YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Selasa, 07 Februari 2017

Menolak Wahabi

Oleh: Fadhilatus Syekh KH. Maimoen Zubair, Pengasuh Pon Pes. Al-Anwar Sarang Rembang

Segala puji bagi Allah, Tuhan penguasa alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada sebaik-baik nabi dan rasul, baginda kita, Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Amin.
Amma ba’du..

Sebagaimana kita tahu, Kiai Faqih bin Abdul Djabbar Maskumambang memiliki karisma—sekaligus popularitas—yang sedemikian tinggi di kalangan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Ini tidak saja karena beliau salah seorang ulama yang memiliki peran penting di tubuh NU sejak kali pertama ia dibentuk, tetapi juga karena beliau sahabat karib Kiai Hasyim Asy’ari. Kalau kita telusuri riwayat kehidupan mereka, kita akan dapati bahwa keduanya merupakan sahabat seperjuangan semenjak “nyantri” baik ketika di tanah suci Makkah, maupun di pondok pesantren Syeikhana Khalil Bangkalan. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, mereka berdua sama-sama menjadi pengurus inti NU: Kiai Hasyim menjadi Rais ‘Am dan Kiai Faqih menjadi Naib ‘Am.

Kendati demikian, perjalanan persahabatan mereka bukan berarti mulus, sama sekali tidak ada perbedaan pendapat—atau perbedaan cara pandang—dalam menyikapi suatu persoalan furu’iyyah, terutama dalam bidang fikih. Adanya perbedaan cara pandang ini bukan malah membuat mereka saling menyalahkan, bercerai-berai, melainkan hal ini semakin membuat mereka berjiwa besar, saling menghormati pendapat satu sama lain, dan bahkan melarang para santrinya untuk bersikap ta’ashub.

Sikap demikian misalnya, nampak ketika keduanya menyikapi hukum mengenai boleh tidaknya “kentongan” digunakan sebagai sarana penyeru shalat bagi kaum muslimin. Dalam khilafiyah ini, Kiai Hasyim Asy’ari jelas menolak (tidak memperbolehkan) penggunaan “kentongan” sebagai sarana penyeru shalat. Sementara sebaliknya, Kiai Faqih Maskumambang malah memperbolehkannya. Merespon hal ini, Kiai Hasyim kemudian mengundang para ulama yang ada di Jombang dan para santri seniornya untuk berkumpul di Tebuireng.

Dalam perkumpulan itu, Kiai Hasyim meminta kepada mereka agar membaca—membacakan—poin-poin teks yang menjadi perbedaan antara beliau dengan Kiai Faqih. Setelah mendengar pembacaan tersebut Kiai Hasyim kemudian menjelaskan—dan menyatakan—bahwa kedua pendapat mengenai kentongan itu sama-sama benar, dan diperbolehkan mengambil— sekaligus mengamalkan—salah satu dari kedua pendapat tersebut, tanpa saling mencela pendapat yang lain. Hanya saja, dalam kesempatan ini, Kiai Hasyim meminta kepada para hadirin agar tidak menggunakan “kentongan” itu di masjid Tebuireng.

Keputusan dan sikap Kiai Hasyim ini pun diapresiasi dan hormati oleh Kiai Faqih. Hal ini nampak misalnya, pada suatu hari Kiai Faqih mengundang Kiai Hasyim ke pesantrennya di Maskumambang, untuk memberi ceramah umum pada para santri. Demi menghormati Kiai Hasyim, beliau memerintahkan kepada santrinya agar mengosongkan— menyembunyikan— kentongan yang ada di masjid-masjid ataupun mushalamushala selama beliau berada di Maskumambang. Sungguh sikap yang demikian ini pantas mendapat perhatian dari kita semua, dan tentunya pantas untuk kita ikuti—atau teladani—dalam kehidupan sehari-hari.

Tak sebatas itu saja, hubungan mereka berdua ini kian hari kian akrab, bahkan hubungan persahabatan keduanya itu berlanjut menjadi hubungan keluarga (saudara). Hal ini lantaran secara sengaja, Kiai Hasyim Asya’ri menikahkan putrinya yang bernama Nyai Khairiyah, dengan Kiai Maksum, yang tak lain adalah saudara kandung Kiai Faqih sendiri. Dalam perkembangannya, Kiai Maksum ternyata memiliki peran penting di Pondok Tebuireng. Ia tidak hanya sekadar mendirikan Pondok Salafiyah di sana, tetapi juga turut serta membesarkan—sekaligus mengharumkan—nama pondok melalui berbagai karya yang ia tulis, semisal di antaranya karyanya yang terkenal adalah: “Ad-Durûs al-Falakiyyah”, dan “Al-Amtsilah at-Tashrifiyyah”. Kedua karya ini hingga saat ini masih dipelajari di pondokpondok pesantren di Jawa.

Dalam kehidupan sehari-hari, Syeikh Faqih terkenal sebagai seorang ulama yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Nabi, terutama dalam mencari rezeki yang halal. Dalam berdagang misalnya, beliau selalu mengingat pesan mulia Nabi: “Tidaklah sekali-sekali seseorang makan suatu makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil keringatnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. dahulu senantiasa makan dari hasil keringatnya sendiri.” (HR. Muttafaq ‘Alaih). Bahkan tidak hanya di situ saja, selepas bekerja pun—berdagang—di pasar, beliau masih menyempatkan diri mengajar para santrinya di pondok.

Terdapat sebuah kisah menarik antara Ayahanda—Kiai Zubair Dahlan—dengan Kiai Faqih ini. Pada suatu hari, ketika Ayahanda usai menyelesaikan “ngelmu” di Makkah al-Mukarramah, dan usianya saat itu sekitar 21 tahun, ia diajak Kiai Syu’aib bin Abdurrazak—kakek Ayahanda—mendatangi Kiai Faqih. Kiai Syu’aib ini terkenal sebagai seorang sufi yang alim, dan sudah berusia senja, kurang lebih 90 tahun. Ketika Ayahanda tiba di hadapan Kiai Faqih, yang kebetulan pada waktu itu beliau sedang sibuk berdagang, beliau berkata, “ Aku telah meninggalkan semua daganganku—pekerjaanku—itu hanya untuk menyambutmu, Zubair. Karena engkau telah datang kepadaku bersama Kakekmu, Syeikh Syu’aib”. Demikianlah kisah Ayahanda dengan Kiai Faqih. Kisah ini menunjukkan bahwa Kiai Faqih amat menghormati tamu, lebih-lebih yang datang kepadanya adalah seorang yang hendak “ngelmu” agama kepada beliau.

Ayahanda “ngelmu” kepada Kiai Faqih ini hanya beberapa bulan saja, tak kurang dari sepuluh bulan. Karena pada waktu itu, santri beliau sudah banyak yang berdatangan dari berbagai daerah, mencapai lebih dari seratus santri, sehingga ketika mengaji mereka pun berdesak-desakan. Sebelum “nyantri” ke Kiai Faqih, Ayahanda sebenarnya “nyantri” di Makkah, kurang lebih sekitar dua tahun. Kebetulan pada masa itu penguasa Hijaz masih dipegang oleh keturunan Hasyim—Hasyimiyyah, dan rajanya (Gubernur) bernama Syarif Husein bin Ali (1856-1931 M.). Syarif Husein ini terkenal sebagai seorang pemimpin revolusi Arab. Ia secara terang-terangan berani mendeklarasikan revolusi melawan—memisahkan diri dari— kesultanan Turki Utsmani.

Baru setelah kesultanan Ustmani berhasil dikalahkan tahun 1917 M. dan tahun berikutnya 1918 M., perang pun berakhir. Sehingga Gubernur Syarif Husein akhirnya menguasai negeri Hijaz sepenuhnya. Tetapi beberapa tahun kemudian, tepatnya 1924 M., kesultanan Hasyimiyyah di Makkah ini direbut kembali oleh Abdul Aziz bin Sa’ud. Sehingga secara otomatis, wilayah Hijaz dikuasai secara mutlak olehnya.

Ketika ia menguasai Hijaz ini, dia dengan seenaknya—sesuai doktrin Wahabiyah—melakukan penghancuran kubah makam para sahabat, auliya’, dan orang-orang shaleh di Makkah dan Madinah. Nyaris sama sekali kubah-kubah makam itu tak tersisa kecuali hanya kubah makam Rasulullah. Menyikapi situasi ini, para ulama Jam’iah Nahdlatul Wathan kemudian berkumpul di Surabaya untuk mendiskusikan peristiwa ini. Dalam musyawarah itu mereka menyepakati membentuk “Komite Hijaz” yang kemudian diketuai oleh Kiai Wahab Hasbullah, dari Jombang.

Misi “Komite Hijaz” ini amat jelas dan tegas, yaitu meminta kepada Raja Abdul Aziz agar berkenan menghentikan penghancuran peningalanpeninggalan berharga ulama terdahulu—makam, tempat bersejarah, dan lain lain, serta memberi kebebasan beribadah kepada umat Islam sesuai keyakinan madzhab mereka masing-masing. Kedatangan mereka ke Haramain ini disambut secara hormat oleh para ulama negeri Haramain, di antaranya, Sayyid Muhammad bin Bakri Syatha, Syaikh Asy’ari, dan para ulama yang lain.

Di depan Raja Abdul Aziz, komite ini mengajukan apa yang menjadi misi mereka, dan secara khusus meminta agar sang raja berkenan mengembalikan keadaan Masjidil Haram seperti sedia kala—seperti keadaan pada masa generasi salaf dan khalaf. Menanggapi hal ini, sang raja berkata, “Aku sama seperti kalian, penganut empat Madzhab. Hanya saja, apabila kalian, wahai para ulama Nahdliyin, pengikut madzhab Syafi’i, maka aku penganut madzhab Hanbali. Kalian Syafi’iyah dan kami Hanbaliyah. Dan, kita patut bersyukur atas itu semua.”

Selepas komite ini kembali dari Hijaz tahun 1925 M., mereka lantas mengadakan/membentuk lajnah (organisasi) yang secara khusus bertujuan membela akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan para pengikutnya. Maka disepakatilah kemudian membentuk organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU), dan juga secara aklamatis KH. Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai Rais Am, dan sebagai wakilnya, ditunjuklah Kiai Faqih Maskumambang.

Secara pribadi, saya sangat bangga dan apresiatif dengan hadirnya karya Syeikh Faqih Maskumambang ini. Karena beliau termasuk pembesar ulama yang dengan konsisiten membela akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga sang pengarang buku ini, dan secara umum kaum muslimin, mendapat sebaik-baik balasan dari Allah Swt. Secara subtansial, karya ini, sangatlah penting. Apa yang dikandung di dalamnya layak diketahui oleh mereka yang mengaku sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama dan pembela Aswaja. Saya berharap, semoga sang pengarang kitab ini termasuk dalam golongan yang pernah disabdakan Nabi kita Muhammad Saw.: “Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang senantiasa memperjuangkan kebenaran hingga keputusan Allah (hari kiamat) itu tiba.”

Satu hal yang mesti digarisbawahi adalah bahwa kitab ini ditulis oleh Kiai Faqih sebelum Raja Abdul Aziz bin Sa’ud menguasai negeri Hijaz tahun 1924 M. Karena buku ini pertama kali diterbitkan di Mesir tahun 1922 M. Sehingga, buku ini memiliki keistimewaan tersendiri. Terlebih lagi, saya kian bahagia karena yang menerjemahkan—dan secara tidak langsung turut menyebarkan—karya penting ini adalah Kiai Abdul Aziz Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
Saya berharap, semoga usaha beliau ini dapat memberi kontribusi berharga bagi penyebaran ilmu-ilmu agama di tengah-tengah masyarakat Muslim. Karena, saat ini, sedikit sekali di antara para ulama (atau kelompok) yang secara sungguh-sungguh berjuang menghidupkan—dan menyebarkan—syiar ajaran agama ini. Meski demikian, mereka ini masih tetap menjadi bagian dari umat agama ini, meski mereka terlihat seperti orang asing, sebagaimana sabda Rasulullah: “Islam mucul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing—seperti semula, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Imam Muslim). Oleh karena itu, kita berharap semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang selamat.

Yang terakhir, saya akan memberi nasehat kepada para pembaca—terutama bagi diri saya sendiri. Seyogyanya, kalian memahami apa yang menjadi tanggung jawab kalian, sekaligus memahami situasi saat ini yang penuh dengan berbagai perkembangan pengetahuan modern. Karena bagaimanapun juga, situasi saat ini amat berbeda jauh dengan situasi sebelumnya—abad-abad sebelumnya. Demikian pula sebaiknya kalian juga mengetahui pesan penting yang tersurat dalam perkataan bapak seluruh manusia, Nabi Ibrahim a.s.: “Seorang yang berakal hendaknya memahami kondisi dan fenomena yang terjadi pada masanya, memperhatikan apa yang menjadi tanggungjawabnya, dan memahami (menerima) apa yang menjadi ketentuan Tuhannya”.

Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan dalam kata pengantar buku ini. Sekali lagi, semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat muslim, dan khususnya masyarakat Nahdliyin. Dan, hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan hanya kepada-Nya pula kita berharap keselamatan di dunia dan akhirat.
Rabu, 28 Rajab 1435 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar