YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Selasa, 31 Januari 2017

Pidato Ketum PBNU di Harlah ke 91 (31 Januari 2017)


PIDATO KEBUDAYAAN KETUA UMUM PBNU KH. SAID AQIL SIRADJ; “BUDAYA SEBAGAI INFRASTRUKTUR PENGUATAN PAHAM KEAGAMAAN”

السلام علیكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الحمد لله ولاحول ولاقوة إلابالله
والصلاة والسلام على رسول الله وعلى ال وصحبه ومن تبع سنته وجمعاعته من یومنا هذا إلى یوم النهضة

Nahdlatul Ulama, merujuk pada penanggalan Masehi, tahun ini berusia 91 tahun. Jika merujuk pada penanggalan Hijriah, maka NU tahun ini memasuki usia yang ke-94. Secara resmi peringatan harlah NU dirayakan pada 16 Rajab 1438 Hijriah. Adapun malam ini kita berkumpul di sini sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt sekaligus juga mengenang dan menapaktilasi perjuangan
pendiri-pendiri Nahdlatul Ulama.

Hadirin yang saya hormati. Tema "Budaya Sebagai Infrastruktur Penguatan Paham Keagamaan" berangkat dari adagium yang sangat terkenal dalam usul fiqh:

العادة محكمة
“Budaya bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan hukum”

Kita juga mengenal hadits:

ما رأه المسلمون حسـنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dianggap baik oleh orang muslim, maka ia baik”

Dalam tradisi madzab Hanafi kita juga mengetahui adagium:

المعروف عرفا كالمشروط شرطا والثابت بلعرف كالثابت بلنص

“Yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebaisaan, sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash”

Pijakan kaidah atau adagium itu bersumber salah satunya dari AlQur’an Surat Al-A’raf ayat 199:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Budaya-budaya lokal bisa diadopsi menjadi bagian dari hukum syariah sepanjang budaya dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Dengan kata lain, proses akulturasi budaya atau sinkretisme budaya dan agama sangat mungkin terjadi dalam ajaran Islam.

Contoh paling kongkret dalam hal ini adalah prosesi tahlil atau kita mengenalnya dengan sebutan “tahlilan” untuk mendoakan orang meninggal dunia yang diambil dari tradisi budaya pra-Islam sebagai wadah, digabungkan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, shalawat serta dzikir pada Allah yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam, sebagai isi dan substansi dari acara tahlil itu sendiri.

Tradisi tahlilan adalah gabungan sekaligus ramuan kreatif antara budaya di satu pihak dan ajaran agama di pihak yang lain. Sebagai budaya, proses tahlilan dari awal hingga akhir (selama tujuh hari berturut-turut, dilanjutkan di hari ke 40, 100 hari bahkan sampai ke peringatan tahunan/haul) merupakan infrastruktur yang berfungsi menguatkan sekaligus mengokohkan pelaksanaan syariat Islam dalam arti membaca fragmen-fragmen penting dari ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Dengan demikian, tahlilan merupakan gabungan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam yang kemudian telah menjadi ibadah ghairu mahdhoh yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Itulah implementasi dari kaidah fiqh: Al 'Adatul Muhakkamah.

Masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa tengah punya tradisi yang unik: mereka tidak memakan daging sapi sampai saat ini karena ingin menghormati para tetangganya yang beragama Hindu. Tradisi itu merupakan warisan yang telah turun temurun dilestarikan Sunan Kudus. Sunan Kudus sangat menghormati tradisi dan budaya masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan yang suci.

Maka, sampai saat ini, sebagai bagian dari menjaga tradisi dan menghargai keragaman dengan semangat toleransi, masyarakat Kudus tidak pernah memakan daging sapi. Banyak contoh lain dari -meminjam istilah Gus Dur- keberhasilan pribumisasi Islam di bumi nusantara ini. Sultan Agung sebagai raja tanah Jawa ketika menggabungkan kalender hijriyah ke dalam kalender Jawa adalah contoh kreasi yang berhasil memberi pemahaman kultur Islam pada rakyat bawah di pedalaman Jawa.

Islam menyebar di bumi Nusantara ini berlangsung secara gradual: pelan tetapi berjalan dengan pasti. Tahap pertama, biasanya hanya berupa konversi menjadi muslim nominal (Islam KTP) terlebih dahulu. Baru kemudian pada tahap kedua, mulailah proses pematangan pemahaman Islam (ortodoksi) setelah memperoleh dukungan infrastruktur berupa budaya lokal. Di sinilah letak kecerdasan para wali dan pengajar Islam masa-masa awal yang memahami sosilogi dakwah dengan memperhatikan karakter dan kultur masyarakat setempat.

Contoh lain, meskipun Kesultanan Demak atau Keraton Mataram amat berperan dalam penyebaran Islam, tetapi tidak serta-merta langsung memberlakukan syari'at Islam pada seluruh penduduknya. Mengapa? Cara gradual mengandaikan, ajaran Islam lebih baik tumbuh sebagai bentuk kesadaran masyarakat (bottom-up), daripada dipaksakan lewat peraturan-peraturan dari atas (top-down).

Dengan cara gradual dan akulturatif ini, Islam diterima sebagian besar penduduk tidak dengan menciptakan masyarakat nusantara yang terbelah sebagaimana terbelahnya antara orang Hindu dengan Muslim di India. Nyaris tidak ada konflik. Islam tersebar dengan sejuk dan damai.

Tarik-menarik secara kreatif antara proses akulturasi dan ortodoksi ini, bukan tanpa mengalami pasang-surut dan macam-macam tantangan. Ketika proses ortodoksi tengah berlangsung intensif yang
dilakukan oleh para wali dan seluruh kesultanan di nusantara, penjajah Portugis dan Belanda datang. Akibatnya, penyebaran ortodoksi Islam menghadapi pembatasan yang sangat luar biasa.

Bentuk hambatan itu antara lain berupa: penghancuran jaringan perdagangan dan dakwah antar pulau di setiap kesultanan nusantara. Hambatan ini pada gilirannya mengurangi peran Islam sebagai kekuatan sosial, kultural, dan juga politik. Namun para penyebar Islam tidak kehilangan cara yang kreatif menemukan solusi, baik yang berkaitan dengan kualitas ilmu agama ataupun yang berkaitan dengan pendalaman spiritual (tasawuf).

Kelak, dunia spiritual di pesantren dan masyarakat pertanian lebih dikenal dengan sebutan tarekat dari pada istilah tasawuf. Proses ortodoksi melalui jaringan pesantren dan tarekat ini berjalan intensif dan tidak mampu dihadang oleh penjajah Belanda, sehingga perannya sangat luar biasa untuk keberhasilan islamisasi berlatar belakang budaya di nusantara ini.

Dengan segala pasang surut dan berbagai tantangannya, Islam berbasis kultur setempat itu kemudian bermetamorfosa (menjelma) menjadi bagian penting sebagai penyumbang paham keagamaan dan kebangsaan. Kita mengenal mars lagu "hubbul wathan minal iman" yang sangat populer di kalangan masyarakat NU, itu adalah indikasi kuat bahwa paham keagamaan yang berlatar belakang infrastruktur budaya telah nyata-nyata menjadi jembatan bersemainya paham kebangsaan.

Tokoh-tokoh mulai dari HOS Tjokroaminoto, Bung Karno, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri serta banyak tokoh lain telah memberi arti dan makna yang dalam atas kontribusi mereka menjembatani antara paham keagamaan dan paham kebangsaan.

Jika Imam Syafi’i berhasil meramu teks dengan rasio menjadi produk yang monumental, yaitu ijma’ dan qiyas, maka Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mampu meramu islam dan nasionalisme menjadi spirit kabangsaan yang teribingkai dalam diktum yang terkenal:

حب الوطن من الإيمان
“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”

Keberhasilan ini tidak ditemui di kawasan-kawasan muslim yang sebelumnya pernah mengalami masa kejayaan paham negara  khilafah di masa lalunya seperti di Negara-negara kawasan Arab pada umumnya. Di kawasan-kawasan itu, sistem negara khilafah yang utopis masih terus didambakan, dicari legitimasi pembenarannya bahkan terus dijajakan dan diimpor ke negeri-negeri lain. Tak terkecuali, ke negeri yang kita cintai ini.

Paham negara khilafah seperti ini serta paham ekstrem yang cenderung gampang menyalahkan dan mengafirkan terhadap mereka yang tak sepaham dengannya, sangatlah berbahaya dan akan mengancam eksistensi paham keagamaan dan kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah bahkan penuh dengan perjuangan darah oleh para founding fathers bangsa ini.

Kesetiaan menjaga tradisi dan sekaligus terus berupaya mengembangkan penemuan-penemuan yang inovatif ini adalah prinsip yang dianut oleh Nahdlatul Ulama ini. Kita mengenal prinsip:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بلجدید الأصلح
“Menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi”

Hadirin yang saya hormati. Kita sekarang sudah menikmati hasil dari titik-temu antara paham keagamaan dan paham kebangsaaan. Yaitu, berupa kemerdekaan negara ini yang dilanjutkan dengan episode-episode pembangunan politik yang berliku, hingga kita rasakan sistem politik demokrasi seperti yang ada sekarang.

Dari situlah saya sebagai Ketum PBNU membayangkan, bermimpi dan bercita-cita: kapan sistem politik demokrasi prosedural ini bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil. Bisakah demokrasi prosedural ini mensejahterakan rakyat, menghilangkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang hingga sekarang masih menganga (indeks gini rasio: 0,41% dari produk domistik bruto/PDB).

Kapan sistem politik demokrasi kita bisa mewujudkan ekonomi yang bukan saja tumbuh dan berkembang, namun juga yang lebih penting adalah merata. Al-Qur’an menegaskan dalam surat Al-Hasyr ayat 7:

كي لايكون دول بين الأغنیاء منكم
“Janganlah harta hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian”

Kesejahteraan yang dihasilkan oleh sistem politik prosedural itu, disebut sebagai: demokrasi substansial. Mengapa demikian? Tak lain karena aspirasi rakyat yang dikelola oleh para wakilnya di parlemen telah berubah menjadi undang-undang dan peraturan yang memihak kepada rakyat. Bukan memihak konglomerat.

Bukan berarti kita tidak setuju dengan adanya konglongmerat. Kita setuju dengan adanya konglongmerat, namun konglomerat yang terus borkomitmen untuk mendorong kemajuan ekonomi kreatif, mengangkat ekonomi kaum miskin, dan juga komitmen terhadap terciptanya kelas menengah baru demi tercipatanya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Konglemerat yang demikian itu adalah konglomerat yang sesuai dengan isi hadis:

ليس منا من لم یوقر كبيرن ولم يرحم صغيرن
Artinya: "Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang muda di antara kami dan tidak menghormati orang yang tua"

Begitu pula, pemerintah yang dipilih rakyat mulai dari presiden,gubernur, bupati/walikota harus terus membuat kebijakan-kebijakan yang selalu bermuara kepada kesejahteraan rakyat.

Ke depan, pemerintah harus lebih hadir dan bekerja keras untuk bukan saja memajukan dan menumbuhkan, namun juga memeratakan pembangunan demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Negara, sekali lagi, harus hadir di dalam kehidupan masyarakat. Yang demikian itulah sesungguhnya dalam bahasa kaidah fikih disebut dengan:

تصرف الإمام على الرعیة منوط بلمصلحة
“Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus didasarkan kepada kemaslahatan”

Hadirin yang berbahagia;

Adalah Nahdlatul Ulama, jauh sebelum Indonesia merdeka pada muktamar 1936 di Banjarmasin menyatakan bahwa Indonesia adalah Darussalam.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang para pemimpinnya terlibat aktif membidani kemerdekaan Indonesia. Melalui BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang menyerukan resolusi jihad 22 oktober 1945, kewajiban mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang berdiri terdepan melawan PKI pada tahun 1965 menyelamatkan Pancasila.

Adalah Nahdlatul Ulama, di era orde baru menjadi ormas yang pertama kali menerima Pancasila sebagai asas tunggal

Adalah Nahdlatul Ulama, yang terlibat aktif melahirkan era reformasi.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang menolak radikalisme agama dan sentiment SARA, yang kini mengancam keutuhan NKRI.

Adalah Nahdlatul Ulama, yang puluhan juta warganya istiqomah membentengi Indonesia dari ekstrimisme kiri maupun ekstrimisme kanan

Adalah Nahdlatul Ulama, payung besar tegaknya toleransi beragama di Indonesia

Adalah Nahdlatul Ulama, yang genap berusia 91 tahun pada 31 Januari 2017, dan tidak pernah sekalipun melakukan bughat/makar terhadap Pancasila dan NKRI.

Inilah Nahdlatul Ulama, meski dibully, difitnah dan dicaci tetap berdiri membela NKRI.

Sahabat dan Saudaraku sekalian. Marilah melayani Nahdlatul Ulama seikhlas NU melayani NKRI.

شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله الموفق إلى أقوم الطریق
والسلام علیكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, 31 Januari 2017
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA

Senin, 30 Januari 2017

TAUJIHAT SIDOGIRI MENYIKAPI KEGAMANGAN UMAT

Pagi itu tepatnya di Pondok Pesantren Ashri Jl. Kyai Ahmad Siddiq Jember, telah diadakan pertemuan yang dilaksanakan oleh Majlis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri secara langsung.

Sekitar hampir 200 undangan dari berbagai penjuru kota jember dimana mereka tediri dari para wali santri maupun saudara yang mewakilinya untuk hadir, mereka dengan tertib mengikuti acara mulai jam 9 pagi sampai menjelang sore.

Selain menjaring aspirasi para wali santri yang anaknya sedang mencari ilmu di Pondok Pesantren Sidogiri, Majelis keluarga tak lupa selalu mengingatkan para santri, wali santri, alumni dan para simpatisan serta umat islam pada khususnya akan kondisi zaman yang sudah tidak teratur.
Ada beberapa hal yang paling ditekankan oleh majlis keluarga dalam maklumat yang sekaligus sebagai ultimatum bagi siapapun yang melanggar garis tegas yang diberikan oleh Sidogiri, yang salah satunya adalah soal aqidah supaya lebih kuat dan waspada dalam menjaganya, untuk diri dan anak anak generasi penerus.

Sidogiri mengambil langkah tegas dengan memutus ikatan dan hubungan bagi para Santri, Alumni dan simpatisan yang sedang menjalin kerjasama ranting atau non ranting, yang memilih pemimpin kafir ditengah mayoritas muslim, dan menerima bantuan dari lembaga non muslim untuk pesantren, walaupun didalam lembaga tersebut baik secara struktural maupun dukungan moral ada Tokoh Nahdlatul Ulama yang sedang saat ini menjabat sebagai Ketum PBNU,
Sidogiri tidak peduli hal itu, diakhir pembacaan maklumat yang ditulis oleh Majlis Keluarga PPS menyampaikan ibarat dari atsar Sahaba Ali bin Abi Thalib KW, Bahwa “Ukuran kebenaran itu tidak melihat tokoh dan perorangan, akan tetapi pada kesimpulannya semua ada dasarnya” yaitu Alquran dan Hadits yang telah jelas dan diperjelas lagi oleh para imam mujtahid yang diakui umat islam ahlussunnah wal jama’ah pada khususnya.

Berikut sebagian point pokok transkrip maklumat dari Majlis Pondok Pesantren Sidogiri :

Harus kita sadari Kita semua semua bersusah payah memondokkan anak kita ke sidogiri agar bener aqidahnya baik amaliahnya serta bersih hatinya.
hal hal lain diluar itu bukanlah tujuan.

Untuk mencapai semua itu pintu pertama yang harus dilalui yaitu ilmu pengetahuan keagamaan yang bersumber dari para ulama yang bisa dipercaya.

Tidak mungkin seorang bisa benar aqidahnya baik amaliahnya serta bersih hatinya jika tidak dibekali dengan ilmu yang cukup
Sebab untuk mengetahui mana aqidah yang benar dan mana aqidah yang bathil sangat diperlukan ilmu
Kita tidak bisa menyatakan bahwa yang ini benar dan ini yang bathil dengan tanpa dilandasi oleh ilmu,

Begitu pula untuk membedakan mana yang amal yang baik mana amal yang buruk harus dilandasi oleh ilmu.

Untuk menyatakan bahwa ini wajib ini sunnah ini mubah, ini makruh dan ini haram semua itu ada ilmunya.
Bahkan untuk mengukur apakah perasaan yang ada dalam hati kita itu perasaaan yang baik ataupun perasaan  yang buruk itupun harus dilandasi oleh ilmu.
Jika tidak dilandasi oleh ilmu yang cukup maka sangat mungkin penilaian itu akan tertukar, aqidah benar dianggap sesat, dan yang sesat dianggap benar, yang haram dianggap wajib dan yang wajib dianggap haram, orang yang sesat dianggap wali, dan yang wali dianggap sesat.

Ini semua terjadi ditengah tengah kehidupan beragama kita di negri ini.
Masyarakat awam menjadi bingung karena pandangan keagamaan para pemuka agamanya yang sudah bermacam macam,
Akhirnya mereka memilih untuk mengamalkan agama sesuai dengan selera.
Ajaran agama yang tidak sesuai dengan selera mereka tolak, dan sebagai gantinya mereka menganggap selera mereka sebagai ajaran agama,
Mana yang benar dan mana yang salah sudah bercampur baur tidak karuan, mereka semua bisa bebas berbicara tentang agama melalui publikasi yang sangat mudah untuk saat ini,

Ini adalah realitas yang terjadi ditengah tengah kita.
Maka melalui pertemuan ini kami ingin mengetuk hati bapak bapak wali santri sekalian untuk menyadari terhadap gentingnya kondisi aqidah saat ini, kita berada dalam kondisi yang darurat syariah disamping darurat akhlaq.

Oleh karena itu untuk sementara waktu selama anak anak kita berada di pondok pesantren sidogiri mari kita sampingkan dulu keinginan keinginan yang lain terkait dengan anak anak kita, fokuskanlah niat untuk membentuk mereka untuk menjadi anak anak yang benar dan baik, saat kita menginginkan satu hal, maka harus ada keinginan keinginan lain yang kita tinggalkan.

Jangan terlalu risau dengan masa depan duniawi anak anak kita, tapi pikirkanlah dengan sungguh sungguh bagaimana nasib mereka akhiratnya, agar kita berada dijalan yang benar dalam membawa anak anak kita maka harus senantiasa kita rekatkan dalam hati bahwa Allah telah menjamin rizki mereka, tapi allah tidak pernah menjamin sorga mereka.
Apa yang sudah ditanggung tidak usah kita risaukan tapi yang tidak ditanggung harus selalu menjadi beban pikiran bukan malah sebaliknya.

Oleh karena itulah Pondok Pesantren Sidogiri memilih tafaqquh fiddin, (faham betul soal agama) sidogiri mengurus ilmu agama bukan karena ilmu ilmu yang lain tidak penting tapi karena ilmu agama harus menjadi landasan pokok seseorang dalam menekuni bidang apapun,

Bagi kami tidak masalah anak anak Sidogiri menjadi apapun selagi mereka tetap istiqomah di jalan yang lurus dalam kehidupan agama.

Baru baru ini majlis keluarga Pondok Pesantren Sidogiri telah mengeluarkan maklumat penolakan masuknya Yayasan sosial milik non-muslim ke pesantren pesantren, Sidogriri juga akan memberikan sanksi kepada alumni atau instansi binaan Pondok Pesantren Sidogiri yang mendukung calon pemimpin non-muslim didalam wilayah mayoritas muslim atau menerima masuknya Yayasan Sosial milik non-muslim.

Orang orang diluar mungkin saja menganggap Sidogiri terlalu ekslusiv atau bahkan extrim, mereka lupa bahwa Sidogiri meletakkan aqidah diatas segala-galanya , Sidogiri konsisten mengambil langkah tegas terhadap hal hal yang berpotensi membahayakan aqidah umat, sidogiri telah menerbitkan sekian banyak buku polemik ilmiah mengenai berbagai aliran dan aliran pemikiran menyimpang yang ada ditengah tengah kita saat ini seperti syiah wahabi islam liberal kebatinan dan lain sebagainya.

Kita serius dalam mengambil langkah itu, sebab saat ini sudah banyak orang yang tabu membicarakan aqidah.

Orang orang yang membela agama atau tegas dalam masalah aqidah dianggap sebgai islam garis keras dan intoleransi,
Sedangkan orang orang yang tidak peduli terhadap agama dan orang orang yang mengorbankan agama untuk kepentingan duniawi dianggap sebagai islam yang rahmah , ramah dan santun.

Dalam masalah aqidah kita harus tegas, sementara dalam hubungan  sosial kita harus membinanya sesuai dengan kemaslahatan
Islam mengajarkan kita untuk hidup damai dengan orang yang berbeda agama sekalipun, tapi jangan sampai membenarkan keyakinan mereka, maka jangan sampai terjadi mencampur aduk ajaran hanya karena alasan menjaga keharmonisan, agama kita melarang hal itu.

Damai itu adalah kedewasaan kita dalam menyikapi perbedaan bagaimana sekiranya realitas perbedaan tidak menimbulkan konflik sosial, damai itu bukan membiarkan hal hal yang salah, apalagi membenarkannya. Sangat penting bagi kami menegaskan hal ini karena akhir akhir ini banyak pihak nyang melakukan pendangkalan aqidah dengan alasan toleransi. Tentu saja hal itu tidak bisa kita benarkan. Toleransi harus kita jaga, kemajemukan harus kita akui, tapi bukan dengan mengorbankan aqidah kita apalagi membenarkan semua agama.

Melihat kondisi yang sangat menghawatirkan ini maka ktia harus membekali anak anak kita dengan ilmu agama yang mapan agar memeiliki pedoman yang kokkoh dalam mengukur segala sesuatu sehingga m3ereka tidak fanatik buta terhadap organisasi dan tokoh tapi fanatik yang kuat kepada kebenaran dan kebaikan.

Konon Sayyidina ali bin abi thalib pernah menyatakan “ jangan mengukur kebenaran dengan orang tapi ketahuilah teerlebih dauhulu mengenai apa yang benar, maka engkau akan tahu siapa yang benar.
Sekali lagi anak anak kita harus memiliki bekal yang jauh mapan dari kita, karena mereka akan menghadapi tantangan zaaman yang jauh lebih berat daripada zaman kita.

Semoga allah melindungi kita dan anak anak kita serta memudahkan jalan mereka dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, meniru para ulama dalam berlatih menyiapkan diri agar menjuadi generasi yang berguna bagi agama dan masyarakat.
Semoga mereka bisa meringankan beban kita atau bisa membantu kita kelak di akhirat nanti,
Semoga Allah membuka hati anak anak kita sehingga tertanam di hati mereka kecintaan terhadap ilmu dan kemauan untuk mengamalkannya semoga allah menghindarkan anak anak kita dari kenakalan remaja yabng kini telah begitu biasa , menghindarkan mereka dari pergaualan bebas dari makan nan minum minuman terlarang dan dari lingkungan yang buruk yang bisa menyeret mereka ke lembah keburukan, semoga kita sekalian dianugerahi riszki yang mudah dan berkah sehingga rizki itu membawa kebaikan dan ketenangan hidup bagi kita sekeluarga serta menjadi rizki yang memotivasi anak anak kita untuk bersemangat dalam mencari ilmu smoga anak anak kiita menjadi anak soleh yuang menjadi buah hati dan buah mata bagi kita didunia dan di akhriat semoga keluarga kita dijadikan keluarga yang tentram dalam kebaikan dan terang dalam keimanan.

Amin ya robbal alamin

Wassalamualaikum wr wb

Kami majlis keluarga Pondok Pesantren Sidogiri

D. Nawawi Sa’dulloh

Diposkan oleh KOMPAK MEDIA

Minggu, 29 Januari 2017

Dawuh Hikmah Maayayikh Lirboyo

* Yang penting NGAJI !!! Walaupun anaknya seorang tukang ngarit tapi mau ngaji, ya akan pinter. Anaknya orang alim tapi tidak mau ngaji, ya tidak akan pinter. YANG PENTING NGAJI SING TENANAN. - ( K.H Abdul Karim )

* Doakan aku supaya jangan dulu meninggal sebelum bisa puasa selama 9 tahun seperti Mbah Khalil. Dan doakan aku juga supaya diakui santrinya Mbah Khalil. - ( K.H Abdul Karim )

* Yang dinamakan santri yang manfaat ilmunya adalah santri yang ilmunya bisa menuntun mereka meraih ridho Allah. Masalah keadaan tiap-tiap santri di rumahnya kelak, terserah gusti Allah. -
( K.H Marzuqi Dahlan )

* Jangan sekali-kali kalian menyakiti hati orang tua. terlebih-lebih ibu. Karena menyebabkan ilmunya tidak bermanfaat. - ( KH. Marzuqi Dahlan )

* Jika ingin tujuanmu tercapai, jangan makan nasi alias ngerowot. -
( K.H Marzuqi Dahlan )

* Banyak dan sedikitnya ilmu itu sebuah amanat jadi harus disebarkan. -
( K.H Marzuqi Dahlan )

* Ingat kalau kamu jadi pemimpin, tolong hindari 2 masalah. Pertama, jangan sampai mata duitan. Kedua, jangan tergoda perempuan. Kalau bisa bertahan dari dua hal ini insyaallah selamat. -
( K.H Mahrus Ali )

* Ngajarlah ngaji !!! Kalau nanti kamu tidak bisa makan, kethoken kupingku. -
( K.H Mahrus Ali )

* Nabi Sulaiman itu sukses dalam 90 th dan Nabi Nuh sukses dalam waktu 900 th. Tetapi di dalam Al Quran yg disebut ulul 'azmi adalah Nabi Nuh. Ini menunjukkan perjuangan dilihat dari kesulitan, bukan dari jumlah murid. -
( K.H Mahrus Ali )

* Saya dulu waktu di pondok tidak pernah membayangkan akan jadi kyai, tidak pernah membayangkan akan menjadi orang kaya. Akhirnya menjadi orang mulia seperti ini saya takut. Jangan-jangan bagian saya ini saja, diakhirat tidak dapat bagian apa-apa. -
( K.H Mahrus Ali )

* Kalau ingin hidup mulia hormati orangtua, khususnya ibu. -
( K.H Mahrus Ali )

* Orang yang mempunyai ilmu sambil di riyadlohi dengan yang tidak di riyadlohi itu hasilnya beda. Riyadloh yang paling utama adalah istiqamah. -
( K.H Mahrus Ali )

* Orang ingin sukses itu kuncinya menghormati istri. -
( K.H Mahrus Ali )

* Barang siapa yang tidak mati karena pedang, maka ia akan mati dengan sebab musabab lain. Sebab musabab kematian itu banyak, namun mati cuma sekali. -
( K.H Maksum Jauhari )

*Banyak orang yang ilmunya sedang-sedang saja Tapi betapa hebat manfaat & barokahnya karena ditunjangi oleh sifat tawadhu’ dan banyak khidmah tholabul ‘ilmi. -
( KH. Makshum Jauhari )

* Menghormati guru harus menghormati apa yang dimiliki guru. -
( K.H Maksum Jauhari )

* Empat perkara untuk menjadi hamba Allah yang haqiqi adalah adab, ilmu, sidqu, dan amanah. -
( K.H Imam Yahya Mahrus )

* Santri kok pacaran berarti santri gadungan. Pernikahan yang berangkat dari pacaran biasanya tidak bahagia, karena saat pacaran yang di perhatikan hanya kebaikannya saja. Dan yang jelas menurut Islam pacaran itu dilarang. -
( K.H Ahmad Idris Marzuqi )

* Walaupun dirumah sudah menjadi tokoh masyarakat, bahkan menjadi wali. Kalau belum mengajar, masih kurang disenangi oleh mbah Abdul Karim. -
( KH. Ahmad Idris Marzuqi )

* Orang yang ahli baca shalawat dzuriah dan anaknya akan gampang menjadi orang alim. Shaleh akhlaq dan tingkah lakunya. Kecerdasannya itu lain -
( K.H Ahmad Idris Marzuqi )

* Ketika belajar di lirboyo jangan pernah putus asa apapun yang terjadi. -
( K.H Ahmad Idris Marzuqi )

* Santri kalau pulang harus bisa menjadi seperti paku yang bisa menyatukan berbagai lapisan masyarakat, MESKIPUN DIRINYA TAK TERLIHAT. -
( K.H Abdul Aziz Manshur )

* Lisan hanya wasilah, dakwah sebenarnya (dengan) hati. -
( KH. Abdul Aziz Manshur )

* Jangan dikira umat islam benci dengan orang budha, tapi maksudnya.yang dibenci adalah agamanya. -
( KH. Abdul Aziz Manshur )

* Berbuatah kebaikan sesuai dengan keahlianmu. -
( KH. Abdul Aziz Manshur )

* Kekuatan manusia terbatas. kewajiban kita, ikhlas dan berdoa. jangan cuma, "Saya harus bisa begini" -
( KH. Abdul Aziz Manshur )

* Puncak dari segala kenikmatan adalah meninggal dalam keadaan menetapi iman dan Islam. -
( KH. Abdul Aziz Manshur )

* Birrul walidain itu caranya bukan berarti orangtua kok di gendong ke sana ke sini. Tapi yang terpenting jangan menyakiti hati orangtua. -
( K.H Anwar Manshur )

* Hidup didunia ini kok terkena cobaan, jangan heran. itu sudah menjadi ketentuannya. -
( KH. Anwar Manshur )

* Amalkanlah ilmu yang kalian peroleh sambil tetap mencari ilmu.Karna mencari ilmu itu tetap diwajibkan sampai akhir hayat. -
( KH. Anwar Manshur )

* Kita hrs benar-bemar ikhlas dalam berjuang. Jangan sampai mengharapkan pamrih dari segala sesuatu yang kita sumbangkan kepada msyarakat & bangsa. - ( KH. Anwar Manshur )

* Harganya seseorang adalah ilmu dan pengamalannya. -
( K.H Anwar Manshur )

* Sebaik-baiknya orang itu, orang di ajak maling, malingnya malah sadar. Sejelek-jeleknya orang, orang di ajak maling malah ikut jadi maling. Jangan mudah terbawa zaman, sekarang sudah tidak karuan. Jangan ikut-ikutan tidak karuan. -
( K.H Anwar Manshur )

* Orang sukses dan alim tentu ada hubungan dengan orangtua dan kakeknya. - ( K.H Abdullah Kafabihi Mahrus )

* Perjuangan membutuhkan pengorbanan. kejayaan membutuhkan perjuangan. -
( KH. Abdullah Kafabihi Mahrus )

* Syaithon mengoda dengan cara apapun. Kadang dengan pemikiran. Ini yang berbahaya, maka tafakkur harus didasari ilmu. -
( KH. Abdullah Kafabihi Mahrus )

* Yang bertanggung jawab terhadap NU adalah santri, karena NU lahir dari kalangan pesantren. -
( K.H Abdullah Kafabihi Mahrus )

* Yang serius belajarnya !!! Mumpung masih muda. Kalau sudah tua pasti nambah repot, karena tidak ada orang tua yang tidak repot. -
( K.H Habibullah Zaini )

* Jangan takut ketika tidak bisa bekerja, tapi takutlah ketika hanya bisa bekerja. Pendidikan di lirboyo bukan untuk bekerja, tapi untuk dakwah. -
( K.H Ma'ruf Zainuddin )

* Harus punya tanggung jawab, kewajiban orang yang mencari ilmu harus belajar. Kewajiban orang yang mempunyai ilmu harus mengajar. -
( KH. Ma'ruf Zainuddin )

* Ilmu itu amanah, harus dipegang teguh dan disampaikan kepada yang berhak. - ( KH. Rofi'i Ya'kub.)

Smg bermamfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua....

Sabtu, 28 Januari 2017

Pahamilah Sejarah NU


Oleh Maulana Habib Luthvi bin Yahya

Ulama-ulama Indonesia di Haromain: Embrio NU di Indonesia

Banyak di antara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda.

Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.

Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal-usul atau awal mulanya KH. Hasyim Asy’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlussunah wal Jama’ah harus diberi wadah di Indonesia ini.

Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlussunah wal Jama’ah bukan semata-mata KH. Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dhoruri, wajib mendirikan sebuah wadah.

Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.

Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai dan perannya dalam menyemarakkan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil.

Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ‘ilmi Syari’ah fi thoriqoh wa fi ‘ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf.

Diantaranya dari Sambas, Ahmad bin Abdus Shamad Sambas. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kiyai Tholhah Gunungjati Cirebon.

Kiyai Tholhah ini adalah kakek dari Kiyai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiyai Syarifudin bin Kiyai Zaenal Abidin bin Kiyai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih.

Adik seperguruan beliau diantaranya Kiyai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiyai Kholil lahir pada tahun 1227 H.

Dan diantaranya murid-murid Syekh Ahmad Sambas yaitu Syekh Abdul Qodir al-Bantani, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber dan Kiyai Asnawi Banten.

Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiyai Nawawi al-Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayyid Ahmad an-Nahrowi al-Banyumasi. Beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125.

Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Sayyid Ahmad an-Nahrowi al-Banyumasi.

Syekh Abdul Qadir al-Bantani murid lain Syekh Ahmad bin Abdus Shamad Sambas, yang mempunyai murid Kiyai Abdul Lathif Cibeber dan Kiyai Asnawi Banten.

Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayyidi Syekh Ubaidillah Surabaya. Beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiyai Abu Ubaidah Giren Talang Tegal (Ponpes Attauhidiyyah), terkenal sebagai Imam Asy’ari-nya Indonesia.

Dan melahirkan seorang ulama auliya besar, Sayyidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayyidi Syekh Muhammad Abdul Malik.

Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim di Haromain yang mengajak adalah Kiyai Abu Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubai, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantara murid-muridnya lagi di Mekah adalah Sayyidi Syekh Abdullah Tegal.

Lalu Sayyidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayyidi Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdush Shamad al-Bimawi, dan Sayyidi Syekh Abdullah dan Sayyidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiyai Mahfudz dan sebelum Kiyai Dimyati.

Di jaman Sayyidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayyidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayyidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen.

Inilah ulama-ulama indonesia di antara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin Jogja, Kiyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain.

Seharusnya kita bangga dari warga keturunan banagsa kita cukup mewarnai di Haromain, beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa.

Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Abdul Malik yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun. Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz at-Turmudzi.

Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU. Kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja.

Jadi kita harus tahu dari mana saja ajaran Ahlussunah wal Jama’ah yang diambil oleh Syekh KH. Hasyim Asy’ari.

Bukan sembarang orang tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya, dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa.

Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlussunah wal Jama’ah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husein berkuasa di Hijaz), khususunya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah.

Kemudian hal itu di pikirkan oleh KH. Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.

Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi narasumber-narasumbernya.

Beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.

Akhirnya diistikhorohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus KH. Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemui dua orang di Indonesia.

Kalau dua orang ini mengiakan jalan terus, kalau tidak jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kholil Bangkalan.

Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke-5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M untuk menghormati Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa.

Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh.

Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana?

Dari seorang yang sholeh, Kiyai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiyai Irfan, Kiyai Abdul Fatah dan Kiyai Abdul Hadi. Kiyai Irfan bertanya pada saya:

“Kamu ini siapanya Habib Hasyim?”.

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi:

“Ini cucunya Habib Hasyim Yai”.

Akhirnya saya diberi wasiat: “Mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiyai Hasyim Asy’ari datang ke tempatnya Mbah Kiyai Yasin, Kiyai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Di situ diiringi oleh Kiyai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan.

Lalu bersama Kiyai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata:

“Kyai Hasyim Asy’ari, silakan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlussunah wal Jama’ah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis.”

Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kiyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiyai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiyai Kholil Bangkalan. Kemudian Mbah Kiyai Kholil bilang sama Kiyai Hasyim Asyari:

“Laksanakan apa niatmu saya ridho seperti ridhonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong nama saya jangan ditulis.”

Kata Kiyai Hasyim Asy’ari ini bagaimana Kiyai, kok tidak mau ditulis semua. Terus Mbah Kiyai Kholil menjawab:

“Kalau mau tulis silakan tapi sedikit saja

Itu tawadhu’nya Mbah Kiyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.

Inilah sedikit perjalanan Nahdlatul Ulama (NU). Inilah perjuangan pendiri Nahdlatul Ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang demikian itu tolong ditulis.

Agar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu?
Apa sih Ahlussunah wal Jama’ah itu?
Lha ini permasalahan kita.

Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan adalah dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.     #harlahNU

Habib hanya diakui di NU

Baru saya ketahui dari Muslimoderat,net bahwa salah satu ketua umum MUI di masa Pak Harto, yakni K.H. Hasan Basri (konon ini dimuat di surat kabar harian Terbit tahun 1983) mengatakan, “Tidak ada anak keturunan Rasulullah di Indonesia bahkan di dunia karena sudah dinyatakan terputus dikarenakan tidak adanya lagi keturunan Hasan dan Husein.”

Terang saja pernyataan ini membuat para ulama khususnya para habaib tidak menerimanya. Al-Habib Muhammad Al-Habsyi Kwitang, yang pada waktu itu dalam keadaan sakit, meminta kepada Habib Nauval bin Jindan untuk tampil membela kehormatan anak cucu Rasulullah saw. Dan peristiwa tersebut boleh dikatakan peristiwa terdahsyat atas fitnah yang ditujukan kepada para habaib, sampai memakan waktu lebih dari dua tahun peristiwa tersebut masih hangat diperbincangkan. Sampai-sampai sebuah majalah mengeluarkan berita di sampul utamanya dengan judul “APA JASAMU HAI PARA HABIB”.

Habib Nauval dari satu mimbar ke mimbar lainnya menyeru kepada para ulama, “Hai kalian para ulama, bangkit kalian jangan mau diperalat oleh siapapun. Kami para habaib tidak butuh pengakuan. Tapi kalau kalian hanya diam atas fitnahan terhadap kami, sesungguhnya kalianlah yang paling rugi serugi-ruginya.”

Sedangkan Gus Dur, yang menyempatkan hadir di Pondok Pesantren al-Fachriyah di Cileduk sekitar tahun 1984, di antara pidato yang disampaikan adalah, “Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu koral. Dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil. Mereka para cucunya Rasulullah Saw. datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar. Dan hanya orang-orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.”

Kedatangan beliau memberi dukungan kepada al-Habib Nauval bin Salim bin Jindan yang sedang menentang pimpinan MUI waktu itu, yakni KH. Hasan Basri, yang tidak mengakui adanya keturunan Nabi Saw. Peristiwa tersebut merupakan hal yang sulit dilupakan.

~ Akhmad Musta'in: Mungkin di seluruh dunia hanya NU satu-satunya organisasi massa yang mengajarkan bahwa mencintai ahli bait atau dzuriyah (keturunan) Kanjeng Nabi saw itu bagian dari ajaran Islam (tulisan tentang posisi istimewa habaib dalam perspektif NU bisa dibaca di postingan Dr. Mahmud Suyuti I serial Habaib). Penghormatan dan kecintaan Nahdliyin kepada mereka mengejawantah dalam tradisi keagamaan yang menjadi ciri kultural dan ideologis NU, yakni Maulid Nabi dan Salawatan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila para habaib berkiprah dan berkhidmah kepada umat, bangsa dan negara melalui jam'iyah NU sebagaimana saat ini dicontohkan Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya (Pekalongan), Habib Umar bin Ahmad Muthahar (Semarang), dan Habib Abd. Rahim bin Djamaluddin Assegaf atau Puang Makka (Makassar).

