YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Selasa, 14 November 2017

Hiruk Pikuk Garut

HU Pikiran Rakyat, Rabu 15 Nopember 2017

HIRUK  PIKUK GARUT
Asep Salahudin
Esais

Saya sengaja tidak bikin tulisan ketika Garut masih dalam suasana mencekam atas pro dan kontra kedatangan Bachtiar Nashir untuk memberikan tablig akbar di Masjid Agung Garut. Walau pun sempat memanas namun akhirnya bisa terlaksana berpindah di lain tempat dalam sebuah pengamanan ketat.

Bagi saya keberatan ormas NU terhadap kehadiran BN dan kawan-kawannya, tidak perlu dibaca secara lahiriah tapi lebih kepada makna simbolik. Keberatan itu sebagai counter culture atas seringnya dakwah dijadikan panggung  politik untuk mempromosikan sikap keberagamaan yang nyata-nyata berseberangan dengan roh bernegara. Ceramah yang bukan membawa pada ketenangan tapi malah menuduh mereka  yang berbeda sebagai kafir,  Pancasila dan  UUD 1945   thagut. Jejak digital tidak mudah dihapas tentang potret ormas yang nyata-nyata masuk dalam kategori sebagaimana ditenggarai Perppu No 2 tentang keormasan tahun 2017.

Garis politik

Sikap tegas NU seperti itu seringkali dibaca naif sebagian kalangan bahkan tidak sedikit juga akademisi yang menyimpulkan secara tergesa-gesa seolah-olah NU adalah ormas yang telah terbeli penguasa. Kesimpulan seperti ini tidak hanya melambangkan sesat pikir, rabun sejarah tapi juga kekanak-kanakan kalau tidak harus disebut kajahilan.

Sedikit saja membuka lembaran sejarah, ketika Jenderal Soeharto berkuasa dan NU menjadi ormas yang “dipinggirkan” tidak kemudian sikapnya terhadap negara berubah. Bahkan tahun 1984  dalam    Munas Alim Ulama di Situbondo (1983) menerima Pancasila sebagai asas tunggal   justru ketika ormas lain menolak. Kata  KH. Achmad Siddiq, “Nahdlatul Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang 1945 (bil lafdhi wal ma’nal murad), dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah.” 

Dalam ungkapan KH Abdurrahman Wahid, “Penerimaan atas Pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, dalam arti mendudukan agama dan Pancasila pada tempat masing-masing tanpa harus dipertentangkan. Antara Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan akidah Islam menurut faham ahlisunnah waljamaah sebagai landasan keimanan, tidak dapat dipertentangkan...berakidah adalah tindakan  mengkonkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.”.

Sikap “akomodatif” bukan hanya hari ini, tapi sejak silam. KH Hasyim Asy’ari untuk kepentingan jangka panjang  menyerukan santri-santrinya ikut latihan militer bersama Jepang bahkan mbah Hasyimnya sendiri  sempat menjadi menteri agamanya (Shumubu). Kyai Wahab Hasbullah dituduh komunis gara-gara menerima faham nasakomnya Bung Karno. Sikap sikap seperti  itu malah yang mempercepat keruntuhan Jepang dan gagalnya kudeta komunis.  HMI yang semula hendak dibubarkan Bung Karno tidak jadi karena saran NU.

NU (dan Muhamadiyah) bisa membedakan antara negeri (country), negara (state), bangsa (nation), masyarakat (society), dan rakyat (people). Misalnya  saja dalam konsep nation melekat sebuah peneguhan  untuk menghargai keragaman. Bhineka tunggal ika bukan sekadar slogan tapi menjadi bagian dari pengalaman. Kebencian terhadap pemerintah tidak harus kemudian kehilangan akal sehat menawarkan sistem lain  di luar kesepakatan bersama yang telah diikrarkan para pendiri bangsa yang di antara mereka adalah ulama.

Totoh Ghozali

Melihat hiruk pikuk Garut, saya jadi rindu sosok penceramah kondang yang lahir  di Limbangan Garut KH Abdul Fatah Ghozali atau terkenal Totoh Ghozali. Ajengan  sederhana dengan tutur kata santun, lembut  dan penggunaan bahsa Sunda yang ngaguluyur.

Dalam setiap ceramahnya tidak pernah ada nada menghasut dan menghina tapi justru menginjeksikan pentingnya keberanian mengkritik diri sendiri.
Ceramah-ceramahnya  benar-benar mampu masuk dalam alam pikiran manusia Sunda. Nada bicaranya  sama sekali tidak ada kesan menggurui  tapi khalayak di bawa bersama-sama merenungkan hakikat hidupnya dengan menghidupkan banyak tokoh dalam narasi ceramahnya. Tokoh-tokoh dalam isi ceramahnya satu sama lain berdialog  dan seolah justru kita yang ada menjadi bagian dari dialog itu.

Ajengan  Ghozali seandainya  merasa perlu mengkritik penguasa maka hal itu dilakukan dengan cerdas dan sama sekali tidak kemudian bermetamorfosa sebagai agitator tetapi tetap istikomah  dalam maqam keulamaannya. Hal lain sebagai salah satu kelebihannya adalah kemampuannya menghidupkan suasana dengan lelucon  terukur.  Leluconnya sama sekali tidak berlebihan. Humor-humornya bukan untuk mentertawakan orang lain tapi  mentertawakan diri sendiri. Maka nyaris dalam setiap ceramahnya tidak pernah terdengar jamaah meneriakkan “Allahu Akbar” dengan tangan terkepal dan muka penuh kemarahan.

Kabupaten unik

Garut sebagai tempat kelahiran saya memang kabupaten unik. Banyak peristiwa nasional terjadi di Garut. Sebut saja misalnya pada masa kolonial pemberontakan lokal Cimareme (1919), gerakan bawah tanah Afdeling B (1919), setelah kemerdekaan gerakan DI/NII. Pasca reformasi hanya  di kabuaten Garut yang pernah terjadi pergantian Bupati sampai tiga kali dalam satu periode pemerintahan dan yang terakhir adalah Aceng Fikri yang diturunkan paksa gara-gara nikah siri tapi setelah itu karier politiknya menaik mejadi anggota DPD merangkap Ketua Partai Hanura Jawa Barat. Tahun 1926 seorang novelis asal Yaman Sayid Ahmad bin Abdullah Assegaf pernah nenulis novel Fatat Garut yang memotret kejelitaan gadis Garut sekaligus peristiwa sosial yang mengitarinya  pada tahun 1922. Tahun 2016 di Garut Selatan  ditemukan banyak patung harimau unik yang bisa tertawa yang hebatnya dipajang di markas tentara.

Satu hal lain yang juga hari ini banyak diprotes  masyarakat adalah (rencana) pembukaan pabrik di lahan-lahan  subur dan kawasan pendidikan di Garut Utara. Ini harus dibicarakan tuntas oleh seluruh elemen masyarakat dilihat dari semua aspeknya, dipercakapkan manfaat dan madaratnya dengan tidak terburu-buru. Sebab kalau tidak bisa menjadi api dalam sekam. Khawatir yang terjadi bukan adu domba, tapi adu manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar