YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Jumat, 17 Februari 2017

Catatan penting pertemuan tokoh NU se-madura dengan KH. Maruf Amin


*Oleh : Abd. Hayyi, M.Pd. (Sekretaris LP Maarif NU Sampang)*

Assalamu’alaikum Warahmatuulahi Wabarakatuh.
Pertemuan tokoh NU se-Madura dengan KH. Ma’ruf Amin pada tanggal 9 Februari 2017 pukul 19.30 sampai sekitar pukul 22.00 WIB menjadi pertemuan yang sangat penting. Pada pertemuan itu membahas persoalan-persoalan yang hangat yang sedang dihadapi umat Islam akhir-akhir ini. Dalam pertemuan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh NU se-Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep). Saya sebagai Notulen yang ditunjuk KH. Abd. Muhaimin Abd. Bari, Ketua Tanfidziyah PCNU Sampang, berkewajiban untuk melaporkan hasil pertemuan tersebut. Para tokoh mempertanyakan banyak hal, antara lain: tentang isu PKI, Ahok, Batasan Tasamuh dan Tawasuth NU, Sampai kapan warga NU harus bersabar dengan kondisi seperti ini. Pertanyaan dari anggota forum menggebu-gebu, seperti meluapkan sesuatu yang sudah lama ditahan-tahan. Sementara Hadratus Syaikh KH. Ma’ruf Amin menjelaskan dengan tenang dan bijak. Berikut penjelasan KH. Ma’ruf Amin:

*Isu PKI*
Tentang isu PKI memang akhir-akhir ini terjadi agak santer, apalagi dengan lambang-lambang PKI yang ditemukan. Tetapi sebetulnya itu belum clear apakah memang dibuat oleh kelompok komunis atau orang yang mengaku-ngaku PKI.   Tapi yang terang itu dulu sudah ada usaha dari kelompok-kelompok tertentu agar PKI dianggap sebagai korban dan ada yang menginginkan supaya semacam ada putusan tentang adanya rekonsiliasi dengan PKI dan supaya pemerintah meminta maaf kepada PKI. Waktu saya menjadi wantimpres, ada salah seorang anggota Wantimpres waktu SBY menjadi presiden supaya SBY minta maaf kepada PKI. Anggota Wantimpres 9 orang, waktu itu yang 8 menolak. Semua tidak merekomendasikan presiden meminta maaf. Kalau presiden minta maaf, berarti negara salah, dan PKI benar. Kalau negara salah, berarti yang menumpas PKI itu semua salah. Akhirnya tidak jadi itu. Belakangan timbul lagi pada zaman Jokowi. Ada isu bahwa Bapak Jokowi dalam drafnya pidatonya pada 17 Agustus tahun lalu itu akan menyampaikan permintaan maaf kepada PKI. Tapi saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak, saya tidak lihat. Pada seminar yang diselenggarakan oleh Lemhanas ada perbincangan yang mengarah pada semacam rekonsiliasi, tuntutan bahwa PKI itu adalah korban dan ini mendapatkan reaksi keras terutama dari kalangan kita. Belakangan ada isu bahwa PKI itu mulai timbul dan ini belum ada kepastian dari pemerintah. Pemerintah belum memberi penjelasan. Tapi kelompok Purnawirawan, istilahnya kelompok bela negara menolak keras. Kalau rekonsiliasi yang tidak formal sudah terjadi. Mereka itu ada yang menjadi ini, menjadi itu, ada yang menjadi DPR. Yang ditolak adalah rekonsiliasi yang mengatakan bahwa PKI itu bukan pelaku pemberontakan, tetapi adalah korban. Jadi ada usaha-usaha keras, dibantu atas nama hak asasi manusia supaya Bapak Jokowi minta maaf kepada kelompok-kelompok PKI. Yang menjadi pertanyaan adalah timbulnya gambar-gambar PKI. Nah, ini masih belum clear. Di dalam hal NKRI tentara dan polisi itu sebetulnya satu bagian. Semua berada dalam garis depan untuk membela NKRI. Tetapi di internal masing-masing mungkin saja terjadi adanya kecemburuan. Hal itu boleh saja terjadi semacam ada rivalitas. Tetapi menurut saya tidak sampai ada pergeseran kekuasaan, semuanya tetap berdiri untuk membela NKRI dan pemerintahan yang sah. Kalau masalah PKI kita menolak untuk dilakukan rehabilitasi. Sebab bagi kita PKI itu bagian daripada pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, dan juga malah dulu membunuh kyai-kyai. Mereka penghianat terhadap NKRI, terhadap pemerintahan yang sah. NU punya komitmen bahwa kita tidak akan mentolelir adanya perubahan kekuasaan secara tidak konstitusional. Ini hal yang menjadi komitmen Nahdlatul Ulama. Apalagi terhadap negara dan Pancasila, terhadap sistem pemerintahan, karena sudah ditetapkan secara konstitusional, dan kita menyepakati. Tujuan kita itu adalah perbaikan. Apa-apa yang kurang baik kita perbaiki.

*Tentang Tasamuh dan Tawasuth*
Cara berpikir kita, bahwa fikrah nahdliyah itu adalah fikrah tathowwuriyah. Artinya tidak berpikir tekstual. Tetapi juga tidak liberal. Liberal itu memberikan penafsiran terlalu jauh tanpa batas tanpa pedoman yang shohih. Tawassuth itu dinamis, tidak statis. Karena itu para ulama kita mengenal apa yang disebut dengan perubahan-perubahan apabila yang lama itu tidak relevan dengan memeriksa relevansinya. Jadi ulama-ulama kita itu tidak statis. Makanya kita mengistilahkan bahwa Nahdlatul Ulama itu dalam takwil fikra an-nahdliyah mendinamisasi cara berfikir NU supaya tidak statis, tetapi ketika pemikiran itu menjadi liberal, kebablasan maka kemudian pada tahun 2006 kita menekankan cara berpikir NU walaupun dinamis tetapi manhaji, bermanhaj, tidak boleh keluar dari Manhaj. Tidak boleh keluar dari salah satu madzhab empat.

Tasamuh, kita toleran di dalam kita bergabung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena kita memposisikan bahwa Indonesia ini adalah negara kesepakatan, bukan Darul Harbi bukan juga Darul Islam, karena ada kesepakatan antara muslim dan nonmuslim. Kita sepakat mendirikan negara ini menjadi negara kebangsaan yang di dalamnya agama tetap hidup, agama dijamin berjalan dengan baik. Karena itu maka kemudian kita hidup berdampingan secara damai. Di sini kita memberikan toleransi, tetapi tentu sepanjang dia tidak mengganggu kita, tidak merusak kita. Kalau tidak merusak kita, tentu kita akan pertahankan. Sekarang ini ada upaya-upaya dari kelompok-kelompok sekuler yang mencoba mengecilkan peran agama, sehingga seakan-akan agama itu jangan mempengaruhi Negara. Di dalam diskusi di Mabes Polri yang saya hadiri sebagai Ketua Majelis Ulama di situ tentang peran atau fatwa Majelis Ulama itu apakah fatwa itu berhukum positif atau bukan. Ini menjadi diskusi yang hangat. Kalau dilihat dari segi syar’i, fatwa itu ilzam. Secara Syariah mengikat umat Islam. Apalagi dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas kekuasaan yang memang dipercaya. Majelis Ulama selalu diminta oleh pemerintah untuk memberikan fatwanya dalam banyak hal. Oleh karena itu saya katakan bahwa fatwa Majelis Ulama Indonesia itu ada yang dikeluarkan atas perintah undang-undang. Contohnya tentang ekonomi syariah, itu ditetapkan bahwa kesesuaian syariahnya ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Hal itu mengikat bukan hanya secara syar’i tetapi secara juga secara tanfidzi, artinya langsung dieksekusi. Ketika itu diformalkan maka kemudian fatwa Majelis Ulama itu menjadi hukum positif. Begitu juga tentang produk halal. Di dalam undang-undang disebut bahwa yang menyatakan kehalalan sebuah produk adalah Majelis Ulama Indonesia. Itu mengikat, istilahnya ilzam. Begitu juga ketika Kementerian Agama atau kementerian kesehatan meminta fatwanya kepada Majelis Ulama, maka fatwanya itu ditindaklanjuti dengan surat keputusan Menteri, maka dia menjadi hukum positif. Ketika didiskusikan, ada 1 kelompok HAM, dia bilang Majelis Ulama tidak salah yang salah itu Negara. Kenapa menjadikan fatwa Majelis Ulama menjadi hukum positif. Sepertinya dia menghalangi fatwa MUI bisa menjadi aturan Negara. Ini saya kira kelompok sekuler yang memang berusaha untuk menghilangkan yang mereka sebut Perda Syariah. Perda Syariah itu ramai sekali, walaupun sebetulnya perda itu tidak ada. Perda itu hanya sama dengan ketentuan Syariah. Misalnya antiperjudian, antipelacuran, antimiras. Kalau di Aceh itu kalau mau menjadi Bupati itu diuji dulu dia bisa baca Qur’an atau tidak. Tapi itu hanya di Aceh. Nah itu dipersoalkan. Menurut mereka tidak sesuai dengan Pancasila. Tetapi cara-cara perjuangan Nahdlatul Ulama di dalam rangka memperjuangkan berlakunya syariat Islam melalui cara-cara yang konstitusional, cara-cara yang demokratis. Ya kita perjuangkan saja kalau bisa secara formal. Kalau tidak bisa formal ya substansinya saja yang penting tidak bertabrakan dengan syariah. Saya menyebutnya Bagaimana Syariah itu bisa diserap baik tekstual maupun formal. Seperti undang-undang haji, undang-undang zakat, undang-undang perbankan syariah, itukan formal. Tetapi caranya tetap konstitusional dan demokratis, tidak memaksa, tidak melakukan tekanan-tekanan sehingga masalahnya menjadi gaduh dan menimbulkan konflik. Jadi tasamuh di situ kita mentolerir adanya perbedaan pendapat agar hidup berdampingan secara damai tanpa merusak tatanan agama masing-masing. Ada kelompok yang sangat menghalang-halangi untuk formalisasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan negara ini secara politis sudah selesai. UUD 45, Pancasila, NKRI itu secara formal sudah selesai. Tetapi dalam tataran implementasi, pelaksanaannya masih terjadi benturan-benturan di dalam masalah perpaduan ajaran agama Islam di Indonesia, dan juga dalam rangka melindungi kemurnian ajaran Islam dari berbagai penondaan. Seperti Ahmadiyah itu ‘kan menodai. Ada kelompok-kelompok mengatakan itu perbedaan pendapat. Saya mengatakan bukan perbedaan pendapat, tapi penyimpangan. Kalau perbedaan pendapat itu ditoleransi, tetapi kalau penyimpangan diamputasi. Tetapi ini belum utuh. Masih ada yang memposisikan itu bagian dari perbedaan pendapat dan merupakan bagian dari hak asasi. Oleh karena itu sering terjadi benturan-benturan di dalam berpikir kita. Ketika Gafatar Minta pendapat pada Majelis Ulama, langsung dieksekusi. Tetapi ketika Banyak pihak meminta pendapat tentang Ahok kepada Majelis Ulama dipersoalkan.

Di dalam kita berjuang memang kita kita tidak boleh hilang kesabaran. Nabi sendiri mengalami tantangan yang begitu berat. Kita sebenarnya sih belum begitu berat. Artinya masih dalam konstitusional atau wajar. Jadi komitmen kebangsaan NU itu dari sejak dulu, dari sejak Merdeka kita pegang saja, sekarang kita mengisinya. Kalau dulu itu mempersoalkan undang-undang dasarnya, sekarang kita mempersoalkan isi daripada negaranya. Itulah perjuangan kita. Berlakunya syariat Islam menurut faham Ahlussunnah Wal Jamaah di masyarakat. Supaya ini bisa berlaku di masyarakat, ada undang-undang yang mengawalnya. Kemudian kita membuat sosialisasi kepada masyarakat, dakwah kepada masyarakat. Ini perjuangan berat. Oleh karena itu kita itu harus punya ulama, kemudian punya ahli-ahli (mufakkirin/mutahassisin), kemudian kita harus punya “mulobbiyin” (tukang lobi). Jadi kita mengkonsolidasi partai-partai Islam supaya bisa memperjuangkan atau orang-orang Islam yang di luar partai Islam untuk menjadi tukang lobi. Perjuangan kita ini rumit dan unik, bukan berhadap-hadapan.

Oleh karena itu kita melakukan lobi-lobi secara intensif di dalam memperjuangkan apa yang kita inginkan. Jadi organisasi NU harus kuat sampai ranting. Kemudian standarnya akan kita standarisasi. Kepengurusan itu harus begini, minimal begitu. Pengurus itu akan kita minta kemampuan leadership, kemudian dia harus bersertifikat Madrasah kader. Kalau syuriah ya memang harus syuriah atau kiai. Jadi jangan sampai orang NU jadi pengurus NU tidak tahu NU. Sekarang ini ada pahamnya Ahlussunnah Wal Jamaah sama, NU kultural. Tetapi dia belum menjadi anggota NU, cara berpikirnya juga belum NU, tapi Amaliahnya, Amaliah an-nahdliyah itu dikatakan NU kosong satu. Yang kedua, amaliyahnya NU, cara berpikirnya NU tapi belum menjadi anggota NU, itu namanya NU kosong dua. Tapi kalau sudah menjadi anggota NU, punya Kartanu maka itu disebut NU kosong tiga. Itu artinya sudah NU betulan. Karena itu kita memang harus mengajak ulama-ulama NU kultural. Kyai Jangan hanya tinggal di pesantren saja, keluar bersama-sama kita memperjuangkan dalam menjaga umat, dalam rangka himayatul Ummah.

*Ada isu revolusi jika Ahok menang. Bagaimana kalau Ahok menang?*
Ahok menang atau kalah saya tidak tahu. Itu masih di lauhul mahfudz. Harapan kita ya jangan menang. Kalau kalah ya nggak ada masalah. Andaikata dia menang, ada juga yang mengisukan revolusi. Menurut saya kita ini warga negara yang baik. Artinya kita siap menang siap kalah. Menang kita terima, kalah kita terima. Artinya kalau sampai kalah berarti kita belum mampu meyakinkan umat. Jadi yang salah kita para ulama, kok kalah. Jangan kita melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan dan menimbulkan kegaduhan, kecuali ada tanda bahwa menangnya itu tidak fair, ada kecurangan, ketidakjujuran. Tetapi kalau semuanya beres memang kalah, ya kita harus bisa menerima kekalahan meskipun buat kita berat sekali. Kalah di daerah mayoritas itu luar biasa. Makanya kita membangun kembali hamazah nahdliyah, hamazah Islamiyah, semangat keislaman. Tetapi kalau masih sampai kalah juga wallahu a’lam bissawab. Kita akan terus evaluasi Bagaimana seperti itu. Di Kalimantan Tengah yang dulunya itu gubernurnya nonmuslim sekarang sudah ganti muslim, Alhamdulillah. Umat Islamnya kompak karena mayoritas. Yang belum itu di Kalimantan Barat, gubernurnya masih Kristen dan wakil gubernurnya Cina Kristen.

Oleh karena itu tidak boleh hilang kesabaran. Jadi kalau pun nanti Ahok menang dan kita tidak menemukan adanya kecurangan, ya kita terima dengan kesedihan. Kita terpaksa harus menerima itu. Sebab bicara konstitusi memang begitu. Di negara demokrasi itu memang begitu. Demo itu bisa saja untuk menyampaikan pendapat, tetapi tidak akan berhasil merubah keadaan. Kalau sekarang demo bisa menekan putusan-putusan, bukan tidak manfaat ada manfaat. Tapi kalau sudah keputusan final, tidak bisa. Kalau revolusi resikonya tinggi sekali dalam kehidupan yang demokratis ini. Hal itu bukan cara-cara NU untuk mengubah dengan cara revolusi. Jadi cara NU itu dengan cara-cara yang memberikan perubahan-perubahan, perbaikan-perbaikan. Memang itu yang diwariskan kepada kita. Wali Songo itu mengubah Jawa menjadi mayoritas muslim. Ini luar biasa. Oleh karena itu kita harus meniru cara-cara Wali Songo melakukan islamisasi. Sebenarnya kalau di Madura ini, muslimnya kan 99%. Kita tinggal meningkatkan kualitas saja. Di luar Madura, apalagi Jakarta itu masih keras perjuangannya. Nah ini tugas Nahdlatul Ulama. Mudah-mudahan kita bisa menjalankan tugas dengan baik. Kesabaran itu tidak ada batasnya tidak boleh hilang. Kesabaran itu ada nash-nya watawa saubil Haq, watawa saubish shabr.

