Muda,
energik! Itulah kira-kira yang dapat digambarkan sosok kyai progresif yang
berkediaman di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
Sehingga, saking kemudaannya yang masih menonjol, sepintas tidak kelihatan
tokoh yang satu ini adalah kyai. Namun, itulah KH. Maman Imanulhaq Al-Faqieh
“kyai muda” yang biasa disapa Kang Maman.
Lahir di
kota Sumedang 8 Desember 1972 dari keluarga religius, pasangan Drs.
H.Abdurrochim dan Hj. Lalih Halimah.
Masa kecil
yang dilaluinya di sebuah wilayah sejuk lereng Gunung Tampomas Cimalaka,
Sumedang, dengan hamparan sawah, kicau burung?, hembusan kabut pagi, wangi
rerumputan serta keragaman budaya Sunda yang khas, telah menumbuhkan potensi
dan bakat seninya.
Selama enam
tahun menempa ilmu di Ma’had Baitul Arqom, Bandung Selatan, dengan kedisiplin
belajar, berorganisasi serta keahlian berbahasa sehingga membentuk kepribadian
yang progressif, toleran, serta mempunyai kualitas spiritual yang penuh.
Masa-masa
“kegelisahan” ia jalani dengan lakon silaturahmi ke beberapa Ulama besar dan
pesantren di Pulau Jawa, seperti Ua Khoer Afandi Manonjaya Tasikmalaya, Mama
Bantargedang, Mbah Dullah Salam di Kajen Pati Jawa Tengah, Kyai Mudzakir
Pekalongan dan Pesantren Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Tempat-tempat
karamah, pusat-pusat kebudayaan, serta terminal bus adalah tempat yang kerap ia
kunjungi karena memberinya sebuah hikmah (moral lesson) “wajah kemanusiaan”
serta “nilai ilahiyah” yang hakiki.
Semenjak
mendirikan pesantren Al-Mizan tahun 1998, ia kerap dipanggil Aa atau Kang Maman
oleh para santri dan jama’ah Dzikir & Muhasabahnya yang tersebar di wilayah
III Cirebon, wilayah Priangan Timur, Sumedang, Brebes, dan Pekalongan. Sebuah
panggilan yang mengisyaratkan sebuah kehangatan, egaliterian serta penolakan
terhadap budaya feodalisme yang mewabah di kalangan pesantren.
Sekitar
tahun 1998-1999, saat Reformasi bergulir, ia mulai aktif menjadi mubaligh.
Bersama KH. Manarul Hidayat, Habib Idrus Jamalullail, dan para mubaligh lain,
ia kerap mengisi acara pengajian di Majlis Ta’lim Hidayatullah Cirebon, Jawa
Barat.
Metode
ceramahnya yang renyah bermakna, humoris berbobot -yang menurutnya merupakan
berkah dari Kyai-nya masa di Arqom, yakni KH Yusuf Salim Faqih. Ceramahnya yang
juga diselingi syair sholawat yang ia karang serta dzikir muhasabah yang
menyentuh di akhir pengajiannya, telah menyedot perhatian umat di berbagai
tempat. Badan Dakwah Islam (BDI) Pertamina, PT Wika, BI adalah sebagian dari
perusahaan yang sering mengundangnya.
Materi
pengajiannya yang memperlihatkan pemihakan terhadap dhu’afa (the weak), dan
mustadh’afin (the oppressed) kepedulian pada ranah budaya lokal, merangkul kaum
pinggiran (marginal) serta mensponsori kreativitas anak-anak muda, telah
menjadikannya sosok kiyai muda yang diterima semua kalangan. Karena, di samping
aktif mengisi pengajian, ia pun rajin menghadiri diskusi-diskusi di P3M
Jakarta, Halaqoh Budaya, workshop, kegiatan kesenian serta dialog lintas agama
dan kepercayaan.
Tulisan-tulisan
serta puisi religiusnya sering menghiasi koran dan majalah. Selama tahun 2003, dengan
ALIF dan Olimpide Kebudayaan ia keliling dalam kegiatan Syukur Pesisir. Oktober
2003, menjadi pembicara dalam Konggres Kebudayaan V di Bukittinggi Sumatra
Barat. September-Oktober 2004 berkujung ke USA, sebagai peserta program
Inter-religios Dialogue Ohio University. Dengan ghiroh memperjuangkan maqashid
syari’at Islam, yakni menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial,
kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal, ia aktif di
dalam kajian pemikiran Islam progressive di Fahmina Institute Cirebon, Akademi
Entrepreneur Al-Biruni Ciwaringin Yayasan Pendidikan Seni Nusantara Jakarta dan
TGI (The Grage Institute).
Sekarang, di
tengah kesibukannya sebagai Anggota DPR RI Fraksi PKB juga Ketua LDNU Pusat serta
Pengurus Jamiyyah Thaoriqoh Al-Mu’tabor An-Nahdiyyah, Bapak dari tiga anak;
Fahma, Hablie, Ghaitsa, ini sedang berusaha mengembangkan Pesantren Al-Mizan,
Program Out Bond (Pesantren Alam) serta mengembangkan pengajian Dzikir &
Muhasabah, serta merintis Pesantren Budaya dengan Komunitas Gamelan Sholawat
“Qi Buyut” sebagai maskotnya. (Disarikan dari DAURAH Kebudayaan –Kantata
Research Indonesia/ mamanimanulhaqfaqih.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar