YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Sabtu, 16 September 2017

Muhammadinu Dan Nuhammadiyah

Tulisan dari anggota KAGAMA ini bagus

Edisi 7 PAK AR

Muhammadinu dan Nuhammadiyah

Waktu saya melamar “ngekos” di rumah Pak  AR di Jl. Cik  Ditiro 19 A, Yogya dan saya diterima, Pak AR pasti sudah tahu latar belakang ke-NU-an saya. Maklumlah saya orang Tegalgubug, Arjawinangun, Cirebon yang paham ke-NU-annya sangat kental.

Di hari pertama saya kos di rumah Pak AR, saya diminta jadi imam salat. Dan Pak AR memuji bacaan Qur’an saya. Berkat sekolah SD pagi hari, madrasah sore hari, dan ngaji Qur’an malam hari, tentu saja bacaan Qur’an saya lumayan fasih, baik dari segi makhroj maupun tajwid.

Di Tegalgubug, saat saya kecil, masyarakat membiarkan orang tidak sekolah SD, tapi jangan coba-coba tidak sekolah madrasah dan tidak mengaji Qur’an. Sekolah di madrasah dan belajar membaca  Qur’an adalah kewajiban dan masyarakat mengawasinya. Itulah sebabnya  bacaan Qur’an orang Tegalgubug niscaya bagus. Jika ada orang mengaku dari Tegalgubug tapi bacaan Qurannya tidak baik, niscaya itu bukan orang Tegalgubug. Orang Tegalgubug zaman saya kecil, lebih dulu bisa membaca Alquran ketimbang membaca huruf latin.

Usai salat, saya ditanya Pak AR kenapa namanya Syaefudin Simon. “Simon itu kan nama orang luar Jawa  dan biasanya beragama Kristen,” kata Pak AR.

“Ya Pak. Nama asli saya , Syaefudin Zuhri. Keluarga saya pengagum KH Syaefudin Zuhri, mantan Menteri Agama dari NU. Nama Simon adalah pemberian teman-teman SMA saja. Kenapa nama Simon ditempelkan ke nama saya, karena penyanyi Grace Simon sering bolak-balik ke Palimanan, tempat SMA saya. Maklum, orang tua Grace Simon bekerja di pabrik gula Gempol, Palimanan. Itu keisengan teman-teman saja. Nama Simon kemudian ditulis di rapor dan ijasah oleh ketua kelas. Sedangkann nama Zuhri dihapus. Sejak itu, di ijasah SMA saya tertulis nama Syaefudin Simon. Ijasah SMP dan SD,  nama saya Syaefudin Zuhri, ” saya menjelaskan  panjang lebar kepada jemaah salat maghrib di rumah Pak AR.
Dari segi nama, pastilah Pak AR tahu latar belakang saya yang NU itu. Dan Pak AR tetap menyambut kedatangan saya di rumahnya dengan ramah. Waktu berkenalan dengan Rizal, anak kos lama,  dia berbisik. “Mon, di rumah ini yang NU hanya saya dan kamu. Yang lain semuanya orang Muhammadiyah. Jadi hati-hatilah,” pesan Rizal.

Rizal memang anak Pekalongan dari keluarga NU. Pesan Rizal tersebut saya ingat terus. Tapi kok lama-lama, saya pikir, orang Muhammadiyah juga baik-baik, bersahabat dan tidak pernah menunjukkan rasa benci kepada saya. Teman sekamar saya -- Agus, Didi, dan Toni, ketiganya Muhammadiyah asli --  semuanya baik-baik dan bersahabat. Mungkin  itu pula sebabnya, Rizal yang NU, kini jadi pengagum berat Pak AR dan Muhammadiyah.
Di kampung saya, tahun 1970-an, NU itu segala-galanya. Jika ada orang Muhammadiyah, ia jadi bahan ejekan. Kebetulan, tetangga saya, Bibi Fatimah, nikah dengan seorang kyai Muhammadiyah bernama  Sholeh.

Semula tidak ada yang tahu kalau Kyai Sholeh ini orang Muhammadiyah. Tapi lama-lama ketahuan juga,  siapa jati diri Kyai Sholeh. Hal ini terjadi karena Kyai Sholeh kalau sholat tidak memakai qunut; kemudian kitab-kitab yang ada di raknya bukan kitab-kitab kuning yang biasa dipakai santri  NU seperti Safinah, Sulam Taufik, Taqrib, dan Tijan. Tapi kitab lain yang dikarang Al-Afghani dan Al-Maturidi.

Apa akibatnya? Kyai Sholeh pun dikucilkan. Meski masyarakat mengetahui kepandaian Kyai Sholeh, masyarakat tidak memberikan sedikit pun peluang kepada Kyai Sholeh untuk mengajar di madrasah atau pondok. Selama beberapa tahun tinggal di Tegalgubug, tak ada satu santri pun yang belajar mengaji kitab fiqih atau tauhid kepada Kyai Sholeh.

Karena dicuekin, Kyai Sholeh pun pindah ke Desa Pegagan, Palimanan, Cirebon – 15 Km timur Tegalgubug. Mungkin harapannya bisa mempunyai murid atau santri di Palimanan. Harapannya memang terpenuhi, tapi jumlah santrinya bisa dihitung dengan jari tangan. Nama-nama santrinya adalah Amin Sahri (siswa SMA), Pepen Efendi (siswa SMA), Kholik (siswa SMA), Uu Khuzaemah (siswi SMP), dan pak Shidiq (guru SD).

Saya yang  waktu itu bersahabat dengan Amin Sahri (teman SMA) dan keluarganya yang Muhammadiyah,  jadi ikut-ikutan nyantri kepada Kyai Sholeh. Saya pun mulai mengerti tentang Islam versi Muhammadiyah. Karena itu ketika mau kos di rumah Pak AR saya merasa siap untuk hidup bersama orang  Muhammadiyah.

Pendek kata, Muhammadiyah itu barang aneh di Tegalgubug dan Palimanan. Tapi begitu saya kuliah di Yogya, yang terjadi sebaliknya, NU jadi barang aneh di Kota Gudeg. Di Yogya yang berkibar adalah Muhammadiyah. SD, SMP,  SMA, dan  Universitas Muhammadiyah ada di mana-mana. Lalu Panti Asuhan Muhammadiyah,  pencak silat Muhmmadiyah, dan lain-lain yang serba Muhammadiyah tersebar di hampir setiap sudut kota Yogya. Sedangkan konsentrasi  NU hanya terlihat di Krapyak (selatan Yogya) dan Pandanaran (utara Yogya dekat Kaliurang).

Tapi yang menarik perhatian saya, tidak seperti di kampung Palimanan dan Arjawinangun --  di Yogya hubungan antara Muhammadiyah dan NU kelihatan cair. Buktinya, saya yang NU diterima dengan baik oleh keluarga Pak AR. Setelah beberapa tahun kuliah di Yogya, saya kemudian tahu, batas antara orang Muhammadiyah dan NU makin kabur.

Pak Bambang Pranowo  (kini Guru Besar IAIN Jakarta, dan Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten) bercerita kepada saya bahwa beliau sering diminta Pak AR untuk menggantikannya berceramah di beberapa tempat jika Pak AR berhalangan. Padahal, kata Pak Bambang, saya waktu itu sekertaris GP Anshor (NU) di Muntilan. Kyai Jazim Hamidi, seorang da’i Muhammadiyah dari Yogya, juga sering diundang  ceramah Maulid  Nabi dan Isra’ Mi’raj di pesantren-pesantren NU di Kebumen dan Banyumas.

Pak  Ir. Syahirul Alim, Msc  -- dosen kimia FMIPA UGM --  juga  orang NU (baca: mana ada orang Madura Muhammadiyah), tapi lebih banyak aktif di Muhammadiyah.  Pak Alim orang asli Madura (yang niscaya NU) tapi sangat dihargai Muhammadiyah. Bahkan kemudian menjadi  “Muhammadiyah”  karena mendapat “ruang pengajian Islam” di Gedung Muhammadiyah, samping Masjid Kauman, alun-alun utara, Yogya. Pengajian tafsir Alquran Pak Alim  di Gedung Muhammadiyah tersebut mendapat sambutan positif dari warga Muhammadiyah.

Lalu, nama  apa yang bisa disematkan kepada Pak Sahirul Alim?  Pak Alim, mungkin,  lebih tepat disebut Nuhammdiyah –  karena aslinya NU tapi aktif di Muhammadiyah.

Habib Chirzin, filsuf dan kyai yang sangat saya kagumi, juga sering rantang runtung dengan KH Abdurrahman Wahid ke mana-mana, padahal Mas Habib waktu itu adalah Ketua Pemuda Muhammadiyah. Habib Chirzin jelas asli Muhammadiyah karena Kyai Chirzin dari Kota Gede Yogya adalah tokoh Muhammadiyah. Akan tetapi, dalam pergaulan sehari-hari,  Habib lebih dekat dengan orang-orang NU. Orang seperti Habib, mungkin lebih tepat dikatakan sebagai Muhammadinu. 

Jangan lupa pula, Prof. Dr. Dien Syamsudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah,  berasal dari keluarga kyai NU di NTB.   Pak Dien pernah jadi Ketua IPNU se-NTB. Dalam kategori tadi, Dien lebih cocok disebut Nuhammadiyah. Tapi orang-orang Muhammadiyah tak pernah mempersoalkannya. Terbukti Pak Dien dua kali menjadi Ketua PP Muhammadiyah.
Dalam penelitiannya,  Prof. Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Yogya,  menemukan banyak desa di Jawa Tengah yang masyarakatnya berpaham Muhammadinu. Muhammadinu seperti  diilustrasikan  di atas,  adalah paham yang menyatukan  Muhammadiyah dan NU. Mereka dengan mudah memadukan antara paham Muhammadiyah dan NU tanpa rikuh. Beberapa desa di Kota Gede dan Klaten, misalnya, warganya banyak yang mengikuti Muhammadinu.

Belum lama ini, majalah mingguan Tempo memberitakan  penemuan n naskah atau kitab fiqih karangan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah di Perpustakaan Islam  Yogyakarta. Ternyata, kitab fiqih karya KH Ahmad Dahlan itu mengajarkan shalat Subuh pakai qunut, membaca usholli sebelum takbiratul ikhram, dan membaca do’a usai shalat dengan suara keras (zahar) persis seperti dilakukan orang-orang NU. Jika demikian, pendiri Muhammadiyah pun bisa dikategorikan Muhammadinu. Atau Nuhammadiyah. Sama saja. Wolak walik dekok – kata orang Cirebon.

Beberapa tokoh Muhammadiyah seperti  Prof. Dr. Dien Syamsudin, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dan Dr. Abdul Mu’thi mengakui keaslian naskah fiqih KH Ahmad Dahlan tersebut. Tapi Muhammadiyah – kata Pak Dien dan Pak Mu’thi – bukan Dahlanisme. Artinya, bisa saja  Muhammadiyah di masa awal-awal berdirinya, fiqih ubudiyahnya sama dengan NU sesuai naskah fiqih KH Ahmad Dahlan. Tapi karena Muhammadiyah punya lembaga kajian fiqih (Majlis Tarjih), hukum-hukum fiqih tersebut bisa berubah ketika ditemukan hadis-hadis atau tafsir Qur’an yang lebih kompatible dengan zamannya.

Hal yang sama terjadi pada NU. NU juga punya lembaga kajian Bahtsul Masail yang mengkaji hukum-hukum fiqih. Tapi karena sifat tradisionalismenya amat kuat, keputusan hukum fiqih hasil kajian Bahtsul Masail sering kalah pengaruh oleh pendapat kyai sepuh dan pertimbangan kemaslahatan orang kecil warga NU.

Itulah bedanya antara NU dan Muhammadiyah. Perbedaan itu bukan berarti Muhammadiyah lebih bagus atau  NU lebih bagus  – tapi memang begitulah perbedaan karakter kedua organisasi Islam besar itu. Masing-masing punya kelebihannya sendiri.

Sebagai contoh kajian hukum fiqih tentang rokok. Majlis Tarjih Muhammadiyah mengharamkannya karena merokok  lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya. Sedangkan Bahtsul Masail memubahkannya (membolehkannya) karena industri rokok menyangkut kehidupan jutaan rakyat kecil yang nota bene warga NU. Jika rokok diharamkan, apa pekerjaan jutaan wong cilik tersebut?

Lalu, apakah orang Muhammadiyah punya kelebihan seperti orang NU, misalnya, dalam  mengobati orang sakit dengan ayat-ayat Qur’an? Kita tahu, hal-hal yang bersifat mistis atau  supranatural  sangat dijauhi orang Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah, kata Pak Bambang Pranowo,  takut mengeksploitasi kemampuan-kemampuan mistikalnya karena khawatir terjebak pada kemusyrikan. Sedangkan orang-orang NU tidak demikian. Mereka menjadikan “kekuatan mistis yang dimiliknya”  untuk menunjukkan kebesaran Allah di  masyarakat.

Pak Hardo  dari Pekalongan – cerita Pak Bambang – adalah seorang yang punya kekuatan supranatural  yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit aneh nonmedis. Tapi ketika adiknya Pak Hardo terkena penyakit misterius (merasa dikejar-kejar makhluk ghaib),  ia tidak bisa menyembuhkannya. 

Lalu, Pak Hardo datang ke Pak AR minta obat untuk menyembuhkannya.  Awalnya Pak AR tidak mau karena tidak pernah merasa punya kekuatan supranatural untuk menyembuhkan penyakit orang.  Apalagi mengobati penyakit misterius yang pekat kegaiban. Tapi Pak Hardo tetap memaksanya karena yakin Pak AR bisa menyembuhkannya. Pak AR akhirnya mengiyakan permintaan Pak Hardo.  Dan Pak AR hanya  minta Pak Hardo membacakan ayat-ayat Qur’an tertentu untuk adiknya.

Hasilnya seperti mu’jizat. Ternyata sang adik sembuh dari penyakit misteriusnya.

Saya juga pernah menyaksikan seorang tokoh Muhammadiyah mengusir jin dari tubuh  Aida, mahasiswi IAIN Yogya asal Filipina yang ngekos di Asrama Sabirin (asrama putri IAIN), Jl Sabirin, Kota Baru, samping SMA Katolik Stella Duce. Aida, kata kyai tersebut, kesurupan jin yang tinggal di bawah pohon mangga yang tumbuh di samping asrama. Dengan bacaan ayat Qur’an tertentu dan memijat  jari kaki dan jari tangan Aida, akhirnya jin pun keluar. Dan Aidah pun sembuh.

Prof. Dr. Amien Rais, juga pernah mengalami peristiwa supranatural. Hanum Salsabiela Rais dalam bukunya “Menapak Jejak Amien Rais” menceritakan, Pak Amien waktu menghadap Pak Harto di Bina Graha untuk meminta kehadirannya pada Mu’tamar Muhammadiyah ke 43 di Aceh tahun 1995,  melihat tabir tipis yang memisahkan dirinya dengan Pak Harto. Tabir itu tipis sekali seperti kaca hitam. Pak Amien membatin, apakah tabir itu nyata atau hanya halusinasi? Pak Amien pun memakai kacamatanya untuk meyakinkan apakah tabir hitam itu nyata atau tidak. Dan ternyata meski sudah pakai kaca mata, tabir hitam itu tetap ada. Keberadaan tabir hitam itu, pikir Pak Amien, karena Pak Harto marah kepadanya. Maklum Pak Amien adalah tokoh yang berani mengritik tajam kebijakan-kebijakan Pak Harto  saat itu. Bahkan Pak Amien minta agar Pak Harto segera mengundurkan diri.

Saat itu muka Pak Harto kelihatan seram, kata Pak Amien. Pak Amien yakin Pak Harto sedang marah. Di samping agak merinding,  Pak Amien juga gelisah karena pandangannya terhalang tabir hitam tadi. Ketika berada pada titik nadhir kegelisahannya, tiba-tiba ada bisikan “malaikat” di hati Pak Amien.

“Balaslah tatapan Pak Harto dengan tajam atas nama Allah,”  kata  bisikan hati itu lirih. Dan...Bismillah,  Pak Amien mengikuti perintah “malaikat” tersebut. Seketika itu juga, tabir hitam tadi   lenyap.

Pak AR dan Pak Amien adalah tokoh Muhammadiyah yang tidak pernah merasa punya kekuatan supranatural dan tak pernah berusaha untuk memiliki kekuatan linuwih itu. Tapi karena kesucian dan keikhlasan niatnya untuk berjuang memperbaiki kehudupan umat, Allah pun memberinya kekuatan supranatural. Persis seperti peristiwa Nabi Musa waktu dikejar  Fir’aun.  Ketika berada di jalan buntu karena di hadapannya terbentang Laut Merah dan Musa secara rasional  tak akan mampu melewatinya, Allah pun memberikan perintah (melalui Jibril) kepada Musa.
“Pukulkan tongkatmu Musa ke pasir pantai!” Begitu perintah itu dilaksanakan, Laut Merah  terbelah. Dan  Musa beserta pasukannya bisa melewatinya.

Tampaknya itu pula yang diberikan Allah kepada Pak AR ketika menyembuhkan orang sakit misterius. Begitu pula ketika Pak Amien menghadapi Pak Harto. Mu’jizat akan diberikan Allah kepada hambanya yang saleh tanpa diminta jika kondisi terburuk menimpa sang hamba.
Karena itu, jangan pernah membenci orang saleh. Sebaliknya “berkumpullah” dengan orang-orang salih. Karena orang saleh itu bisa menjadi “tangan Tuhan” untuk menyembuhkan orang sakit. Baik sakit fisik maupun psikis. Salah satu poin dalam lagu “Tombo Ati”-nya Opick, misalnya, berbunyi “kumpulono orang saleh”. Nenek saya, Saodah, waktu saya kecil suka menasehati -- berkumpullah dengan orang-orang salih, nanti kecipratan wanginya.

Teman saya, Ikhsan Haryono, pernah menceritakan kelakuan anak-anak SMA di kampungnya, Purworejo. Konon, ada lima anak SMA yang agak ugal-ugalan tapi ingin nyoba kesaktian Mbah Mangli di Magelang.

Mbah Mangli memang sangat terkenal sebagai kyai yang sakti, mumpuni, dan alim. Jemaah pengajiannya banyak sekali. Tiap pengajian semua jamaahnya diberi makan. Kalau ada yang tak punya uang, diberi sangu. Uangnya dari mana, gak ada yang tahu. Pokonya, kata Ikhsan, Mbah Mangli itu kyai yang punya karomah.

Kelima anak SMA tadi mendatangi Mbah Mangli di padepokannya. Mereka minta didoakan agar menjadi orang sukses. Dari lima orang tersebut, hanya satu yang tidak mempercayai karomah Mbah Mangli. Dia tak mau minta doa. Dia pede dengan usahanya sendiri. Maklum dia paling pinter di antara lima anak tadi.

Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Anak-anak SMA tersebut semuanya jadi orang sukses, kecuali satu orang yang tak mau minta doa tadi. Itulah  manjurnya doa Mbah Mangli; doa orang  saleh. Jadi lagunya Opick, Tombo Ati itu benar. Kumpulono wong soleh jika hidup kita ingin jadi orang sukses.

Pak AR adalah orang saleh. Saya percaya betul dengan kesalehannya karena Pak AR tidak pernah memanfaatkan “aji mumpung” persepsi masyarakat akan kesalehannya untuk kepentingan pribadi. Maklumlah di masyarakat kita, jika ada orang sudah terkenal saleh, lalu masyarakat pun berbondong-bondong minta doa, minta  berkah; lalu  memberi bingkisan macam-macam untuk orang saleh tersebut. Akibatnya, banyak orang saleh yang tergelincir  akibat perlakuan masyarakat yang mengistimewakannya. Ia memanfaatkan “persepsi masyarakat” untuk kepentingan duniawiyah.

Pak AR tidak! Ini terlihat dari sikap Pak AR ketika sakit. Suatu ketika, cerita Pak Sukriyanto anak Pak AR, beliau diopname. Pak AR memberitahu keluarganya, jangan bilang kepada siapa-siapa, termasuk kepada PP Muhammadiyah. Sakitnya Pak AR harus dirahasiakan. Kalau tidak, nanti banyak orang menjenguk dan memberi bantuan. Pak AR sadar, sakitnya beliau – apalagi diopname --  akan  merepotkan banyak orang.  Pejabat, ulama, tokoh masyarakat, dan jamaah pengajian niscaya akan datang berbondong-bondong  menjenguknya. Merepotkan.

Tapi ternyata rahasia sakitnya Pak AR bocor juga ke jemaah pengajian wong cilik di Kali Code. Kaum wong cilik yang sangat menyintai Pak AR di pinggir Kali Code itu, tanpa sepengetahuan beliau, urunan untuk membantu biaya opname. Terkumpullah uang 600 ribu rupiah. Pak AR kaget ketika mendapat bantuan dari mereka. Pak AR tak mampu menolak bingkisan uang dari wong cilik tersebut. Keikhlasannya meluluhkan hati beliau.

Setelah sembuh, Pak AR pun datang  kepada jamaah pengajian Kali-Codenya untuk mengucapkan terimakasih sambil membawa bingkisan. Setelah bingkisan itu mereka buka, ternyata isinya uang Rp 300.000 rupiah.
“Uang apa ini Pak AR,” kata jamaah Kali Code.
“Ini uang jamaah. Terimakasih bapak-bapak dan ibu-ibu, kemarin membantu biaya opname rumah sakit. Jumlahnya ternyata kebanyakan. Biaya rumah sakit hanya   300.000 rupiah. Jadi sisanya saya kembalikan.”

Jamaah    kaget dan terharu. Mereka senang karena bantuannya diterima Pak AR untuk biaya rumah sakit. Tapi terharu karena  kejujuran Pak AR yang mengembalikan kelebihannya!

Bagi saya, jika melihat kesederhanaan hidup dan keluguan Pak AR, beliau mirip orang NU di desa-desa. Tapi bila sudah berbicara negara dan organisasi, Pak AR sangat Muhammadiyah. Entah, kategori apa yang bisa disematkan kepada Pak AR. Beliau cocok bila disebut orang Nuhammadiyah; juga cocok disebut Muhammadinu. Tapi satu hal yang jelas, Pak AR adalah seorang muslim tulen. Muslim yang jiwanya hidup, luwes, dan teduh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar