YAUMUL IJTIMA' MWC NU BINONG, MINGGU, 29 JANUARI 2017, PUKUL 08.00 - 12.00 WIB, TEMPAT MASJID JAMI AL-MUWAHHIDIN KP. PAWELUTAN DESA CITRAJAYA

Kamis, 07 Desember 2017

Hadits bendera dan panji panji

1. Hadits-hadits tentang liwa’ (bendera) dan royah (panji-panji), konteksnya adalah dalam perang.  Imam al-Bukhori memasukkan ini dalam bab “al-Jihâd was Siyar”, sehingga dimasukkan dalam konteks perang, dan di antaranya menyebutkan: “Bahwa sesungguhnya Qois bin sa`ad al-Ansori itu shohibu liwa’ir Rasul.” (No. 2974); lalu ada hadits lain, tentang liwa’ di No. 2975, tetapi tidak berkaitan dengan warna liwa’ atau warna royah.

Dengan melihat itu, dapat difahami, mereka yang menampilkan liwa’ dan royah, apakah ini bisa dianggap  “mereka membawa spirit “perang” dan sedang berpikirsedang menghadapi musuh.” Dalam konteks ini adalah bangsa Indonesia, NKRI dan Pancasila dan umat Islam yang mendukung eksistensi berdirinya Indonesia, mayoritas al-Jamaah di dalam himpunan kaum muslimin. Dan apakah berarti mereka tidak menghargai pendapat al-Jama’ah dan lebih memilih menyempal dari al-Jama’ah untuk mendirikan selain bangsa ini?

2. Bentuk Liwa’ dan Royah di “Peperangan Nabi”

Ibnu Bathol, pensyarah Shohih al-Bukhori, menyebutkan bahwa menurut riwayat, Jabir berkata: “Nabi masuk Mekkah dan liwa’-nya adalah putih.” Kata Mujahid: “Liwa’-nya adalah aghbar (warna seperti debu).” Dan diriwayatkan bahwa royahnya Imam Ali pada Perang Shiffin adalah Hamro’ (merah), yang tertulis di dalamnya “Muhammad Rasululloh shollallohu `alaihi wasallam, ada juga yang menyebut royahnya berwarna hitam (Syarah Shohih al-Bukhori li Ibni Bathol, V: 141).

Ibnu Mulaqqon, yang juga pensyarah Shohih al-Bukhori, menjelaskan tentang warna-warna ini berdasarkan riwayat, ada yang hitam, ada yang putih, ada yang aghbar (warna seperti debu), ada yang kuning, ada yang merah; ada juga riwayat Imam Ali dalam perang Shiffin menggunakan royah berwarna merah, di dalamnya termaktub tulisan Muhammad Rasululloh, ada juga yang menjelaskan warna putih (Ibnu Mulaqqon, at-Taudhih li Syarhil Jâmi`ish Shohîh, XVIII: 103).

Jadi, warna liwa dan royah Kanjeng Nabi dalam perang itu tidak tunggal warnanya.

3. Status Hadits Menurut Ibnu Hajar

Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani, juga pensyarah hadits Bukhori dalam  Fathul Bârî, terjadinya perbedaan itu karena memang “bikhtilafil auqot” (karena perbedaan waktu).

Hadits Abu Syaikh  dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan “maktuban `ala rayatihi La ilaha illalloh Muhammad Rasululloh”, sanadnya wahin (silahkan bertanya kepada orang yang mengerti hadits, tentang status ini). Kadangkala royah itu dinamakan al-`Iqob hitam persegiempat, dan ada royah dinamakan royah  putih, dan kadang kala hitam” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, VI: 127).

Jadi mengklaim dengan royah atau bendera dengan ada di dalamnya kalimat La Ilaha Illalloh adalah wahin; apalagi itu diklaim sebagai bendera sebuah Negara yang didirikan Kanjeng Nabi. Kalau itu didasarkan dengan menggunakan hadits Ibnu Abbas ayang ada kalimat tahlil itu, menurut penilain Ibnu Hajar al-Asqolani, adalah “Wah”.

4. Masalah bendera dan masalah panji adalah soal antum a’lamu bi umuri dunyakum, dalam soal pilihan-pilihan, sesuai kebutuhan dan musyawarah di antara kaum muslimin sendiri. Oleh karena itu, NU menggunakan Bintang Sembilan warna hijau dengan lingkaran Talijagad yang tidak ditalipati. Muhammadiyah menggunakan biru dengan matahari bersinar; dan banyak lagi.

Merujuk kepada warna yang disukai Kanjeng Nabi dalam kitab asy-Syamail al-Muhammadiyah karangan Imam at-Tirmidzi, dan rujukan lain, memang kadang merujuk warna putih, kadang merujuk warna hitam, kadang menyukai warna hijau, dan lain-lain. Prinsipnya dalam warna, semua berasal dari Alloh, jangan terpaku pada warna dan simbol, tapi lihat pada akhlak dan perilaku. Dan dalam konteks di Indonesia, justru meninjau dari sudut bagaimana sikapnya/perilakunya terhadap himpunan al-Jamaah dari kalangan kaum muslimin yang mengakui bangsa Indonesia sebagai bangsa yang syah dengan benderanya merah putih, juga lebih penting untuk dilihat.

5. Ibnu Bathol dan Ibnu Mulaqqon dalam Syarah Bukhori, menanggapi salah satu hadits tentang ini mengatakan: “Tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh imam (khalifah) saja, tidak diemban oleh seorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaannya (imam/khalihah)” (Ibnu Mulaqqon, at-Taudhîh li Syarhil Jâmi`ish Shohîh, XVIII: 103; dan Syarah Shohih al-Bukhori li Ibni Bathol, V: 140).

Ibnu Bathol dan Ibnu Mulaqqon juga mengutip berdasarkan hadits Muhallab: “ Di dalam hadits az-Zubair soal ini terdapat petunjuk bahwa ar-rayah tidak diserahkan kecuali dengan izin al-Imam (khalifah), karena ia simbol dari kedudukan khalifah dan tempatnya. Maka tidak boleh ada panji penyerahan mandat bendera dan panji itu kecuali berdasarkan perintah khalifah” (Ibnu Mulaqqon, at-Taudhîh li Syarhil Jâmi`ish Shohîh, XVIII: 103; dan Syarah Shohih al-Bukhori li Ibni Bathol, V: 140).

Ibnul Atsir mengatakan: “Tidak memegang liwa’ kecuali pasukan tempur” (Ibnu Mulaqqon, at-Taudhîh li Syarhil Jami`ish Shohih, XVIII: 103).

Komentar:

Pertama:

Dari penjelasan di atas, dimungkinkan pertama: “Orang-orang yang mengibarkan bendera/panji-panji  yang dianggap sebagai liwa dan royah itu, berarti telah memperoleh idzin dari pemimpin tertinggi, khalifah, dan itu berarti mereka sudah punya khalifah, atau imam. Sampai sekarang, yang telah mengumumkan ada khalifah dan memunculkan bendera itu adalah ISIS, melalui al-Baghdadi. HT belum mengumumkan khalifah kepada publik, kecuali bahwa dia memiliki amir. Kalau amir ini dianggap sebagai pemimpin tertinggi, maka jelaslah pemberian bendera kepada anggota-anggotanya di Indonesia sesuai dengan penjelasan hadits soal ini, apakah bisa dibilang ada agenda untuk menjalankan dan mendeklarasikan perang, karena bendera itu dimunculkan, menurut penjelasan hadits-hadits di atas, ada di dalam konteks perang; dan harus memperoleh idzin khalifah/amir.”

Kedua:

Atau kemungkinannya, kedua hanya main-main dan tidak sadar. Mereka tidak menganggap penting, kalau liwa’ dan royah yang demikian itu  dalam hadits-hadits Kanjeng Nabi  diberikan dan dibawa oleh pasukan tempur, yang kalau dibawa ke mana-mana di sembarang tempat di Indonesia ini,  juga bisa bermakna mendeklarasikan perang terhadap kaum muslimin sendiri yang mendirikan bangsa Indonesia. Semoga mereka yang sering membawa royah dan liwa’ yang dirujukkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad itu, ke mana-mana di  negeri Indonesia, ke tempat-tempat aksi, menyadari bahwa hal seperti itu juga bisa dimaknai oleh orang lain, sesuai dengan hadits-hadits Nabi itu: “Memiliki arti sedang berperang menyongsong musuh atau memusuhi kaum muslimin sendiri di Indonesia,” dan hal demikian tentu tidak kita inginkan bagi kemaslahatan kaum muslimin. Sebab, himpunan al-Jamaah kaum muslimin di Indonesia, masih mengakui bahwa Indonesia adalah negeri damai, bukan negeri perang.  Wallohu a’lam.

(Nur Kholik Ridwan)

1 komentar:

  1. Nah nu harus garap yg ky gini biar umat ga keblinger memahami agama d era digital

    BalasHapus