Sangat disayangkan beberapa habaib yang (mungkin karena usia mereka masih muda tapi sudah memiliki pengikut/jamaah yang banyak) meremehkan NU dan kiai-kiainya, bahkan terkadang "menyerang" NU. Memaki-maki atau menggunakan ujaran kebencian terhadap kiai-kiai NU di hadapan jamaahnya. Kata Puang Makka (Sayid Abd. Rahim bin Djamaluddin Assegaf / Ahsan Assegaf), kita dilarang berguru kepada habaib model begitu karena ilmu yang didapat dari mereka tidak akan memberikan kemanfaatan baik di dunia maupun di akhirat.

Allahumma shalli 'ala Sayidina Muhammadin wa 'ala ali Sayidina Muhammad.

Jumat, 27 Januari 2017

Perjuangan KH. Bashori Alwi


K.H. Abdul Hamid Pasuruhan bertanya, "Pinten hektar pondokke, Ya Syaikh?"
(episode kecil perjuangan K.H. BASHORI ALWI untuk PIQ)

Suatu hari, Kyai Bashori muda sedang tenang dalam perjalanan menuju pesanten Salafiyah, asuhan K.H. Abdul Hamid. Meskipun terlihat tenang, namun pikiran beliau dipenuhi gagap gempita. Pikirannya melayang menuju sepetak tanah di Singosari. Tanah itu rencananya akan beliau bangun pondok. Tanah itu tidak luas, hanya 300 meter persegi, namun cukup strategis karena terletak di pusat desa.
Dan kali ini, tujuan kedatangan beliau ke sana adalah untuk memohon barokah doa kepada beliau. Agar pesantren yang akan dibangun mendapatkan pondasi tak kasat mata yang kuat dari beliau.

Sesampainya di sana. Ajaibnya, Kiai Hamid telah menunggu di bawah pohon mangga dekat ndalem beliau. Kiai Hamid yang memang terkenal kasyaf, tiba-tiba bertanya saat Kiai Bashori telah ada di hadapan beliau.

"Pinten hektar pondokke, Ya Syaikh?"
(berapa hektar pondoknya, Wahai Syaikh?)

Saat itu Kiai Bashori terhenyak. Banyak keheranan bernada ketakjuban yang berkecamuk dalam pikiran beliau.
Dari mana Kiai Hamid tahu maksud kedatangannya?
Apa makna panggilan Syaikh dari beliau?
Mengapa beliau menanyakan berapa hektar? Padahal tanah yang tersedia tak sampai sekian luasnya?

Dengan tersipu Kiai Bashori menjawab,
"Namung tigangatus meter, Kiai."
Kiai Hamid lantas mengajak Kiai Bashori untuk berdoa bersama. Kiai Hamid memimpin doa:
"Lin naf'iy wal qobuul wal jamaal wal kamaal"
(untuk kemanfaatan, penerimaan, keindahan dan kesempurnaan"
"Al-Fatihah....."

Lantas Kiai Hamid masuk ke dalam ndalem beliau. Kiai Bashori muda menduga bahwa Kiai Hamid akan kembali keluar. Kiai Bashori lantas duduk kembali di Masjid dan menunggu.
Rupanya Kiai Hamid tak kunjung keluar. Salah seorang santri pondok lantas menghampiri Kiai Bashori dan memberitahu bahwa seperti itulah kebiasaan Kiai Hamid. Dan biasanya hal itu sudah cukup.

Dengan hati lega Kiai Bashori pulang dengan hati berbuncah. Entah berapa banyak biaya yang akan dihabiskan untuk membangun pesantren. Entah darimana uang itu muncul. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan. Entah tantangan apa yang menghadang.
Semua itu seakan menjadi batu kerikil kecil yang mudah diterjang dengan semangat dan doa yang dibekalkan oleh Kiai Hamid.

Dan...
Setelah bertahun-tahun..
Berdirilah PESANTREN ILMU AL-QURAN (PIQ) yang sekarang.
Pesantren dengan fokus pengajaran Al-Quran.
Pesantren yang tiap tahun harus menolak banyak santri karena kapasitas tempat yang terbatas.
Pesantren yang membuat pusing para pengurus saat Ramadhan tiba, karena melihat wajah sedih puluhan pendaftar kegiatan Ramadhan harus pulang dengan tangan kosong karena kuota yang selalu over (tahun kemarin kuota habis dalam jangka waktu kurang dari 1 jam).

Dan...
Kini.. Dalam setiap kesempatan. Kiai Bashori tak pernah bosan menceritakan mengenai kisah beliau yang meminta doa kepada Kiai Hamid.
Saat bercerita, rona bahagia, ketakjuban, keharuan, selalu terdengar jelas dalam tiap katanya.
Betapa doa yang dulu tak sanggup beliau pahami, sekarang penafsirannya terkuak dengan skenario menakjubkan dan penuh kejutan tak terduga.

Nyatanya,
Ribuan santri tlah beliau lahirkan dengan keilmuan yang mumpuni lantas dibawa pulang dan disebarkan di kampung halaman masing-masing.
Nyatanya,
Kitab tajwid susunan beliau tlah diajarkan di Amerika Serikat oleh seorang alumni.
Nyatanya,
Buku manasik susunan beliau tlah  dipakai di Jeddah untuk mengantarkan para haji meraih haji mabrur.
Nyatanya, sudah ada 2 ulama Australia yang Talaqqi Al-Quran dan mengambil sanad kepada beliau untuk diajarakan di disebarkan di negara asal (yang terbaru adalah Syeikh Wissam Sa'ad, seorang penyair dan pendakwah asal Australia yang juga kepala yayasan pendidikan islam dengan murid lebih dari 2000).
Nyatanya,
Bil Qolam (metode ajar baca Al-Quran untuk pemula ala PIQ) tlah dipakai di berbagai pelosok nusantara, bahkan hingga tembus ke Malaysia dan (proses) Thailand.

Inikah makna doa dari Kiai Hamid?
Rupanya hektar yang dimaksud adalah ini?
Dan sekarang, siapa yang tak setuju jika gelar Syaikh disematkan pada Kiai Bashori Alwi?

Subhanallah,
Inilah realitanya..
Kita semua menjadi saksi akan adanya skenario maha indah gubahan Sang Maha Sutradara, Allah Subhanahu Wa ta'ala.
Kita semua menjadi saksi bahwa impian akan menjadi suatu niscaya jika ia tak lelah diraih.

Mari kita renungkan,
Ternyata di balik sebuah impian,
Selalu menyimpan kisah perjuangan berjilid-jilid,
Selalu tersemat hikmah tak terkalkulasi,
Selalu mengandung asa yang tak lelah dibarakan,
Selalu teruntai ribuan doa dalam ribuan sujud malam dan tengadahan tangan.

Yah, seperti kata orang..
Semua butuh waktu,
Semua butuh proses,
Semua butuh perjuangan,
Semua butuh harapan,
Semua butuh doa,
Namun...
Percayalah...
Semua kan indah pada waktunya.

Semoga kita semua diberikan berkah dari Kiai Hamid dan bisa belajar dari perjuangan Kiai Bashori Alwi.
Sudi kiranya, kau berikan sejenak waktumu untuk bertawassul pada beliau berdua..

Al-Fatihah..

Empat murid Mbah Kholil

*Ayo Ngaji Sejarah*

*Empat Murid Kiai Kholil Bangkalan (Cikal Bakal NU, Muhammadiyyah, MIAI dan Masyumi)*

Sebuah perbincangan tentang empat santri Syaikhana Kholil Bangkalan yang akan menjadi tonggak dakwah Indonesia.

1. Awal 1900-an 4 murid tamatkan pelajarannya pada Kyai Cholil di Bangkalan Madura. Menyeberangi selat : 2 ke Jombang, 2 ke Semarang.

2. Dua murid yang ke Jombang, 1 dibekali cincin (kakek Cak Nun), 1 lagi KH. Romli (ayah KH. Mustain Romli) dibekali pisang mas.

3. Dua murid yang ke Semarang; Hasyim Asy’ari & Muhammad Darwis, masing-masing diberi kitab untuk dingajikan pada Kyai Soleh Darat.

4. Kyai Soleh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, ahli falak. Keluarga besar RA. Kartini mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan Kartini-lah, Kyai Soleh Darat menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa agar bisa dipahami.

5. Pada Kyai Soleh Darat, Hasyim dan Darwis (yang kemudian berganti nama jadi Ahmad Dahlan tabarruk dengan gurunya Syekh Zaini bin Dahlan, Mufti Syafiiyyah di Tanah Haram) belajar tekun dan rajin, lalu ‘diusir’. Kedua sahabat itu; Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan diperintahkan Kyai Soleh Darat segera ke Makkah untuk melanjutkan belajar.

6. Setiba di Makkah, keduanya yang cerdas menjadi murid kesayangan Imam Masjidil Haram, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Tampaklah kecenderungan Hasyim yang sangat mencintai hadist, sementara Ahmad Dahlan tertarik bahasan pemikiran dan gerakan Islam.

7. Tentu riwayat jalan berilmu mereka panjang. Saya akan melompat pada kepulangan mereka ke tanah air dan gerakan yang dilakukan.

8. Hasyim Asy’ari pulang ke Jombang. Di sana kakek Cak Nun menantinya penuh rindu. Kakek Cak Nun yang ‘sakti’ inilah yang menaklukkan kawasan rampok dan durjana bernama Tebuireng untuk didirikan pesantren.

9. Hasyim Asy’ari, dia mohon agar berkenan mulai mengajar di situ. Beliau membuka pengajian ‘Shahih al-Bukhari’ di sana.

10. Pahamlah kita, satu-satunya orang yang bisa bujuk Gus Dur keluar istana saat impeachment dulu ya Cak Nun. Ini soal nasab.

11. Saat disuruh mundur orang lain, Gus Dur biasanya jawab: “saya kok disuruh mundur, maju aja susah, harus dituntun!”. Tapi Cak Nun tidak menyuruhnya mundur. Kata beliau, “Gus, koen wis wayahe munggah pangkat!” Sudah saatnya naik jabatan!”.?.

12. KH. Romli Tamim yang juga di Jombang mendirikan pesantren di Rejoso, kelak jadi pusat Thariqoh Al Mu’tabarah yang disegani.

13. Kembali ke Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, CATAT INI : beliaulah orang yang menjadikan pengajian hadist penting & terhormat. Sebelum Hadratusy Syaikh memulai ponpes Tebuireng-nya dengan kajian Shahih al-Bukhari, umumnya ponpes cuma ajarkan tarekat.

14. Tebuireng makin maju, santri berdatangan dari seluruh nusantara. Hubungan baik terjalin dengan Kyai Hasbullah, Tambakberas. Putra Kyai Hasbullah, Abdul Wahab kelak jadi pendiri organisasi Islam terbesar yang dinisbatkannya pada Hadratusy Syaikh : NU. Konon selama KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam kandungan, ayahnya mengkhatamkan al-Qur’an 100 kali diperdengarkan pada si janin.

15. Tebuireng juga berhubungan baik dengan KH. Bisyri Syamsuri Denanyar. Abdul Wahid Hasyim menikahi putri beliau (ibu Gus Dur).

16. KH. Bisyri Syansuri juga beriparan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Inilah segitiga pilar NU; Tambakberas – Tebuireng – Denanyar.

17. Satu waktu ada santri Hadratusy Syaikh melapor, dari Yogyakarta ada gerakan yang ingin memurnikan agama & aktif beramal usaha. “O kuwi Mas Dahlan”, ujar Hadratusy Syaikh “Ayo padha disokong”!”. Itu Mas Dahlan, ayo kita dukung sepenuhnya.

18. KH. Ahmad Dahlan sang putra penghulu keraton itu amat bersyukur. Beliau kirimkan hadiah. Hubungan kedua keluarga makin akrab.

19. Sampai generasi ke-4, putra-putri Tebuireng yang kuliah di Yogyakarta selalu kos di keluarga KH. Ahmad Dahlan Kauman.

20. Sebagai bentuk dukungan pada perjuangan KH. Ahmad Dahlan, Hadratusy Syaikh menulis kitab ‘Munkarat Maulid Nabi wa Bida’uha’, bagi Hadratusy Syaikh, itu banyak bid’ah & mafsadatnya.

21. Ketika akhirnya gesekan makin sering terjadi antara anggota Muhammadiyah vs kalangan pesantren, Hadratusy Syaikh turun tangan. “Kita & Muhammadiyah sama. Kita Taqlid Qauli (mengambil PENDAPAT ‘ulama Salaf’), mereka Taqlid Manhaji (mengambil METODE)”.

22. Tetapi dipelopori KH. Abdul Wahab Hasbullah, para murid menghendaki kalangan pesantren pun terorganisasi baik. NU berdiri. Direstui Hadratusy Syaikh, Abdul Wahab Hasbullah & rekan berangkat ke Makkah menghadap raja Saudi sampaikan aspirasi Madzhab. Kepulangan mereka disambut Hadratusy Syaikh dengan syukur sekaligus meminta untuk terus bekerjasama dengan Muhammadiyah.

23. Atas prakarsa Hadratusy Syaikh, KH. Mas Mansur, Muhammadiyah, dan tokoh lain, terbentuklah Majlisul Islam A’la Indunisiya (MIAI).

24. Mengapa kisah Khalil dari Bangkalan & murid-muridnya penting? Agar terjaga fikiran, lisan & perkataan kita yang mengaku pewaris dakwah hari ini.

25. Yang tidak memahami sejarah, nasab keluarga & sanad ilmu akan kesulitan memahami & membawakan dakwah pada kalangan tertentu.

Disarikan dari Laman Republika.or.id dari akun Facebook Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim tentang sepak terjang KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan dalam menegakkan Islam di Indonesia sejak sebelum bangsa ini merdeka, yang dikutip dari Ustaz Salim A. Fillah.

NU Dan FPI, beda?


(Tetep jangan membenci Personnya boleh benci PRILAKUNYA..)

Saat ini seakan-akan ada gesekan antara NU dan FPI,padahal jujur FPI bukan tandingan bagi NU.

NU itu aswaja dan FPI juga aswaja (katanya),  Yang dimaksud aswaja disini (lebih mudahnya) adalah aliran yang non-wahabi dan non-syiah. Kalau dilihat dari amaliah keagamaan, memang FPI itu mirip NU, ya tahlilan, shalawatan, ziarah kubur, teraweh 20, qunut shubuh dan amaliah diniyah lain sebagainya. Tapi menurut hemat saya, aswaja itu tidak hanya amaliah saja, namun juga aqidah (tauhid), syariah (fiqh), dan akhlak (tasawuf) serta fikrah (pola pemikiran/cara pandang/strategi dakwah). Dilihat dari amaliah bisa dikategorikan aswaja, namun jika dilihat dari "fikrah" nya, FPI mirip wahabi. Persamaan dengan fikrah wahabi adalah: berperilaku keras/radikal/sangar, muddah marah, tidak menghormati pendapat yang berbeda, intpleran, merasa benar sendiri dan yang lain salah haruus dilibas, suka menuduh sesama muslim dengan tuduhan sesat, kafir, antek asing, tuduhan negatif lainnya. Sederhananya, FPI itu secara software aswaja namun secara hardware wahabi, kalau NU itu software dan hardwarenya aswaja.

Disamping masalah fikrah, perbedaan dengan NU adalah masalah pemahaman/penafsiran terhadap terminologi liberal. Ulama-ulama NU yang tidak mendukung maupun mengkritik FPI langsung dicap liberal. Berkenaan dengan liberal ini, saya berkeyakinan FPI disetir oleh HTI, sebagaimana diketahui bahwa proyek HTI itu penegakan khilafah. Sifat khilafah itu penghilangan hasanah lokal, penghilangan pancasila/NKRI karena dianggap duri dalam persatuan Islam dunia, pengharaman nasionalisme/kebangsaan. Efeknya ketika NU melahirkan "maskot" Islam Nusantara, HTI, Wahabi, FPI meradang. Mereka berfikir bahwa Islam Nusantara ini sebagai penghambat persatuan Islam sedunia, karena "terkotak-kotak" dalam suatu negara. Ketika HTI melawan Islam Nusantara, FPI ikut membenci Islam Nusantara, dengan melesetkan ANUS (aliran nusantara) serta menghujat ulama-ulama NU yang mensosialisasikan Islam Nusantara.

Yang membedakan dengan NU lagi adalah ada upaya merubah NKRI "asli" menjadi NKRI "bersyariah", ini adalah entry point proyek awal khilafah HTI untuk merubah dasar negara, dan ini diikuti FPI. Kalau berhasil merubah NKRI "asli" menjadi NKRI "bersyariah", apakah nggak ada jaminan juga Pancasila juga dirubah menjadi Pancasila "bersyariah" misalnya. Sekali lagi hal-hal seperti inilah yang menjadi titik perbedaan dengan NU.

Selanjutnya, bahwa "perseteruan" FPI dengan NU itu ketika Habib Rizieq melecehkan Gus Dur, adahal Gus Dur lah satu-satunya ulama NU ketika itu yang berani membela kaum habib ketika didholimi negara. Mana amal bakti FPI (Habib Rizieq) ke Gus Dur, beliau itu telah mati-matian membela keberadaan habib khususnya di Indonesia. Malahan FPI lagi-lagi  tidak sependapat dengan cara berfikir Gus Dur dengan alasan (katanya) liberal. FPI benci dengan Kiai Said karena sama pemikiran dengan Gus Dur, hal ini bisa dipahami karena Kiai Said adalah anak ideologis Gus Dur (walaupun bukan anak biologis) dan kepada siapapun yang meneruskan pemikiran Gus Dur.

Bagi kami pemikiran Gus Dur, Kiai Said dan penerusnya adalah pemikiran pencerahan, bukan liberal. Gus Dur, Kiai Said dan penerusnya memberi lompatan pemikiran dalam mencerahkan agama Islam. Masalahnya disini, memang ada beberapa orang yang "kaget", belum bisa menerima, belum sampai pikirannya terhadap pikiran Gus Dur, baik ada yang berasal dari intern NU maupun non-NU, mereka lalu menfitnah Gus Dur dan penerusnya sebagai liberal. Padahal beliau-beliau itu memberi pencerahan dalam pemikiran keislaman.

Saya tekankan lagi, karena ketidakmampuan mencerna pemikiran Gus Dur (Kiai Said dan penerusnya) sehingga dianggap liberal. Jadi istilah liberal itu bukan berarti bebas tanpa aturan, bebas menabrak al-Quran Hadits, tapi liberal adalah istilah yang diciptakan kelompok yang tidak bisa/tidak mampu mengikuti pemikiran Gus Dur beserta penerusnya. Kelompok-kelompok itu adalah wahabi, HTI dan FPI. Selanjutnya FPI "ngompor-ngomporin" sebagian nahdliyin yang belum/tidak mampu mengikuti pikiran Gus Dur, Kiai Said dan penerusnya, untuk melawan PBNU, dengan membentuk "NU tandingan", yaitu NU GL (NU Garis Lurus). Jadi NUGL itu adalah warga NU hasil "didikan FPI" sehingga tidak heran apa yang lakukan FPI sama dengan NUGL. Dan buktinya lagi nahdliyin dalam NU GL itu sebenarnya "anggota" FPI.

Jadi titik perbedaan FPI dengan NU itu karena perbedaan penafsiran istilah liberal/plural/sekular. Padahal proyek-proyek tersebut adalahnya proyek kepunyaan wahabi dan HTI.

Untuk itu, NU dan FPi seharusnya duduk bareng untuk membahas persamaan persepsi tentang liberal/plural/sekular, kalau ini ada titik temu, maka NU dan FPI bisa bersatu karena landasan awalnya sama, yaitu sama-sama aswaja.

Untuk FPI juga seyogyanya menghindari masuk ke ranah politik karena rawan dimanfaatkan kelompok tertentu dan cara dakwahnya kembali ke fikrah aswaja yaitu tawasuth, tasamuh, tawazun. Akhirnya jika NU dan FPI bisa bersatu, selanjutnya bareng-bareng mengganyang wahabi dan syiah.

Rabu, 25 Januari 2017

Mewujudkan kembali Islam Nusantara sebagai Identitas Terbuka

Najib Burhani di KORAN SINDO, 19 Januari 2017 mengonstruksikan apa yang dia sebut sebagai ”genealogi Islam Nusantara” ke dalam tiga babakan sejarah sebagai berikut: (1) fase ketika Islam Nusantara identik dengan Islam sinkretis, (2) fase pembentukan identitas Islam Nusantara, dan (3) fase ketika Islam Nusantara menjadi exceptional Islam, dalam hal ini identik dengan Nahdlatul Ulama (NU). 

Tulisan Najib Burhani ini sangat tepat waktu karena sebuah konferensi internasional untuk memikir-ulang Islam Nusantara saat ini sedang dipersiapkan pelaksanaannya di Amsterdam, Belanda. Konferensi yang akan dilaksanakan pada 27 Maret 2017 tersebut akan mengangkat tema: ”Rethinking Indonesia’s Islam Nusantara: From Local Relevance to Global Significance. ” Pembabakan ”genealogi Islam Nusantara” ke dalam tiga fase yang dilakukan oleh Najib Burhani, meski demikian, mengandung cacat epistemologis, yakni terperangkap pada cara pandang melihat Islam Nusantara sebagai ekspresi sosio-keagamaan dari kelompok tertentu di Indonesia, dalam hal ini Nahdlatul Ulama. 

Klaim Nahdlatul Ulama sebagai pengusung ”Islam Nusantara”–misalnya dengan menjadikannya sebagai tema muktamarnya yang ke-33 di Jombang beberapa waktu lalu, yaitu ”Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”– kian membenarkan cara pandang ini. Inilah yang disebut Najib Burhani sebagai exceptional Islam (Nusantara). Sayangnya, ia sendiri terperangkap pada cara pandang ini dalam memahami Islam Nusantara. Perlu satu tulisan tersendiri untuk membongkar asumsi epistemologis semacam ini. 

Namun, pada ruang yang terbatas ini cukuplah ditekankan bahwa Islam Nusantara harus dilihat (kembali) sebagai sebuah identitas regional yang lebih luas ketimbang identitas kelompok tertentu semata. Dari sisi genealoginya, sejarah pembentukan identitas regional ini (atau tepatnya, identitas sosio-keagamaan regional) melibatkan jejaring intelektual dan interaksi perdagangan yang bahkan bersifat lintas regional, dan dengan demikian bersifat kosmopolitan sejak dari awalnya. 

Banyak tulisan yang telah menjelaskan dengan baik sekali sejarah pembentukan Islam Nusantara ini misalnya Azyumardi Azra, Michael Laffan, dan lain-lain. Selanjutnya, dari sisi pelaku, konstituen dan wilayah penyebarannya, identitas sosio-keagamaan regional itu mencakup wilayah kepulauan yang menjadi titik temu dari Samudera Hindia dan Pasifik. 

Inilah yang secara leksikal dikenal sebagai ”Nusantara” dan yang secara geopolitik disebut dengan ”Asia Tenggara”. Dalam arti ini, Islam Nusantara sebagai identitas regional mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan Champa (Kampuchea). 

*** Terlepas dari catatan di atas, kritik Najib Burhani mengenai kecenderungan exceptional Islam pada kalangan Nahdlatul Ulama dalam mengusung Islam Nusantara adalah kritik yang valid meski ia sendiri sayangnya juga terjebak di dalam cara pandang itu. Saya sendiri dalam beberapa kesempatan sudah sering mengkritik gejala eksepsionalisme dari Islam Nusantara ini antara lain dengan menyatakan bahwa Islam Nusantara ”mahjubun bin nahdliyyin ”, yakni dikaburkan oleh kalangan NU sendiri. 

Padahal, seperti telah ditegaskan di muka, ia pada dasarnya merupakan identitas sosio-regional yang mencakup wilayah Asia Tenggara secara keseluruhan. Tentu saja dalam hal ini, masyarakat muslim Indonesia memiliki peranan yang cukup besar dan penting, termasuk utamanya berkat kontribusi Nahdlatul Ulama, namun tidak terlepas juga dari kontribusi Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam di Indonesia lainnya. Dari sisi sejarah intelektual, Islam Nusantara memiliki akar khazanah intelektual keagamaan yang cukup kaya dan terus berkembang. 

Bagi para peneliti/ filolog naskah-naskah yang dikenaldengansebutan Jawi manuscripts, yakni naskah yang ditulis dengan aksara Arab pegon, kekayaan khazanah ini sudah diakui secara meluas. Sebagai misal, daftar penulis dan naskah- naskah Jawi yang dihimpun olehNicholasHeer(http://faculty. washington.ed/heer/handlist23. pdf) merupakan contoh kecil yang dapat memberi ilustrasi mengenai kekayaan ini. Belum lagi naskah-naskah yang ditulis dengan aksara latin, yakni yang dikenal dengan Malay manuscripts. 

Sudah banyak katalog yang telah disusun untuk menghimpun karya-karya ulama NusantarayangberupanaskahJawi maupun Melayu ini. Untuk konteks di Indonesia sendiri, kontribusi Islam Nusantara dalam pembentukan identitas sosio-keagamaan nasional juga sangat besar. Di bidang hukum dan perundang-undangan, banyak ijtihad yang khas Nusantara telah dihasilkan misalnya pengakuan harta gono-gini dalam Kompilasi Hukum Islam, shighat ta’liq dalam akad nikah, teori receptie a contrario hukum adat, dan lain-lain. 

