YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Jumat, 21 Agustus 2020

Akhir Pandawa Lima



Beberapa tahun setelah darah mengering di medan Kurusetra....,  Hastinapura menjelma menjadi negara yang agung...,  di bawah pimpinan Prabu Parikesit.

Saat itulah Yudhistira merasa tugasnya telah selesai. 

Maka ia mengutarakan keinginannya untuk mencari kesejatian..., kembali kepada "Sangkan Paraning Dumadi”..., dengan mendaki Gunung Mahameru

Keempat saudaranya dan Drupadi..., terkesiap. 

Mereka tidak mau ditinggalkan di istana.

“Aku tak punya siapa-siapa lagi, Kakang….”, isak Drupadi.

 “Aku hanya punya dirimu dan Pandawa….”.

Drupadi benar..., karena seluruh keluarganya terbunuh di Bharatayudha.

Ayahnya..., Drupada tewas di tangan Resi Dorna. 

Drestajumena..., adiknya, yang disusupi roh dendam kesumat Ekalaya berhasil membunuh Dorna.

Namun hanya dalam hitungan hari...,  Aswatama menuntut balas membantai Drestajumena.

Bersimpuh di kaki suaminya..., Drupadi menangis mengenang nasibnya yang remuk.

Teringat kala itu ..., nun di balairung Hastinapura kemolekan tubuhnya nyaris terumbar oleh tangan mesum Dursasana..., ketika ksatria ini mempertaruhkan dirinya di meja dadu.

Yudhistira terdiam..., mendengar isak Drupadi.

Namun keputusannya telah bulat..., ia harus pergi..., karena tugasnya di dunia telah selesai.

Maka berangkatlah Pandawa Lima dan Drupadi..., menuju pegunungan Mahameru. 

Mereka juga membawa serta seekor anjing kesayangan..., seekor anjing yang putih dan  kecil.

Perjalanannya sangat berat. 

Medan dan cuaca yang ganas..., membuat Drupadi mulai mengeluh.

Berkali-kali Yudhistira berusaha memapahnya..., agar terus berjalan. 

Tapi Drupadi tak kuasa lagi..., dan tak sanggup meneruskan langkahnya.

Ia kemudian terjatuh.

“Aku tak sanggup lagi, Kakang....”, ia merintih.

Yudhistira memutar kembali ingatannya.

Bertahun-tahun ia meredam perih tatkala mendapati...,  bahwa selama ini sebenarnya Drupadi mencintai Arjuna..., bukan dirinya. 

Drupadi jualah yang membuat Adipati Karna mabuk kepayang..., hingga ajal menjemput di ujung Pasopatinya Arjuna. 

Dan kini..., "belahan jiwa" itu sekarat di lengannya..., ketika mereka baru mencapai kaki Gunung Himalaya.

Berlima mereka meneruskan langkah..., di tengah cuaca yang kian mendera. 

Panas yang mengelupas kulit..., berubah dingin yang mendera tulang.

Sadewa mulai limbung. 

Ia menguat-nguatkan dirinya..., agar mampu mengikuti langkah kakak-kakaknya.

“Kakang…., tolonglah aku...”, keluh Sadewa.

Ia mencoba merangkak..., tapi seluruh persendiannya seakan terlepas. 

Nafasnya tersengal-sengal..., dan tak sanggup lagi  meneruskan perjalanan. 

Sadewa tewas...,  ketika perjalanan baru mencapai lereng gunung yang menjulang tinggi itu.

Kematian Sadewa..., ternyata baru awal.

Tak lama kemudian..., menyusul satu demi satu...: Nakula..., dan Arjuna. 

Bima menggeram...,  "Kenapa adik-adikku harus mati dengan cara yang mengenaskan Kakang..., aaarrrgggh....!”.

“Bima…”, suara Yudhistira bergetar.

“Tuhan tidak menyukai kesombongan...;  Sadewa merasa dirinya paling tampan..., Nakula mengangap dirinya paling pandai..., sedang Arjuna..., hmmm….”.

Yudhistira menerawang.

Kesaktian Arjuna setingkat Dewa..., 
ia gemar lelaku tapabrata dan kekasih Sang Hyang Indra.

Tapi ia jumawa. 

"Masih ingatkah kau ketika adikmu itu menggugat 'darah balas darah, pati balas pati' tatkala puteranya gugur....?".

"Ia bersumpah akan membalas kematian Abimanyu..., sebelum matahari lengser..., tapi ternyata ia tidak menepati janjinya. Tuhan tidak suka...".

Sekuat tenaga..., mereka berdua meneruskan langkah.

Puncak Gunung Himalaya terlihat temaram..., di antara halimun.

Bima yang perkasa mulai gontai.

Terseok-seok ia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya..., beberapa langkah di belakang Yudhistira. 

Tapi ia semakin tertinggal jauh..., hingga akhirnya tubuh raksasa itu berdebam jatuh menimpa bumi.

“Kakang…., aku tak sanggup lagi….”, teriak Bima.

Yudhistira menghentikan langkahnya..., untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Bharatayudha yang ia sayangi itu.

Bathinnya bergumam...., “Wahai Putera Bayu kesayangan Dewa Ruci…., engkau jumawa dan merasa dirimu tak terkalahkan oleh siapapun. Bicaramu kasar..., dan engkau tak pernah merasa bersalah. Selamat jalan..., pergilah dengan damai adikku…”.

Yudhistira meneruskan langkahnya..., ditemani anjing putih yang setia itu.

Hingga sampailah keduanya di puncak Gunung Himalaya.

Suasana hening..., siluet tubuh Yudhistira tampak merunduk menghitam dilatari salju. 

Rambut sebahu..., yang puluhan tahun disemati mahkota berlian itu lusuh memburai.

“Semua telah pergi..., sebentar lagi giliranku...".

"Duh Yang Maha Agung…., terimalah adik-adik hamba….”.

Ia menarik nafas panjang...., lalu membungkukkan badan berbicara kepada anjingnya...:

“Aku gundah bukan karena harus menghadapi ajalku..., namun aku tak tega meninggalkanmu sendirian di puncak gunung ini….”.

Tiba-tiba anjing putih itu lenyap..., menjadi asap yang bergulung-gulung.

Yudhistira terdongak..., mendengar suara gemuruh di angkasa.

Dan..., dari balik awan Batara Indra muncul mengendarai kereta kencana..., yang dihela delapan kuda sembrani putih.

Kereta itu berhenti...,  tepat di hadapan putera sulung Pandu Dewanata ini.

“Samiaji….", ujar Betara Indra...,  “Adik-adikmu gagal karena hidup mereka sarat dengan pamrih. Mereka merasa bahwa dirinya 'penuh berisi'..., padahal sejatinya 'kosong'....”.

"Sedang engkau sebaliknya..., engkau 'mengisi'  dengan 'mengosongkan” dirimu...".

Batara Indra mengangsurkan tangannya..., “Ayo naiklah ke atas keretaku...., kuantar engkau ke surga karena keutamaanmu...”.

Memang kita tak harus menjejali diri penuh-penuh untuk “mengisi” diri kita...;  namun dengan "mengosongkan" hati....,  maka percayalah...., bahwa  Sang Maha Pemberi akan mengisinya.

Rahayu - Rahayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar