dan tinggi hati. Ia membuatku cinta pada yang dinista!

Jumat, 10 April 2020

FALSAFAH PERJALANAN DAN AJARAN NAHDLATUL ULAMA




Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah orang yang sudah meninggal: setiap hari dikirimi doa, tumpeng.

 Tapi, hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.


Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.


Ternyata, jaman dulu ada orang belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya C. Snock Hurgronje. C. Snock Hurgronje itu hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in, tapi tidak islam, sebab tuganya menghancurkan Islam Indonesia, karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok mewlawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk, namanya C. Snock Hurgronje. C. Snock Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Tapi C. Snock Hurgronje belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.

Begitu ke Indonesia, C. Snock Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari C. Snock Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya pangeran. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun, tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika C. Snock Hurgronje bingung, dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syeh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa. Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees.

 Orang disini makanannya nasi (sego). C. Snock Hurgronje tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz. Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk, konslet. Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice, padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice. Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego, nasi, disana masih ruz, rice. Begitu diambil cicak satu, disini namanya upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan ajur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat C. Snock Hurgronje judeg, pusing. Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal: (1)kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting), (2)mambu rokok (bau rokok), (3)tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit). Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) C. Snock Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa.

Maka, jangankan C. Snock Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di Arab. Iihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah. Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” (saja). Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”.

Lha, akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini sari pati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia. Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa sedang dalam kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian itu bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit. Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan ada di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-kaya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah. 

Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni. Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. 

Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa beragama hindu. Hindu itu, orang kok ngurusin dunia, kastanya keempat: Sudra. Yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

 Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama. Dibawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. 

Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama. Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia.

 Dibawahnya ada kasta Paria, yang hidup dengan meminta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama.
Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini. Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco. Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang. Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.

Akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo. Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara. Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus. Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau tumbuh Sumanto. 

Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya ngepet. Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet.

Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet. 1500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka dari Turki Utsmani mengirim kembali ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa, namanya Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. 

Di Jawa ini di duduki Syekh Subakir, kemudian mereka diusir, ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. 

Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro. 

Karena Syekh Subakir sepuh, dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi), melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik. Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah.

 Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan. 

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah-kan, diceritain ini. kalau ngeyel, didatangi: tapuk mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di (daerah) Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro. Disana punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.

Nah, Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang. 

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan:
“……………. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi. Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. 

Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau mananam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun, disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan. Kalau sekarang dibalik: akhi, ukhti. Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat.

Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati. Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. 

Bagaimana caranya? Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang.

 Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang. Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo. Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: …ndemok silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat. Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan. Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia. Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,.”fanfuhur ruuh”(maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed.).

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuangya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah. Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer.

 Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta. Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa. Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu, kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar. Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya NUR dengan NAR.

Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo, sabut ngapati, mitoni, ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi. Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa.

Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil: lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya. Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak.

Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya Asmorodono, mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati.

Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh, laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan.
Setelah Dhandanggula, menurut Mbah Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.

 Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain? Khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya.


Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur. Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh: megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.
Terakhir, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung. Manusia di pocong Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. 

Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya: siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nakir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut. Ditanya: “Man rabbuka?”, dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir, karena tidak bisa mengucapkan Allah. Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka. “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti ini itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?”, menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya:”Plaakkk!!”. Di-canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng, takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di-udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol, ajur mumur seperti gedhebok bosok.

 Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tapuk mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok: nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung. Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu. Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah, kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil. Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah).

 Lho, ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.

Disini itu, apa-apa dengan lambang, simbol: kolo-kolo teko, janur gunung. Udan grimis panas-panas, caping gunung.
Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing. Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat ‘imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun. Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebung, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua.

Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang. Padahal tugas imam adalah menunggu makmum. Ditunggu memakai pujian.
Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana, – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin. Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk.

Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro…... Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……., langsung deh, para makmum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allau Akbar, matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. 

Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaanya dilantunkan dengan keras, agar makmum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair:
kanjeng Nabi Muhammad,
lahir ono ing Mekkah,
dinone senen,
rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir. Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing.
Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali.

 Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya.
“Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber.

Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar. Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

 Kalau kepala memangku amanah rakyat kok gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi. Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan. Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan,menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. 

Semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda. Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah.

 Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada pertanggungjawaban. Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggungjawabi disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama. Meski, nama ini tidak gagah. 

KH. Ahmad Dahlah menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in. Tabi’in bukan ashhabus-shahabat, tetapi tabi’in, maknanya pengikut. Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa?

Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari. Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali. Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng. Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath, murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah. Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. 

Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran. Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman.

Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya. Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “Waddluha” keluarnya “Waddluhe”. Orang Turki diajari “Mustaqiim” keluarnya “Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “Lakanuud” keluarnya “Lekenuuik”. Orang Sunda diajari “Alladziina” keluarnya “Alat Zina”. Di Jawa diajari “Alhamdu” jadinya “Alkamdu”, karena punyanya ha na ca ra ka. Diajari “Ya Hayyu Ya Qayyum” keluarnya “Yo Kayuku Yo Kayumu”. Diajari “Rabbil ‘Aalamin” keluarnya “Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga. Orang Jawa tidak punya huruf “Dlot” punyanya “La”, maka “Ramadlan” jadi “Ramelan”. 

Orang Bali disuruh membunyikan “Shiraathal…” bunyinya “Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin”. Di Sulawesi, “’Alaihim” keluarnya “’Alaihing”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran, namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam.

Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut. Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.

Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran. Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung. Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang.

 Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir. Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum,” ada saksinya.
Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran. Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu. Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. 

Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia. Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi.

Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris. Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang. Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama.

Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia. Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja.

Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.(*)