Yang menarik, salah satu signifikansi penting dari ijtihad hukum khas Islam Nusantara ini adalah pengakuan dan penguatan yang sangat besar pada peran dan posisi perempuan. IjtihadhukumIslam Nusantara juga terejawantah pada perdebatan yang sangat produktif mengenai ”Fikih Indonesia” seperti antara lain disuarakan oleh T M Hasbi Ash- Shiddiqui, MunawirSjadzali, dan lain-lain. Saya juga berani menyatakan bahwa ijtihad konstitusi yang dewasa ini dilakukan oleh Muhammadiyah terkait berbagai UU di bidang sumber daya alam adalah bagian dari manifestasi Islam Nusantara, yakni dalam konteks pergulatan Islam dengan persoalan krisis agraria dan ekologi di Indonesia. 

Di bidang politik, kontribusi Islam Nusantara sangatlah besar dan tidak main-main. Bukankah Pancasila itu sendiri sebagai konsensus bangsa adalah ijtihad genuine Islam Nusantara? Pancasila inilah yang memungkinkan kelahiran negarabangsa dengan masyarakat yang sangat heterogen secara sosial-budaya maupun agama, namun yang sekaligus menjamin nilai-nilai Islam dan peran umat Islam memiliki pengaruh besar di dalamnya. Konsensus bangsa ini pula yang memungkinkan kompatibiltas Islam dan demokrasi di Indonesia dan yang menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia. 

Karena itu, kecenderungan eksepsionalisme dalam melihat Islam Nusantara harus dilampaui. Bukan saja oleh kalangan NU, melainkan juga oleh para pemikir Muhammadiyah seperti Najib Burhani. Islam Nusantara harus dikembalikan menjadi ”teks yang terbuka” dan tidak menjadi klaim satu kelompok, bahkan jika kelompok itu merasa memiliki kontribusi yang sangat besar terhadapnya. Islam Nusantara harus diwujudkan kembali sebagai sebuah identitas sosio-keagamaan yang dinamis dan selalu peka terhadap konteks persoalan sosialbudaya, politik, sosial-ekonomi, dan ekologi yang digulatinya di kawasan Asia Tenggara. 

Dalam rangka itu, maka inilah saatnya melakukan rethinking, iiadah al-fikr,alias pemikiran ulang atas ”warisan bersama” dan ”praktik yang hidup” dari identitas sosio-keagamaan Islam Nusantara ini. Dan, panggilan ini berlaku untuk seluruh umat Islam di Indonesia khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya, tanpa terkecuali. 

*** Sebagai sebuah identitas yang dinamis, Islam Nusantara ini harus dipikirkan ulang relevansi dan signifikansinya bukan sebatas pada wacana keagamaan semata, namun dalam konteks persoalan riil yang kini dihadapi di Indonesia, di kawasan regional Asia Tenggara, maupun lebih luas di tataran global. Di satu sisi, khazanah intelektual Islam Nusantara itu sendiri masih menyisakan agenda penelitian yang besar untuk terus digali, dikaji, dan dikembangkan secara terus menerus. 

Khazanah intelektual itu perlu juga dipersoalkan dari segi bagaimana proses reproduksi dan diseminasinya berlangsung dalam sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan secara umum maupun dalam wacana akademis di pergaulan internasional. Di sisi yang lain, dari segi aktualisasi khazanah intelektual tersebut, ada beberapa konteks struktural di mana Islam Nusantara harus diproblematisasi lebih lanjut, justru untuk melahirkan relevansi dan signifikansinya secara konkret. 

Beberapa problem struktural yang menjadi konteks aktualisasi Islam Nusantara dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: Pertama, bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks demokrasi, kewarganegaraan, dan hak asasi manusia? Kedua, bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks dinamika hukum Islam, adat, dan sistem hukum nasional? Ketiga,bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks ketimpangan sosial-ekonomi dan krisis sosial- ekologis? 

Keempat, bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks dinamika konflik, perdamaian, dan keamanan manusia di kawasan Asia Tenggara? Kelima, bagaimana Islam Nusantara diproblematisasi dalam konteks dinamika ”media baru” (media sosial, media alternatif, dan sebagainya) dan pembentukan otoritas keagamaan? Aktualisasi Islam Nusantara dalam berbagai konteks persoalan seperti di atas harus menjadi kepedulian dan agenda bersama umat Islam di Indonesia tanpa terkecuali.

Ia juga menuntut dialog dan kerja sama yang intensif sebagai agenda regional di antara masyarakat muslim di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan. Karena itu, memahami Islam Nusantara secara sempit sebagai identitas kelompok ataupun mendikotomikannya dengan kosmopolitanisme Islam adalah cara pandang yang salah sasaran, myiopic,dan kontraproduktif. 

Mohamad Shohibuddin 
Katib ‘Am Pengurus Cabang Istimewa NU Belanda 

Doa bagi Orang Hamil dari Mbah Holil

DO'A BAGI ORANG HAMIL DARI KH. SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN ( di baca oleh suami dan isteri ).
Untuk Suami
1. ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺍﻟﻤﺼﻄﻔﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
.2 ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻘﺎﺩﺭ ﺍﻟﺠﻴﻼﻧﻲ
.3 ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻛﻴﺎﻫﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺧﻠﻴﻞ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻄﻴﻒ ﺑﺎﻏﻜﺎﻟﻦ
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤٰﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢِ
ﻭَﻟْﻴَﺘَﻠَﻄَّﻒْ × 7
ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﺑَﻴْﻦِ ﺍﻟﺼُّﻠْﺐِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺮَﺍﺋِﺐْ × 3
ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻆْ ﻭَﻟَﺪَ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻲ ............ ﻣِﻦْ ﺑَﻄْﻨِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺧُﺮُﻭْﺟِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻣِﻦْ ﻣُﺪَّﺗِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻻَﺧِﺮَﺓِ ﻭَﺍﺷْﻔِﻪِ ﻣَﻊَ ﺃُﻣِّﻪِ ﺑِﺤُﺮْﻣَﺔِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺍﻟْﻤُﺼْﻄَﻔَﻰ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﻧْﺖَ ﺷَﺎﻑِ ِﻻَﺷْﻔَﺎﺀَ ﺍِﻻَّ ﺷِﻔَﺎﺀُﻙَ ﺷِﻔَﺎﺀً ﻋَﺎﺟِﻼً ﻻَ ﻳُﻐَﺎﺩِﺭْ ﺳَﻘَﻤًﺎ، ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻮِّﺭْﻩُ ﺻُﻮْﺭَﺓً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﺟَﻤِﻴْﻠَﺔً ﻭَﺛَﺒِّﺖْ ﻗَﻠْﺒَﻪُ ﺇِﻳْﻤَﺎﻧًﺎ ﺑِﻚَ ﻭَﺑِﺮَﺳُﻮْﻟِﻚَ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻻَﺧِﺮَﺓِ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍَﺧْﺮِﺟْﻪُ ﻣِﻦْ ﺑَﻄْﻨِﻬَﺎ ﻭَﻗْﺖَ ﻭِﻻَﺩَﺗِﻬَﺎ ﺳَﻬْﻼً ﻭَﺳَﻠِﻴْﻤًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺳَﻬَّﻠْﺖَ ﺳَﻴِّﺪَﺗِﻨَﺎ ﺍَﻣِﻴْﻨَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﻭِﻻَﺩَﺗِﻬَﺎ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺳَﻌِﻴْﺪًﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻻَ ﺗَﺠْﻌَﻠْﻪُ ﻏَﻴْﺒًﺎ ﻭَﻛَﺬِﻳْﺒًﺎ ﻭَﺧِﻴَﺎﻧَﺔً ﻭَﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﺩُﻋَﺎﺋَﻨَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻠْﺖَ ﺩُﻋَﺎﺀَ ﻧَﺒِﻴِّﻚَ ﻭﺭَﺳُﻮْﻟِﻚَ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻆْ ﻭَﻟَﺪَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍَﺧْﺮَﺟْﺖَ ﻣِﻦْ ﻋَﺎﻟَﻢِ ﺍﻟﻈُّﻠْﻢِ ﺍِﻟَﻰ ﻋَﺎﻟِﻢَ ﺍﻟﻨُّﻮْﺭِ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺻَﺤِﻴْﺤًﺎ ﻛَﺎﻣِﻼً ﻋَﺎﻗِﻼً ﻟَﻄِﻴْﻔًﺎ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺷَﺎﻫِﺪًﺍ ﻭَﻣُﺒَﺎﺭَﻛﺎً ﻭَﻋَﺎﻟِﻤﺎً ﻭﺣَﺎﻓِﻈًﺎ ﻟِﻜَﻼَﻣِﻚَ ﺍﻟْﻤَﻜْﻨُﻮْﻥِ ﻭَﻛِﺘَﺎﺑِﻚَ ﺍﻟْﻤَﺤْﻔُﻮْﻅِ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻃَﻮِّﻝْ ﻋُﻤْﺮَﻩُ ﻭَﺻَﺤِّﺢْ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻭَﺍَﻓْﺼَﺢْ ﻟِﺴَﺎﻧَﻪُ ﻟِﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺻَﺒْﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺮَﺽِ ﻭَﺍْﻹِﻧْﺘِﻘَﺎﻡِ ﻭَﺍﻟْﻌَﻄْﺶِ ﺑِﺒَﺮَﻛَﺔِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻻَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮْﺳَﻠِﻲْﻥَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ ﺍﻟْﻤُﻘَﺮَّﺑِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻻَﻭْﻟِﻴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺍَﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺍَﺟْﻤَﻌِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ

Untuk Istri
1. ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺍﻟﻤﺼﻄﻔﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
.2 ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻘﺎﺩﺭ ﺍﻟﺠﻴﻼﻧﻲ
.3 ﺍﻟﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻰ ﺣﻀﺮﺓ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻛﻴﺎﻫﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺧﻠﻴﻞ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻄﻴﻒ ﺑﺎﻏﻜﺎﻟﻦ
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤٰﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢِ
ﻭَﻟْﻴَﺘَﻠَﻄَّﻒْ × 7
ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﺑَﻴْﻦِ ﺍﻟﺼُّﻠْﺐِ ﻭَﺍﻟﺘَّﺮَﺍﺋِﺐْ × 3
ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻆْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ ﻣِﻦْ ﺑَﻄْﻨِﻲْ ﺇِﻟَﻰ ﺧُﺮُﻭْﺟِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻣِﻦْ ﻣُﺪَّﺗِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻻَﺧِﺮَﺓِ ﻭَﺍﺷْﻔِﻪِ ﻣَﻌِﻲْ ﺑِﺤُﺮْﻣَﺔِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺍﻟْﻤُﺼْﻄَﻔَﻰ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﻧْﺖَ ﺷَﺎﻑِ ِﻻَﺷْﻔَﺎﺀَ ﺍِﻻَّ ﺷِﻔَﺎﺀُﻙَ ﺷِﻔَﺎﺀً ﻋَﺎﺟِﻼً ﻻَ ﻳُﻐَﺎﺩِﺭْ ﺳَﻘَﻤًﺎ، ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻮِّﺭْﻩُ ﺻُﻮْﺭَﺓً ﺣَﺴَﻨَﺔً ﺟَﻤِﻴْﻠَﺔً ﻭَﺛَﺒِّﺖْ ﻗَﻠْﺒَﻪُ ﺇِﻳْﻤَﺎﻧًﺎ ﺑِﻚَ ﻭَﺑِﺮَﺳُﻮْﻟِﻚَ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻻَﺧِﺮَﺓِ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍَﺧْﺮِﺟْﻪُ ﻣِﻦْ ﺑَﻄْﻨِﻲْ ﻭَﻗْﺖَ ﻭِﻻَﺩَﺗِﻲْ ﺳَﻬْﻼً ﻭَﺳَﻠِﻴْﻤًﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺳَﻬَّﻠْﺖَ ﺳَﻴِّﺪَﺗِﻨَﺎ ﺍَﻣِﻴْﻨَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﻭِﻻَﺩَﺗِﻬَﺎ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺳَﻌِﻴْﺪًﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍْﻵﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻻَ ﺗَﺠْﻌَﻠْﻪُ ﻏَﻴْﺒًﺎ ﻭَﻛَﺬِﻳْﺒًﺎ ﻭَﺧِﻴَﺎﻧَﺔً ﻭَﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﺩُﻋَﺎﺋَﻨَﺎ ﻛَﻤَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻠْﺖَ ﺩُﻋَﺎﺀَ ﻧَﺒِﻴِّﻚَ ﻭﺭَﺳُﻮْﻟِﻚَ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻆْ ﻭَﻟَﺪَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺍَﺧْﺮَﺟْﺖَ ﻣِﻦْ ﻋَﺎﻟَﻢِ ﺍﻟﻈُّﻠْﻢِ ﺍِﻟَﻰ ﻋَﺎﻟِﻢَ ﺍﻟﻨُّﻮْﺭِ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺻَﺤِﻴْﺤًﺎ ﻛَﺎﻣِﻼً ﻋَﺎﻗِﻼً ﻟَﻄِﻴْﻔًﺎ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺷَﺎﻫِﺪًﺍ ﻭَﻣُﺒَﺎﺭَﻛﺎً ﻭَﻋَﺎﻟِﻤﺎً ﻭﺣَﺎﻓِﻈًﺎ ﻟِﻜَﻼَﻣِﻚَ ﺍﻟْﻤَﻜْﻨُﻮْﻥِ ﻭَﻛِﺘَﺎﺑِﻚَ ﺍﻟْﻤَﺤْﻔُﻮْﻅِ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻃَﻮِّﻝْ ﻋُﻤْﺮَﻩُ ﻭَﺻَﺤِّﺢْ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻭَﺍَﻓْﺼَﺢْ ﻟِﺴَﺎﻧَﻪُ ﻟِﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺟْﻌَﻠْﻪُ ﺻَﺒْﺮًﺍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺮَﺽِ ﻭَﺍْﻹِﻧْﺘِﻘَﺎﻡِ ﻭَﺍﻟْﻌَﻄْﺶِ ﺑِﺒَﺮَﻛَﺔِ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻻَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮْﺳَﻠِﻲْﻥَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ ﺍﻟْﻤُﻘَﺮَّﺑِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻻَﻭْﻟِﻴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺍَﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺍَﺟْﻤَﻌِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ

Saudi menjadi modern, indonesia menjadi "Primitif"

Masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju “umat modern”, sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat klasik”. Berikut paparan Sumanto al Qurtuby.



Sejak beberapa tahun terakhir mengajar di sebuah universitas riset di Arab Saudi, saya melihat ada perubahan sosio-kultural-keagamaan yang sangat fundamental di negara-kerajaan ini. Mungkin perubahan ini luput dari pengamatan para peneliti, sarjana, akademisi, jurnalis, maupun pembuat kebijakan publik.

"Wajah kultural” Saudi dulu dan kini sudah sangat berbeda, setidaknya di kawasan urban bukan di countryside atau di "daerah pedesaan”. Dulu, ketika membicarakan hal-ikhwal yang berkaitan dengan Saudi, kita langsung membayangkan Afganistan di zaman Taliban. Tapi sejak dekade terakhir, banyak perubahan positif dan signifikan di negara yang kini dipimpin oleh Raja Salman.

Perubahan sosio-kultural itu terjadi hampir di semua sektor dan isu: pendidikan, ketenagakerjaan, perekonomian, perbankan, peranan perempuan, tata-busana, bahasa, makanan-minuman, interaksi sosial, persepsi keagamaan, dlsb. Beberapa kali saya mengadakan survei ditambah dengan wawancara dan obrolan dengan ratusan warga Saudi, kesimpulannya juga sama: "wajah kultural” Saudi sedang mengalami perubahan besar.

Fenomena menarik

Ada beberapa fenomena menarik yang bisa dijadikan sebagai alat ukur perubahan sosial ini. Misalnya, dulu tradisi berpakaian disini memang sangat "tradisional”. Yang laki-laki mengenakan jubah putih panjang (thaub) lengkap dengan kain penutup kepala dan kadang-kadang dilengkapi dengan pedang seperti penggunaan keris untuk pelengkap busana bagi orang Jawa jaman dulu. Desain jubah dan penutup kepala ini bermacam-macam. Masing-masing daerah dan suku di Saudi memilki adat dan tata-cara berbusana yang berlainan.



Penulis: Sumanto al Qurtuby

Tapi sekarang pemandangan ini sudah susah didapat, kecuali mungkin di kampung-kampung atau di daerah pinggiran yang belum terjamah oleh globalisasi dan modernisasi. Masyarakat laki-laki Saudi, khususnya generasi tua, sekarang lebih suka mengenakan "jubah nasional” ketimbang "jubah suku” mereka. Sementara kalangan mudanya lebih memilih pakaian kasual seperti jeans, kaos, kemeja, "katok-kolor” alias celana training, dlsb.

Yang perempuan juga sama. Dulu, kaum perempuan Saudi, jika di area publik, hanya berbusana abaya hitam gelomborlengkap dengan kain penutup wajah, baik itu bernama niqab, burqa atau khimar. Kini, perempuan Saudi mengenakan bermacam-macam desain dan jenis busana. Abaya tidak lagi melulu berwarna hitam polos tapi warna-warni (colorful), dan bahkan dilengkapi dengan pernak-pernik bordir yang sangat menawan. "Abaya bordir” yang warna-warni ini menjadi trend perempuan Saudi modern. Bahkan kini banyak desain abaya yang dibuat "slim fit” seukuran tubuh, tidak lagi gelombor ala "jilbab Syahrini”. Menurut murid-murid Saudiku, desain abaya slim fit ini supaya tampak lebih modern, gaul, dan seksi tentunya.



Menyetir Mobil
Tidak ada UU resmi yang larang perempuan menyetir mobil. Tetapi kepercayaan keagamaan yang mendalam melarangnya. Menurut ulama Arab Saudi, perempuan yang menyetir "tidak mengindahkan nilai-nilai sosial". 2011 sekelompok perempuan mengorganisir kampanye "Women2Drive" dengan menempatkan foto-foto mereka ketika menyetir mobil untuk membangkitkan kesadaran perempuan. Kampanye tidak sukses.




Keluar Rumah Tanpa Didampingi Pria
Perempuan Arab Saudi harus didampingi "pengawal" pria jika meninggalkan rumah. Yang jadi pengawal biasanya pria anggota keluarga. Mereka didampingi ke mana saja, termasuk berbelanja dan ke dokter. Praktek ini didasari tradisi konservatif dan pandangan religius, jika perempuan diberi kebebasan, maka akan mudah berbuat dosa.


Bukan hanya itu, banyak perempuan Saudi yang kini hanya mengenakan abaya dan hijab (kain penutup kepala) saja tanpa dilengkapi dengan kain penutup wajah, khususnya mereka yang tinggal di Jeddah atau kota-kota metropolitan mini di Provinsi Ash-Sharqiyah. Jika mereka sedang liburan ke manca negara, baik di Arab Teluk (khususnya Uni Emirat Arab) apalagi ke negara-negara Barat, banyak dari mereka yang bahkan tidak mengenakan abaya, apalagi kain penutup kepala dan penutup wajah, melainkan pakai celana panjang "pantalon" atau "busana perempuan modern” lain. Fenomena ini sudah menjadi "rahasia umum”. Tentu saja masih banyak juga yang tetap memelihara tradisi berbusana "ala Saudi” meskipun berada di luar Saudi.

Kebangkitan perempuan

Contoh perubahan sosial lain adalah tentang "gerakan feminisme” yang cukup menggeliat sejak dekade terakhir. Memang dibanding dengan negara-negara Arab Teluk lain seperti Uni Emirat Arab atau Qatar, Arab Saudi agak terlambat menanggapi isu-isu peranan perempuan ini. Tetapi bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali menyangkut hak-hak kaum perempuan Saudi. Misalnya, sudah sejak Raja Faisal, kaum perempuan mendapatkan kesempatan menuntut ilmu sampai perguruan tinggi, bukan hanya di bangku-bangku madrasah. Saudi bahkan memiliki "kampus perempuan” terbesar di dunia bernama Princess Nora University.



Putri Ameerah al Taweel dari Arab Saudi
Putri Ameerah al Taweel lahir 6 November 1983. Dia istri Pangeran al Waleed bin Talal, yang termasuk keluarga kerajaan Arab Saudi. Pangeran al Waleed (58 tahun) adalah seorang pengusaha, dan menurut majalah Forbes menduduki ranking ke-26 dalam daftar pria terkaya dunia.




Ratu Rania dari Yordania
Ratu Rania adalah istri Abdullah II ibn al Hussein, yang naik tahta Raja Yordania tahun 1999. Ratu Rania lahir 31 Agustus 1970. Foto: Ratu Rania ketika ikut demonstrasi menentang Islamic State (06/02/15), yang membakar hidup-hidup pilot Yordania, Muath al-Kassasbeh.


Sejak Raja Abdullah bertahta, kaum perempuan memiliki kesempatan dan posisi lebih besar. Bukan hanya menikmati dunia pendidikan saja tetapi juga kesempatan bekerja di semua sektor publik (kecuali kemiliteran). Bahkan sejumlah perempuan menjadi penggerak dunia bisnis, industri, penerbitan, teknologi, dlsb. Sejumlah elit perempuan juga menjadi anggota "Shura Council” yang bertugas memberi nasehat dan masukan-masukan kepada raja terkait berbagai isu menyangkut pemberdayaan perempuan.

Kolegaku Mark Thompson, spesialis kajian Arab Saudi dari Inggris, menyatakan bahwa kelompok elit perempuan inilah yang berada di balik perubahan sosial menyangkut hak-hak kaum perempuan Saudi. Mark Thompson telah menulis sebuah buku berjudul Saudi Arabia and the Path to Political Changeyang merekam dengan baik proses-proses perubahan sosial-politik-kultural di Saudi.

Peran elit agama dipreteli, polisi syariat dipangkas fungsinya

Wajah keagamaan juga mengalami perubahan besar. Kelompok Islam konservatif-radikal-ekstrimis semakin terisolasi dan kehilangan pengaruh publik. Sejak mendiang Abdullah bin Abdulaziz Al Saud memegang tapuk kekuasaan dan kendali pemerintahan, baik saat menjadi Putra Mahkota di era Raja Fahd maupun ketika menjadi raja, berbagai reformasi pemikiran dan praktik keagamaan serta kebijakan publik dilakukan untuk mendorong terwujudnya wajah keislaman yang modern, toleran, moderat, dan damai. Beliaulah yang memprakarsai dialog kultural-nasional dengan para tokoh dan komunitas Syiah. Beliau jugalah yang membuka peluang lebar-lebar bagi warga Syiah Saudi untuk bekerja di semua sektor publik.

Beliau juga yang "memereteli” pengaruh dan peran sejumlah elit agama konservatif serta memangkas fungsi "Polisi Syariat” yang dulu sangat dominan mengontrol "kesalehan publik”. Berbagai kebijakan Raja Abdullah tersebut dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan ritmenya oleh Raja Salman saat ini. Sejak beberapa tahun terakhir, Saudi juga memerangi kaum teroris-ekstrimis yang sering berbuat onar dan menganggu stabilitas politik-ekonomi negara.

Putra Mahkota Muhammad Bin Nayef menjadi aktor utama yang memimpin langsung perang melawan "terorisme gobal” dan "kekerasan domestik”. Sehingga dengan begitu tidak memberi ruang secuilpun pada kelompok radikal-ekstrimis untuk berkembang biak dan melampiaskan kekerasan di jalan-jalan dan arena publik lain. Saudi adalah negara yang sangat mementingkan "keamanan dan kenyamanan nasional” sehingga segala tindakan massa dan "kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat akan ditindak tegas.

Kontras dibanding Indonesia

Sejumlah fenomena perubahan sosio-kultural di Saudi dewasa ini cukup kontras dengan dinamika perkembangan di Indonesia belakangan ini, khususnya sejak lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan. Sejumlah kelompok Islam di Indonesia bukannya menjadi lebih modern, progresif, toleran, dan damai tetapi justru semakin "kolot”, konservatif, intoleran, dan keras.

Wajah keislaman di Indonesia dewasa ini, khususnya di Jakarta dan beberapa kawasan urban, dipenuhi dengan munculnya berbagai ormas Islam ekstrim yang serba anti dengan minoritas agama: Syiah, Ahmadiyah, non-Muslim, dan berbagai sekte agama lain, termasuk agama-agama dan kepercayaan lokal.



Ambisi Haji
Sejak jatuhnya harga minyak, pemerintah Arab Saudi ingin lebih cepat mengembangkan wisata Haji sebagai salah satu pondasi perekonomian. Salah satu proyek terbesar adalah perluasan Masjid al Haram di Mekkah dan pembangunan berbagai hotel berbintang di sekitarnya. Namun proyek tersebut bergulir dengan mengorbankan berbagai situs bersejarah dari era kelahiran Islam.




Makam Khadijah
Isteri pertama nabi Muhammad S.A.W, Khadijah binti Khuwaylid dimakamkan di kompleks pemakaman Jannatul Mualla di Mekkah. Namun tahun 1925, kompleks tersebut dibuat rata dengan tanah oleh Raja Ibn Saud. Termasuk yang menghilang adalah kubah yang menaungi makam Khadijah R.A.


Sejumlah aksi kekerasan, verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh sejumlah kelompok Islam atas kaum minoritas beserta properti keagamaan mereka juga menjamur di berbagai daerah. "Polisi Syariat” yang sudah dipreteli wewenangnya di Saudi malah berkembang biak di Indonesia, bukan hanya di Aceh saja tetapi juga di berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, dan lainnya.

Sejumlah massa dan kelompok sipil yang mengatasnamakan agama dan umat Islam juga bertebaran di sejumlah daerah. Mereka begitu gagah dan "pede”-nya mengaku sebagai "asisten Tuhan” untuk memusnahkan apa yang mereka anggap dan yakini sebagai "kemaksiatan” dan "kemungkaran”. Fenomena "kekerasan kolektif” yang diprakarsai oleh sejumlah ormas Islam ini "genuine” Indonesia yang tidak pernah saya temukan di Saudi yang memang melarang keras warganya untuk melakukan tindakan kekerasan komunal.

Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim juga bereuforia dengan "simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman dulu yang kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab kontemporer seperti tradisi tata-busana yang saya sebutkan di atas. Pula, sejumlah umat Islam, khususnya kaum Muslim kota, bereuforia dengan Bahasa Arab yang menurut mereka sebagai "bahasa agamis” dan "bahasa surga” seraya "mengkafirkan” Bahasa Inggris. Padahal di Saudi sendiri (dan juga kawasan Arab Teluk lain), penggunaan Bahasa Inggris kini telah berkembang pesat, bukan hanya di dunia pendidikan saja tetapi juga di sektor bisnis-perekonomian dan komunikasi sehari-hari.

Apakah berbagai fenomena sosial-kultural yang cukup kontras terjadi di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini menunjukkan bahwa masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju "umat modern”, sementara (sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi "masyarakat klasik” dan bahkan "komunitas primitif” --khususnya mereka yang hobi melakukan tindakan barbar dan kekerasan? Wallahu ‘alam bi-shawab.



Wahabisme Telurkan Radikalisme?
Sejak 2013 silam parlemen Eropa mewanti-wanti terhadap paham Wahabisme. Bahkan Dewan Fatwa Malaysia menilai faham tersebut kerap melahirkan pandangan radikal dan bisa berujung pada tindak terorisme. Pasalnya Wahabisme menganut prinsip pemurnian Islam. Bentuknya yang cenderung eksklusif dan intoleran terhadap ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.




Sumber Ideologi
Kebanyakan kelompok teror dari Nigeria, Suriah, Irak hingga ke Pakistan mengklaim Wahabisme atau Salafisme sebagai ideologi dasar. Al-Qaida, Islamic State, Taliban, Lashkar-e-Toiba, Front al Nusra dan Boko Haram adalah kelompok terbesar yang jantung ideologinya merujuk pada paham Islam puritan itu.


Penulis:

Sumanto Al Qurtuby

Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University. Ia telah menulis lebih dari 17 buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & new York: Routledge, 2016).

Prof. Quraisy Syihab dan Tafsir al-Mizan

Salah satu alasan Habib Prof Quraish Shihab dituduh beraliran Syi'ah adalah karena dalam kitab tafsir karyanya, yaitu al-Misbah (15 jilid) beliau sering merujuk kepada Tafsir al-Mizan karya Muhammad Hussein Thabathaba'i.  Bagaimana ceritanya?

Di lemari buku almarhum Abah saya (Prof KH Ibrahim Hosen) ada satu set komplit (21 jilid) Tafsir al-Mizan. Sekitar tahun 1990 Abah saya berdecak kagum membaca ulasan dari kitab tafsir ini. Saat itu saya tanyakan kepada Abah kenapa membeli tafsir milik ulama Syi'ah. Abah menjawab, "Ini kitab tafsir bagus, Habib Quraish yang merokemendasikan dan ternyata beliau benar, isinya luar biasa".  Saya bertanya, "kalau begitu saya juga boleh membacanya?" Abah mengangguk.

Jadi kekaguman Habib Prof Quraish Shihab terhadap karya Thabathaba'i itu sudah sejak dulu. Itu sebabnya kitab tafsir al-Misbah banyak mengutip Tafsir al-Mizan. Tapi apakah fakta ini menjadikan Habib Prof Quraish seorang syi'ah? Saya berpendapat, "Tidak!"

Pertama, merupakan hal wajar seorang Profesor seperti Quraish Shihab dan juga Abah saya membaca kitab lintas mazhab. Di lemari buku Abah saya juga terdapat Tafsir al-Kasyaf karya Zamakhsyari yang beraliran Mu'tazilah. Juga ada kitab Nailul Authar karya Syaukani yang berasal dari tradisi Syi'ah Zaidiyah dan kabarnya kemudian beralih ke mazhab Zahiri. Karya Syaukani lainnya yang saya temukan di perpustakaan Abah saya adalah kitab Irsyadul Fuhul yang mengupas Ushul al-Fiqh.  Jadi, para guru besar itu memang membaca dan mengoleksi literatur dalam berbagai mazhab. Kalau gak gitu, ya bukan guru besar dong :)

Kedua, keliru besar kalau dikatakan Tafsir al-Misbah hanya merujuk pada Tafsir al-Mizan. Kalau kita baca dengan seksama, Habib Prof Quraish itu sangat mengagumi al-Biqa'i yang menulis kitab tafsir Nazm al-Durar. Karya al-Biqa'i ini menjadi bahan kajian disertasi Habib Prof Quraish Shihab di al-Azhar Cairo. Selain al-Biqa'i dan Thabathaba'i, beliau juga merujuk kepada Tafsir fi Zhilalil Qur'an karya Sayid Quthb dan al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn Asyur. Jadi, paling tidak ada 4 kitab tafsir utama yang dirujuk oleh Tafsir al-Misbahnya Habib Prof Quraish Shihab: Thabathaba'i yang beraliran Syi'ah Imamiyah, al-Biqa'i yang bermazhab Syafi'i, Sayid Quthb ulama konservatif dari Ikhwanul Muslimin, dan Ibn Asyur ulama progresif bermazhab Maliki.

Selain keempat kitab tafsir utama di atas, Habib Prof Quraish Shihab juga merujuk kepada kitab tafsir lainnya semisal Tafsir al-Wasith karya Sayid Thantawi (mantan Grand Syekh al-Azhar) dan juga kitab tafsir klasik semisal Tafsir al-Qurtubi.  Dengan kata lain, Tafsir al-Misbah tidak hanya merujuk kepada tafsir syi'ah karya Thabathaba'i tapi juga kitab tafsir lainnya termasuk tafsir konservatif milik Sayid Quthb. Tentu menakjubkan karya tokoh syi'ah-sunni, progresif dan konservatif, klasik-modern semuanya diakomodir dalam Tafsir al-Misbah. Ini menunjukkan pendekatan beliau yang luas dan luwes.

Ketiga, meskipun beliau mengutip Tafsir al-Mizan karya ulama Syi'ah, namun dalam beberapa pembahasan Habib Prof Quraish Shihab terang-terangan menunjukkan perbedaan pandangan beliau dengan Thabathaba'i. Ini sikap ilmiah beliau. Misalnya yang paling jelas dalam Surat 'Abasa. Sejak lama ulama Sunni berbeda pandangan dengan ulama Syi'ah mengenai apakah Nabi Muhammad yang mendapat teguran Allah dalam surat tersebut atau orang lain.  Setelah menguraikan pandangan Thabathaba'i, beliau menulis: "Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat".  Dengan kata lain, Habib Prof Quraish Shihab berpandangan sama dengan ulama Sunni dalam surat 'Abasa ini. Ini bukti yang teramat jelas bahwa beliau bukan seorang Syi'ah.

Perbedaan pandangan lainnya bisa terlihat saat membahas surat al-Hujurat ayat 12. Thabathaba'i menganggap larangan ghibah di ayat ini hanya berlaku jika yang digunjing itu seorang muslim sebagaimana diisyaratkan oleh kata "akh/saudara" dalam ayat ini. Dengan merujuk pada QS al-Taubah : 9 yang menegaskan persaudaran seagama itu menggunakan redaksi "ikhwanukum fid din" Habib Prof Quraish Shihab tidak menyetujui pendapat Thabathaba'i di atas. Dengan demikian beliau berpendapat kata "akh/saudara" dalam al-Hujurat:12 tidak hanya berlaku untuk sesama Muslim. Ini contoh bagaimana Tafsir al-Misbah berbeda pandangan dengan Tafsir al-Mizan. Dalam dunia ilmiah, hal ini wajar saja.

Dari ketiga point di atas terbantahlah mereka yang menganggap Habib Prof Quraish Shihab sebagai syi'ah dikarenakan beliau merujuk kepada Tafsir al-Mizan ulama syi'ah. Semoga ini bisa meluruskan fitnah keji yang terus menerus diedarkan oleh sementara pihak terhadap beliau. Semoga beliau selalu dikaruniai kesehatan dan dijaga oleh Allah dalam membina umat lewat keteladanan, kesantunan dan kedalaman ilmu beliau.

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Rabu, 11 Januari 2017

KH. MAMAN IMANULHAQ AL-FAQIEH



Muda, energik! Itulah kira-kira yang dapat digambarkan sosok kyai progresif yang berkediaman di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Sehingga, saking kemudaannya yang masih menonjol, sepintas tidak kelihatan tokoh yang satu ini adalah kyai. Namun, itulah KH. Maman Imanulhaq Al-Faqieh “kyai muda” yang biasa disapa Kang Maman.
Lahir di kota Sumedang 8 Desember 1972 dari keluarga religius, pasangan Drs. H.Abdurrochim dan Hj. Lalih Halimah.
Masa kecil yang dilaluinya di sebuah wilayah sejuk lereng Gunung Tampomas Cimalaka, Sumedang, dengan hamparan sawah, kicau burung?, hembusan kabut pagi, wangi rerumputan serta keragaman budaya Sunda yang khas, telah menumbuhkan potensi dan bakat seninya.
Selama enam tahun menempa ilmu di Ma’had Baitul Arqom, Bandung Selatan, dengan kedisiplin belajar, berorganisasi serta keahlian berbahasa sehingga membentuk kepribadian yang progressif, toleran, serta mempunyai kualitas spiritual yang penuh.
Masa-masa “kegelisahan” ia jalani dengan lakon silaturahmi ke beberapa Ulama besar dan pesantren di Pulau Jawa, seperti Ua Khoer Afandi Manonjaya Tasikmalaya, Mama Bantargedang, Mbah Dullah Salam di Kajen Pati Jawa Tengah, Kyai Mudzakir Pekalongan dan Pesantren Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Tempat-tempat karamah, pusat-pusat kebudayaan, serta terminal bus adalah tempat yang kerap ia kunjungi karena memberinya sebuah hikmah (moral lesson) “wajah kemanusiaan” serta “nilai ilahiyah” yang hakiki.
Semenjak mendirikan pesantren Al-Mizan tahun 1998, ia kerap dipanggil Aa atau Kang Maman oleh para santri dan jama’ah Dzikir & Muhasabahnya yang tersebar di wilayah III Cirebon, wilayah Priangan Timur, Sumedang, Brebes, dan Pekalongan. Sebuah panggilan yang mengisyaratkan sebuah kehangatan, egaliterian serta penolakan terhadap budaya feodalisme yang mewabah di kalangan pesantren.
Sekitar tahun 1998-1999, saat Reformasi bergulir, ia mulai aktif menjadi mubaligh. Bersama KH. Manarul Hidayat, Habib Idrus Jamalullail, dan para mubaligh lain, ia kerap mengisi acara pengajian di Majlis Ta’lim Hidayatullah Cirebon, Jawa Barat.
Metode ceramahnya yang renyah bermakna, humoris berbobot -yang menurutnya merupakan berkah dari Kyai-nya masa di Arqom, yakni KH Yusuf Salim Faqih. Ceramahnya yang juga diselingi syair sholawat yang ia karang serta dzikir muhasabah yang menyentuh di akhir pengajiannya, telah menyedot perhatian umat di berbagai tempat. Badan Dakwah Islam (BDI) Pertamina, PT Wika, BI adalah sebagian dari perusahaan yang sering mengundangnya.
Materi pengajiannya yang memperlihatkan pemihakan terhadap dhu’afa (the weak), dan mustadh’afin (the oppressed) kepedulian pada ranah budaya lokal, merangkul kaum pinggiran (marginal) serta mensponsori kreativitas anak-anak muda, telah menjadikannya sosok kiyai muda yang diterima semua kalangan. Karena, di samping aktif mengisi pengajian, ia pun rajin menghadiri diskusi-diskusi di P3M Jakarta, Halaqoh Budaya, workshop, kegiatan kesenian serta dialog lintas agama dan kepercayaan.
Tulisan-tulisan serta puisi religiusnya sering menghiasi koran dan majalah. Selama tahun 2003, dengan ALIF dan Olimpide Kebudayaan ia keliling dalam kegiatan Syukur Pesisir. Oktober 2003, menjadi pembicara dalam Konggres Kebudayaan V di Bukittinggi Sumatra Barat. September-Oktober 2004 berkujung ke USA, sebagai peserta program Inter-religios Dialogue Ohio University. Dengan ghiroh memperjuangkan maqashid syari’at Islam, yakni menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal, ia aktif di dalam kajian pemikiran Islam progressive di Fahmina Institute Cirebon, Akademi Entrepreneur Al-Biruni Ciwaringin Yayasan Pendidikan Seni Nusantara Jakarta dan TGI (The Grage Institute).
Sekarang, di tengah kesibukannya sebagai Anggota DPR RI Fraksi PKB juga Ketua LDNU Pusat serta Pengurus Jamiyyah Thaoriqoh Al-Mu’tabor An-Nahdiyyah, Bapak dari tiga anak; Fahma, Hablie, Ghaitsa, ini sedang berusaha mengembangkan Pesantren Al-Mizan, Program Out Bond (Pesantren Alam) serta mengembangkan pengajian Dzikir & Muhasabah, serta merintis Pesantren Budaya dengan Komunitas Gamelan Sholawat “Qi Buyut” sebagai maskotnya. (Disarikan dari DAURAH Kebudayaan –Kantata Research Indonesia/ mamanimanulhaqfaqih.blogspot.com)