*Tentang Persidangan*
Kenapa saya kuat, karena saya merasa seperti saya ngobrol saja. Seperti saya mengaji. Artinya ya saya siap. Itu pertanyaan yang tidak terlalu berat, artinya pertanyaan biasa-biasa. Itu saya anggap sebagai diskusi, berpendapat. Alhamdulillah saya orangnya tidak emosian. Yang suka pusing itu kalau cepat emosian. Karena saya tidak emosi, biasa-biasa saja, semuanya berjalan dengan baik. Mengalir saja. Kalau Masih ditambah 3 jam itu saya masih kuat.

*NU Satu komando*
Memang kemarin ini kadang-kadang masih belum 1 komando. Nahdlatul Ulama Harus satu komando di bawah komando Rais Aam, mengacu pada tongkat yang diserahkan Syaikhona Kholil kepada Syekh Hasyim Asy'ari yang dibawa oleh Kyai As'ad Samsul Arifin, inilah inspirasi kita untuk membangun 1 komando. Sekarang sudah satu komando. Setelah saya di pengadilan, maka ketua umum mengatakan bahwa Ahok rugi sendiri. Karena Ahok sudah menyakiti ulama, maka warga NU tidak akan memilih Ahok. Nah itu sudah 1 komando. Alhamdulillah. Karena saya disidang, sebelumnya masih sendiri-sendiri. Memang ada yang belum clear. Tentang dukung mendukung ini masih dianggap melanggar khittoh. Jadi tidak bisa langsung terang-terangan. Kalau bahasa saya itu, yang akan dipilih oleh warga NU itu calon yang paling banyak samanya dengan warga NU. Setuju kan? Begitu itu sudah dianggap mendukung dan dianggap salah. Yang paling banyak samanya misalnya sama agamanya, sama madzhabnya sama santunnya, itu sudah diprotes.

*Tentang Kurikulum*
Tentang kurikulum itu tolong dilaporkan ya! Jadi dengan kurikulum 2013 itu kerugian kita apa? Supaya diperjuangkan oleh PBNU. PBNU ‘kan menolak full day karena anak nanti yang biasa sekolah madrasah akhirnya hilang. Oleh karena itu PBNU keberatan sistem full day. Yang biasanya setelah SD, anak sekolah madrasah jadi kehilangan pelajaran agama. Nanti kita usulkan melalui anggota kita yang ada di semacam forum pendidikan untuk menyampaikan usulan. Tapi harus detail dulu usulannya.

*Meningkatkan Nilai Tawar NU*
NU supaya memiliki nilai tawar, pertama kita harus punya sikap dan kita sedang merintis agar NU membuat platform tentang bagaimana kita memperjuangkan posisi kita sebagai umat mayoritas. Akan kita sampaikan kepada Presiden, ini lho keinginan kita sebagai umat mayoritas. Kita akan membuat konsep supaya yang saya bilang tadi, jangan umat Islam Itu dikasih baju yang kecil. Badannya XL tapi dikasih baju Ukuran S. Ya tidak cukup. Sekarang ini kita belum memperoleh hak kita secara proporsional, secara tepat, sesuai dengan kebesaran kita. Indonesia ini ‘kan
mayoritas muslim, muslim mayoritasnya NU. Jadi NU adalah mayoritas dari mayoritas. Hak-hak mayoritas belum diberikan. Jadi kita akan coba melakukan semacam langkah-langkah perjuangan yang hasilnya mudah-mudahan bisa menaikkan nilai tawar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar